Gunung Kuda Cirebon Longsor: Musibah Berulang, Tanggung Jawab Siapa?

Gambar diambil dari screen shoot video Komunitas Orang Cirebon (Koci)


Peristiwa longsor yang terjadi di kawasan tambang Gunung Kuda, Desa Bobos, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, pada 30 Mei 2025 kembali membuka luka lama: eksploitasi alam yang tidak diimbangi dengan pengawasan dan mitigasi risiko. Puluhan kendaraan dan pekerja proyek dilaporkan tertimbun material longsoran. Dugaan sementara, lebih dari 20 orang menjadi korban.

Rekaman video amatir yang dibagikan Komunitas Orang Cirebon (Koci) menunjukkan suasana mencekam di lokasi kejadian. Tampak truk-truk pengangkut material batu tertahan, sebagian tertutup tanah dan batu besar. Kengerian ini bukan kali pertama terjadi di Gunung Kuda. Masyarakat sekitar sudah sejak lama menyebut kawasan tersebut sebagai lokasi rawan longsor.

Rijal Kang Guru Tegalgubug, salah seorang mantan pekerja tambang yang pada 2015 menjadi staf admin di lokasi tersebut, membagikan pengalamannya melalui media sosial. Ia menyebut bahwa longsor sudah menjadi fenomena yang umum—kadang terjadi secara alami akibat curah hujan dan kemiringan lereng, kadang pula disengaja menggunakan alat berat demi mempercepat penggalian material. "Kalau tidak ada korban, disebut berkah. Tapi kalau menelan korban, itu musibah," tulisnya lirih.

Namun, benarkah kita pantas menyebut longsor yang merenggut nyawa manusia sebagai "musibah" semata, tanpa melihat ada kemungkinan kelalaian manusia yang menyertainya? Apakah kita akan terus membiarkan alam menjadi tumbal dari kepentingan ekonomi sesaat?

Antara Ekonomi dan Etika Eksplorasi

Tambang Gunung Kuda bukanlah satu-satunya kawasan eksplorasi material batuan di wilayah Cirebon. Namun intensitas aktivitasnya yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Di satu sisi, tambang memberikan kontribusi ekonomi: membuka lapangan kerja, menghidupi ratusan keluarga, serta menopang industri bahan baku seperti semen. Namun di sisi lain, kegiatan eksploitasi yang tidak dikendalikan secara ketat mengancam keselamatan manusia dan kerusakan lingkungan jangka panjang.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak pemerintah mengenai status legalitas seluruh kegiatan pertambangan di Gunung Kuda. Apakah semuanya memiliki izin lengkap? Bagaimana proses AMDAL dilakukan? Sejauh mana pengawasan dilakukan terhadap SOP keselamatan kerja?

Ketiadaan informasi publik yang transparan menimbulkan dugaan bahwa regulasi yang seharusnya menjadi instrumen kontrol justru melemah dalam praktiknya. Apalagi, ketika fenomena longsor dianggap hal biasa, bahkan menjadi bagian dari “strategi” produksi, maka jelas ada persoalan struktural yang harus segera ditangani.

Negara Tidak Boleh Abai

Tragedi Gunung Kuda seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah daerah dan pusat untuk mengevaluasi ulang seluruh kegiatan pertambangan, tidak hanya di Cirebon, tetapi di banyak wilayah lain yang mengalami persoalan serupa. Sudah terlalu banyak kejadian serupa yang menimbulkan korban jiwa, namun minim tindakan korektif.

Pemerintah Kabupaten Cirebon harus segera mengambil sikap. Audit menyeluruh terhadap aktivitas tambang di kawasan Gunung Kuda menjadi langkah minimal yang harus dilakukan. Aktivitas yang tidak memenuhi syarat keselamatan dan kelayakan lingkungan harus dihentikan. Tak kalah penting adalah memperkuat edukasi keselamatan kerja bagi para pekerja tambang dan memastikan mereka memiliki perlindungan sosial yang layak.

Kita tidak bisa terus menyebut setiap bencana akibat ulah manusia sebagai takdir. Di balik tanah yang longsor, ada sistem pengawasan yang runtuh, ada kebijakan yang abai, dan ada nyawa-nyawa yang tak semestinya hilang sia-sia.

Penutup: Menata Ulang Relasi dengan Alam

Gunung Kuda bukan sekadar tumpukan batu bernilai ekonomis. Ia adalah bagian dari alam yang memiliki hak untuk tetap lestari. Eksplorasi harus dilakukan dengan pendekatan etis, ilmiah, dan manusiawi. Kita tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan tanpa perlindungan terhadap manusia dan lingkungan adalah bentuk kezaliman.

Tragedi ini bukan sekadar berita duka. Ia adalah sinyal keras bahwa sudah waktunya kita menata ulang cara kita memperlakukan alam. Sebab jika tidak, maka bencana berikutnya hanya soal waktu.

Penulis adalah koresponden Al-Biruni 

Onta, Transportasi Haji Tempo Doeloe





Di bawah langit padang pasir yang membentang luas, ketika matahari menyala garang dan pasir berkilau seperti bara, berjalanlah kafilah panjang yang sarat doa dan harapan. Di antara denting lonceng kecil yang menggantung di leher hewan-hewan padang, para jamaah haji tempo dulu menempuh jalan menuju Rumah Tuhan bukan dengan kecepatan, tetapi dengan keteguhan. Dan onta—makhluk tabah yang tercipta untuk menaklukkan dahaga dan debu—menjadi saksi sunyi perjalanan suci itu.

Ketika kini kita duduk nyaman dalam kabin pesawat, terbang dari bandara internasional menuju Madinah hanya dalam hitungan jam, barangkali sulit membayangkan bagaimana para nenek moyang kita menapaki rukun Islam kelima dengan peluh dan perjuangan. Mereka berangkat dari tanah air berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sebelum musim haji. Naik kapal uap dari pelabuhan-pelabuhan besar seperti Tanjung Priok, Makassar, atau Sabang. Sesampainya di pelabuhan Jeddah, perjalanan belumlah usai. Padang pasir masih harus dilintasi. Jalan masih panjang. Maka onta pun menjadi teman seperjalanan, kendaraan setia yang mengantar mereka menembus badai debu dan terik mentari.

Onta bukan hanya alat transportasi; ia adalah lambang kesabaran. Langkahnya yang lambat namun pasti, menjadi metafora dari perjalanan spiritual menuju Tuhan. Di atas punggung onta, jamaah menggantungkan harapan. Di antara guncangan pelana dan irama angin gurun, mereka melafalkan doa-doa yang tulus, menahan lapar dan haus, mengikat diri dalam kesabaran yang panjang.

Berjalan dalam rombongan kafilah, malam-malam dilewati dengan tidur beralas pasir dan berlangit bintang. Tidak ada AC, tidak ada pendingin, tidak ada sinyal untuk mengabari keluarga. Hanya ada dzikir yang terus mengalir, dan keyakinan bahwa setiap langkah, meski tertatih, mendekatkan mereka pada cinta Ilahi.

Kini, semua berubah. Zaman telah mengganti onta dengan bus dan kereta cepat. Perjalanan haji telah menjadi ritual yang lebih efisien, lebih aman, lebih nyaman. Namun, ada yang mungkin perlahan memudar—makna perjuangan itu sendiri. Ketika tubuh tak lagi letih, apakah hati kita masih rindu? Ketika perjalanan terasa mudah, apakah batin kita tetap bersungguh?

Kisah onta di tengah gurun, kisah debu dan peluh, bukan sekadar kenangan tua yang tersimpan dalam buku sejarah. Ia adalah cermin bagi kita hari ini—generasi yang hidup dalam kemudahan. Sudahkah kita menghayati makna haji dengan penuh ketulusan sebagaimana mereka yang dahulu menunggang onta dengan hanya bekal seadanya dan semangat yang tak pernah padam?

Mereka, yang pergi dengan harapan dan mungkin tak pernah kembali, menjadikan haji sebagai puncak pengorbanan. Ada yang wafat di tengah perjalanan dan dimakamkan di pasir-pasir sunyi, tanpa nisan, hanya langit yang menjadi penandanya. Tapi mungkin justru di situlah letak kemuliaannya: mati dalam perjalanan cinta kepada Allah.

Onta-onta itu, kini mungkin hanya muncul dalam cerita, dalam foto hitam putih di museum, atau dalam kisah kakek nenek yang masih kita dengar di kampung halaman. Tapi biarlah kisah mereka tetap hidup, menjadi sumber inspirasi, bahwa untuk menuju Tuhan, kita butuh lebih dari sekadar ongkos dan fasilitas—kita butuh jiwa yang siap bersabar, hati yang siap berkorban, dan iman yang tak mengenal lelah.

Mari kita kenang kembali onta, bukan sebagai nostalgia romantis, tetapi sebagai pesan abadi: bahwa perjalanan menuju Allah adalah perjalanan yang penuh ujian, namun sangat indah bila dijalani dengan keikhlasan.

Wallohu a'lam 

Etika Penyiaran Islam di Era Post-Truth


Kita tengah hidup di sebuah era ketika kebenaran menjadi relatif, emosi mendominasi nalar, dan informasi berlimpah tak selalu membawa pencerahan. Inilah zaman yang oleh banyak ilmuwan komunikasi dan filsuf media disebut sebagai post-truth era. Dalam Kamus Oxford, post-truth dimaknai sebagai “kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.” Artinya, dalam ruang komunikasi publik hari ini, yang paling menentukan bukan lagi bukti atau data, tetapi siapa yang paling emosional, paling dramatis, dan paling mampu membentuk narasi yang viral.

Fenomena ini tentu berdampak sangat besar terhadap semua aspek kehidupan, termasuk terhadap agama dan penyiaran nilai-nilai Islam. Bila dahulu umat menggantungkan pemahaman agama pada ulama dan lembaga otoritatif, kini siapa pun dapat menjadi "ustaz" dadakan di kanal YouTube, TikTok, atau podcast. Ada yang membawa pencerahan, namun tak sedikit pula yang memancing keresahan.

Oleh karena itu, penyiaran Islam tidak dapat lagi berjalan secara mekanistik atau sekadar berbasis teknologi. Ia harus dilandasi oleh kesadaran etik yang mendalam, karena dalam penyiaran agama terdapat nilai-nilai ilahiah yang tidak bisa diperlakukan sembarangan. Etika penyiaran Islam harus menjadi kompas di tengah gelombang disinformasi dan narasi destruktif.

Penyiaran Islam: Antara Dakwah dan Disrupsi Digital

Penyiaran Islam adalah bagian dari dakwah yang menggunakan media massa—baik tradisional maupun digital—untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman kepada publik. Dalam sejarahnya, penyiaran Islam sempat berkembang pesat melalui radio dakwah, televisi Islam, hingga kini menembus ruang digital dengan kanal-kanal seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Namun, seiring berkembangnya teknologi, muncul pula berbagai tantangan baru.

Kehadiran algoritma media sosial yang bekerja berdasarkan engagement (suka, komentar, dan share) memaksa para kreator konten untuk memproduksi materi yang "menjual". Ironisnya, yang paling laku justru bukan konten edukatif yang mendalam, tetapi konten kontroversial, provokatif, bahkan penuh ujaran kebencian. Di sinilah krisis etika penyiaran Islam mulai tampak: ketika konten dakwah dikodifikasi demi klik dan keuntungan finansial, bukan lagi sebagai amanah ilahiah.

Lebih berbahaya lagi, ketika penyiaran Islam dijadikan alat untuk polarisasi politik, propaganda sektarian, atau penyesatan informasi dengan balutan dalil. Maka yang terjadi bukanlah dakwah yang menyejukkan, melainkan dakwah yang justru membelah masyarakat. Semua itu adalah buah dari absennya kerangka etika dalam penyiaran Islam di tengah era post-truth.

Fondasi Etika dalam Penyiaran Islam

Dalam Islam, komunikasi dan penyampaian informasi sangat terkait dengan akhlak. Nabi Muhammad SAW dikenal bukan hanya sebagai pembicara yang fasih, tetapi juga sebagai pribadi yang paling amanah, jujur, dan lembut dalam menyampaikan pesan. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini menjadi dasar bahwa komunikasi dakwah dalam Islam harus dibangun atas tiga pilar utama:

1. Hikmah (kebijaksanaan): Menyesuaikan cara penyampaian dengan kondisi audiens dan konteks sosial.

2. Mau'izhah hasanah (nasihat yang baik): Memberikan motivasi dan pelajaran dengan kelembutan, bukan dengan ancaman atau tekanan.

3. Mujadalah bil-lati hiya ahsan (diskusi dengan cara terbaik): Tidak memaksakan pendapat, tetapi membuka ruang dialog yang konstruktif.

Etika penyiaran Islam juga harus mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut:

Tabayyun: Verifikasi kebenaran informasi, apalagi jika menyangkut aib, fitnah, atau penilaian terhadap kelompok lain.

Tawaqquf: Menahan diri dalam hal yang belum pasti, apalagi jika tidak memiliki kapasitas ilmiah untuk membahasnya.

Amanah: Menyadari bahwa setiap kata dalam penyiaran adalah amanat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Adil: Tidak memihak atau bersikap tendensius dalam menyampaikan isu agama.

Penyiaran Islam di Era Post-Truth: Antara Tantangan dan Harapan

Tantangan besar di era ini adalah bagaimana tetap menyampaikan dakwah Islam yang otentik, jernih, dan etis, di tengah budaya viral yang yang dan berisik. Apakah mungkin? Jawabannya: sangat mungkin, asalkan para pelaku penyiaran Islam—terutama generasi muda dari Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)—memiliki komitmen etik yang kuat.

Mahasiswa KPI tidak hanya belajar menjadi penyiar, tetapi harus dididik sebagai komunikator nilai dan agen perubahan sosial. Mereka harus membangun konten dakwah yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi kaya secara intelektual dan spiritual. Mereka harus mampu menghadirkan Islam sebagai agama kasih, bukan sebagai agama yang mudah menghakimi.

Profi atau jurusan KPI juga perlu melakukan inovasi kurikulum yang memadukan ilmu komunikasi, studi Islam, dan etika digital. Tidak cukup hanya mengajarkan teknik siaran atau editing video, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, literasi media, dan adab dalam berbicara.

Menuju Dakwah yang Mencerahkan

Etika bukan pelengkap, tetapi fondasi dari penyiaran Islam yang berkualitas. Era post-truth memang memunculkan tantangan besar, tetapi juga membuka peluang emas: yakni menjadikan penyiaran Islam sebagai obor penerang di tengah gelapnya kebingungan informasi.

Penyiaran Islam yang etis tidak akan viral karena kebencian, tetapi akan lestari karena kebenaran. Ia tidak akan memecah belah, tetapi menyatukan. Tidak membakar, tetapi menyejukkan. Inilah cita-cita besar yang harus diusung oleh mahasiswa KPI, akademisi dakwah, dan seluruh pelaku media Islam.

Mari kita kembalikan ruh dakwah ke jalan yang benar: jalan yang menyinari hati, bukan memanaskan kepala. Jalan yang menuntun dengan kasih, bukan menakut-nakuti dengan amarah. Dan semua itu hanya mungkin terjadi jika kita memulai dengan satu kata kunci: etika atau akhlak.

Wallahu a'lam

Kota Makah dan Nabi Ibrahim a.s. (Kota Suci yang Dibangun Dengan Cinta Ilahi


Kota Makkah bukan sekadar kota tua di jazirah Arab. Ia adalah jantung spiritual dunia Islam, pusat pertemuan umat manusia yang datang dari segala penjuru bumi dengan tujuan yang satu: mencari kedekatan dengan Allah Swt. Namun, di balik kemegahannya sebagai pusat ibadah dan kiblat umat Islam, Makkah menyimpan kisah yang lebih dalam—kisah tentang keimanan, pengorbanan, dan cinta Ilahi yang tercermin dalam kehidupan Nabi Ibrahim 'alaihissalam.

Makkah tidak dibangun oleh seorang raja atau kekaisaran. Tidak ada sejarah kejayaan politik atau militer yang menjadi fondasi kota ini. Makkah dibangun di atas penghambaan seorang manusia kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim—seorang nabi, seorang ayah, dan seorang kekasih Allah—adalah sosok yang meletakkan dasar spiritual kota ini, bukan dengan tangan penuh kekuasaan, tapi dengan hati penuh keikhlasan.

Ketaatan di Tengah Tanah Gersang

Saat Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istrinya Siti Hajar dan anaknya Ismail di lembah yang tandus, jauh dari keramaian manusia dan kehidupan, mungkin bagi manusia biasa hal itu terdengar kejam dan tak masuk akal. Namun bagi Ibrahim as, perintah itu adalah ujian keimanan yang harus dijalankan sepenuh hati. Ia tidak membantah. Ia tidak mempertanyakan. Ia yakin bahwa perintah Allah tidak akan membawa keburukan.

Lalu, muncullah doa yang abadi, tercatat dalam Al-Qur’an:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati (Baitullah), ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)

Ayat ini menjadi saksi spiritual atas keyakinan Nabi Ibrahim bahwa suatu saat nanti, tanah tandus ini akan menjadi pusat peradaban tauhid. Keyakinan ini bukan berdasarkan logika dunia, tetapi logika langit: bahwa cinta kepada Allah akan membuahkan keajaiban.

Air Zamzam dan Kehidupan Baru

Setelah Nabi Ibrahim pergi, Siti Hajar yang ditinggal bersama Ismail kecil tak memiliki apa-apa. Namun keimanan seorang ibu tak kalah hebat dari keimanan seorang nabi. Ia berlari antara bukit Shafa dan Marwah, mencari air untuk bayinya. Tujuh kali ia berusaha, hingga akhirnya mukjizat terjadi: air zamzam memancar dari tanah tempat Ismail menghentakkan kakinya.

Zamzam bukan sekadar air. Ia adalah simbol kasih Allah atas hamba-Nya yang beriman. Ia adalah jawaban dari pengorbanan dan doa. Dari situ, kehidupan dimulai. Kafilah-kafilah mulai berdatangan. Makkah perlahan-lahan menjadi kota yang ramai.

Pembangunan Ka'bah: Monumen Cinta Ilahi

Beberapa tahun kemudian, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangun Ka'bah bersama putranya, Ismail. Inilah momen penting dalam sejarah Makkah. Ka'bah dibangun bukan sebagai monumen kekuasaan atau kebanggaan keluarga tertentu, melainkan sebagai tempat suci, sebagai pusat ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Allah Swt berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'” (QS. Al-Baqarah: 127)

Bangunan itu didirikan dengan batu, namun fondasinya adalah cinta Ilahi. Ka'bah menjadi simbol bahwa peradaban terbaik adalah peradaban yang dibangun di atas penghambaan, bukan kesombongan.

Makna Makkah bagi Dunia Hari Ini

Di zaman modern, kota-kota besar dibangun dengan teknologi, uang, dan strategi geopolitik. Tapi tidak dengan Makkah. Ia terus menjadi pusat spiritual dunia selama ribuan tahun karena dibangun di atas nilai-nilai ketulusan, doa, dan cinta kepada Allah Swt. Ia tidak hanya menjadi tempat haji dan umrah, tetapi menjadi panggilan abadi bagi hati yang rindu kepada Allah Swt.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?

Pertama, bahwa cinta kepada Allah Swt adalah kekuatan terbesar untuk membangun kehidupan. Nabi Ibrahim rela meninggalkan anak dan istri bukan karena tidak cinta, tetapi karena cintanya kepada Allah jauh lebih besar. Dan justru karena cinta itu, Allah membalasnya dengan cinta yang lebih besar lagi: menjadikan keturunannya nabi-nabi, menjadikan Makkah kota suci, dan mengabadikan namanya dalam setiap shalat umat Islam.

Kedua, bahwa pengorbanan dan kesabaran akan menghasilkan kemuliaan. Dalam kehidupan pribadi, sosial, bahkan dalam membangun peradaban, tidak ada jalan pintas menuju keberkahan selain melalui kesabaran dan keikhlasan.

Ketiga, bahwa spiritualitas harus menjadi fondasi pembangunan. Banyak kota modern yang megah namun kehilangan jiwa karena dibangun tanpa nilai-nilai ilahiah. Makkah mengajarkan bahwa kota bisa menjadi pusat dunia bukan karena gemerlapnya, tapi karena ia menjadi pusat hati manusia.

Penutup: Menjadi Pewaris Cinta Ilahi

Sekarang ini, kita adalah pewaris spiritual dari Nabi Ibrahim. Setiap kali kita menunaikan ibadah haji atau umrah, setiap kali kita menghadapkan wajah ke arah Ka'bah dalam shalat, kita sejatinya sedang mengingat dan menyambung cinta itu. Kita diajak bukan hanya mengagumi kota suci Makkah, tapi juga menghidupkan semangat cinta Ilahi yang telah menumbuhkannya.

Semoga kita mampu menjadikan setiap kota, rumah, bahkan hati kita sebagai “Makkah kecil”—tempat yang dibangun dengan nilai-nilai keimanan, pengorbanan, dan keikhlasan. Karena hanya dengan cinta Ilahi, kehidupan akan menemukan maknanya yang sejati.

Wallohu a'lam 

Ibadah Haji (Napak Tilas Jejak Tauhid Nabi Ibrahim as


Ibadah Haji (Napak Tilas Jejak Tauhid Nabi Ibrahim a.s.)

Ibadah haji adalah puncak dari rukun Islam. Ia merupakan perwujudan total dari ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, bukan hanya melalui ucapan, melainkan tindakan nyata yang menuntut kesiapan fisik, mental, dan spiritual. Namun, lebih dari itu, haji sejatinya adalah sebuah napak tilas—sebuah perjalanan menelusuri kembali jejak spiritual Nabi Ibrahim a.s., sang Bapak Tauhid.

Ketika jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci, mereka tidak sedang menjalani ibadah biasa. Mereka sedang menelusuri kembali jejak perjuangan Nabi Ibrahim, seorang nabi yang namanya diabadikan dalam banyak agama samawi, namun dalam Islam ia mendapatkan tempat istimewa sebagai teladan tauhid dan pengorbanan. Allah SWT berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai imam (teladan) bagi seluruh manusia.'”

(QS. Al-Baqarah: 124)

Jejak Sejarah yang Disucikan

Setiap elemen dalam haji bukan sekadar simbol ritual, tetapi rekonstruksi nyata dari kisah perjuangan Ibrahim dan keluarganya dalam menegakkan tauhid. Ketika beliau meninggalkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di padang tandus Makkah atas perintah Allah, ia tidak menyisakan ragu dalam hatinya. Hajar pun dengan sabar menerima takdir itu, sambil bertanya, “Apakah ini perintah dari Allah?” Ketika dijawab "ya", ia pun berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”

Dan benar. Dari kesabaran itu, mengalirlah air zamzam yang sampai hari ini menjadi simbol keberkahan dan penyambung hidup jutaan orang. Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah adalah bentuk penghormatan terhadap perjuangan seorang ibu, dan keteguhan keyakinannya kepada Allah.

Spirit Pengorbanan: Ujian Puncak Seorang Nabi

Namun ujian Ibrahim tak berhenti di situ. Ketika Ismail tumbuh menjadi remaja yang shalih dan menjadi cahaya kehidupan sang ayah, Allah menguji Ibrahim dengan perintah yang nyaris tak masuk akal secara logika manusia: menyembelih anak kandungnya sendiri. Namun Ibrahim tidak mengedepankan logika, melainkan iman. Ismail pun tidak menolak, tetapi justru mendukung: “Wahai ayahku, laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Inilah puncak tauhid. Ketika cinta kepada Allah mengalahkan cinta kepada anak, istri, bahkan dirinya sendiri. Maka tak heran, Allah pun menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan dan mengabadikan momen ini dalam ibadah kurban setiap Idul Adha, serta menjadikannya bagian dari semangat haji.

Haji Sebagai Pendidikan Jiwa

Setiap orang yang berangkat haji sesungguhnya sedang menempuh sebuah “madrasah” spiritual. Di sana ia melepaskan atribut duniawi: pangkat, jabatan, status sosial, bahkan nama. Ia hanya dikenal sebagai "Haji Fulan bin Fulan". Mereka semua mengenakan pakaian yang sama, ihram yang putih bersih, seolah sedang mengenakan kain kafan. Pesan yang hendak disampaikan jelas: di hadapan Allah, semua manusia sama.

Wukuf di Arafah menjadi momen klimaks. Di sanalah para jamaah menangis, berdoa, dan bermunajat, menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan kebesaran Ilahi. Rasulullah SAW bersabda:

“Haji adalah Arafah.”

(HR. Abu Dawud)

Seolah-olah tanpa Arafah, haji kehilangan rohnya. Karena di sanalah manusia dituntut melakukan perenungan terdalam tentang kehidupan, dosa-dosa, dan makna pengabdian.

Dari Ibrahim Menuju Kita: Tauhid di Tengah Modernitas

Meneladani Ibrahim bukan berarti harus hidup di padang pasir, tetapi menanamkan nilai-nilai yang beliau wariskan: keikhlasan, kepatuhan tanpa syarat, dan pengorbanan yang tulus untuk agama. Di tengah dunia yang serba instan dan materialistik, nilai-nilai haji adalah benteng yang mengingatkan kita untuk tidak diperbudak dunia.

Haji adalah momentum untuk melepaskan ego, menundukkan nafsu, dan membangun kembali jembatan rohani yang mungkin sudah rapuh. Ketika seseorang pulang dari haji, ia bukan hanya membawa gelar "haji", tetapi membawa misi: untuk menjadi pribadi baru yang lebih dekat dengan Allah, lebih baik kepada sesama, dan lebih kuat memegang prinsip-prinsip tauhid dalam kehidupan.

Menjadi Ibrahim Zaman Ini

Mari kita maknai haji sebagai napak tilas agung dalam meniti jalan ketauhidan. Kita tidak harus berada di Makkah untuk belajar dari Ibrahim, karena jejak beliau telah diabadikan dalam setiap ibadah, dalam setiap pengorbanan yang kita lakukan demi kebenaran. Menjadi Ibrahim zaman ini artinya adalah menjadi pribadi yang berani berkata "tidak" kepada syirik modern—entah itu dalam bentuk cinta dunia, egoisme, atau penghambaan kepada selain Allah.

Semoga ibadah haji terus menjadi madrasah peradaban tauhid, yang tidak hanya mengubah individu, tetapi juga masyarakat dan dunia.

Ayat-Ayat Allah di Tubuh Manusia


Ayat-Ayat Allah di Tubuh Manusia

(Refleksi Ilmiah dan Keimanan)

Tubuh manusia bukan sekadar susunan sel, jaringan, dan organ yang bekerja secara mekanistik. Ia adalah kitab terbuka yang mengandung ayat-ayat Allah, yang bisa dibaca oleh siapa pun yang mau merenung. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan di dalam diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21). Ayat ini menegaskan bahwa tubuh manusia adalah ruang tafsir spiritual dan ilmiah yang tak pernah habis dikaji.

Betapa luar biasanya sistem peredaran darah yang memompa kehidupan ke seluruh tubuh, sistem saraf yang menjadi pusat kendali yang lebih rumit dari superkomputer mana pun, dan sistem imun yang bekerja tanpa lelah layaknya tentara penjaga siang dan malam. Semua itu bekerja tanpa campur tangan kesadaran kita—sebuah bukti konkret bahwa ada kekuatan Mahabesar yang mengatur harmoni ini.

Ilmu kedokteran modern terus mengungkap misteri penciptaan manusia, dari proses pembentukan embrio hingga kecerdasan otak yang mampu menghafal jutaan informasi. Namun seiring dengan itu, ilmuwan yang jujur pada pencarian kebenaran pun harus mengakui: semakin dalam manusia menggali, semakin besar rasa takjub terhadap Sang Pencipta. Sains, alih-alih menjauhkan manusia dari Tuhan, justru menjadi jembatan untuk semakin tunduk pada-Nya.

Refleksi ini menjadi penting, terutama di era di mana manusia sering terjebak pada glorifikasi akal dan teknologi. Ketika keajaiban tubuh dianggap biasa, manusia kehilangan rasa syukur dan lupa bersujud. Padahal, tubuh yang sehat, jantung yang berdetak, dan udara yang bisa dihirup setiap detik adalah anugerah yang tak ternilai. Tubuh bukan sekadar mesin biologis, melainkan tanda-tanda (ayat) yang mengarah kepada tauhid.

Maka, mari kita menjadikan tubuh kita bukan hanya sebagai alat untuk bertahan hidup, tetapi juga sebagai wahana tafakur. Menjaganya adalah ibadah. Merenunginya adalah dzikir. Memahaminya adalah ilmu. Dan mengakui keagungan di baliknya adalah iman.

Karena sesungguhnya, di balik setiap napas yang kita hirup, terdapat kalimat sunyi yang berseru: Allah Maha Kuasa.

Wallohu a'lam 

Demam Demul (Spirit Hari Kebangkitan Nasional)


Ketika Gubernur Konten Menyentil Gubernur yang Molor

Dalam dunia perpolitikan yang kadang terlalu serius sampai-sampai lupa senyum, tiba-tiba muncul sosok Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang blak-blakan berkata:

“Lebih baik jadi Gubernur yang bikin konten daripada Gubernur molor, jalan-jalan, dan doyan dihormati.”

Sekejap, ruang sidang opini publik mendadak ramai. Ada yang tertawa geli, ada yang mangut-mangut, ada pula yang mendadak merasa tersindir—mungkin karena merasa cocok dengan salah satu kategori yang disebut.

Fenomena “Demam Demul” ini menarik. Dedi tak sedang sekadar narsis atau jualan citra. Ia sedang menampar halus budaya pejabat yang hidup nyaman dalam rutinitas protokoler, tapi alergi dengan kerja lapangan dan komunikasi publik yang nyata. Di zaman ketika rakyat lebih percaya netizen daripada juru bicara resmi, konten menjadi jembatan. Dan Dedi paham betul cara melintasinya.

Coba bandingkan: satu pejabat sibuk menghadiri seminar dengan pidato yang ditulis staf, diliput media arus utama yang pembacanya semakin sepi. Sementara Dedi? Ia menyapa rakyat lewat video, memperlihatkan realitas, menyentuh hati, dan—ya—menghasilkan uang dari itu. Mengapa harus malu?

Kebangkitan Nasional seharusnya bukan sekadar menghafal tanggal 20 Mei atau mengenang Budi Utomo. Ia adalah momentum refleksi: siapa yang benar-benar bangkit hari ini? Rakyat, atau pejabat? Kaum muda kreatif, atau birokrat tua yang sibuk selfie sambil studi banding ke Eropa?

Dedi tahu, akan selalu ada “kaum nyinyir” yang sinis dengan segala gaya baru. Tapi bukankah bangsa besar dibentuk oleh keberanian mencoba hal-hal baru—bahkan ketika itu belum dimengerti semua orang?

Mungkin sudah saatnya kita redefinisi pemimpin zaman ini. Tak cukup hanya paham etika protokoler, tapi harus bisa jadi content creator perubahan, influencer kebijakan publik, dan storyteller yang membuat rakyat merasa didengar. Kalau bisa kerja nyata sambil viral, kenapa harus pilih yang tidur diam-diam?

Jadi, jika hari ini banyak pejabat yang kepanasan dengan pernyataan Gubernur Demul, mungkin bukan karena tidak setuju—tapi karena tersindir. Dan seperti kata pepatah lama:

“Yang kepanasan, biasanya memang sedang duduk di atas kompor.”

Wallohu a'lam 

Haji vs Selfie (Saat Lensa Mengaburkan Niat)


Ibadah haji adalah puncak spiritualitas dalam Islam. Ia bukan hanya rukun Islam kelima, tetapi juga sebuah perjalanan suci yang menguji keikhlasan, kesabaran, dan penyerahan total seorang hamba kepada Tuhannya. Namun di era digital, ketika segalanya bisa dijadikan konten, nilai-nilai haji pun mulai tergerus oleh semangat dokumentasi berlebihan. Muncullah fenomena yang kian lazim: berhaji sambil berselfie.

Tidak ada yang salah dengan mengabadikan momen berharga, termasuk ketika menunaikan ibadah haji. Teknologi bukan musuh, dan media sosial bisa menjadi sarana berbagi inspirasi. Namun, menjadi persoalan ketika kamera mulai mengambil alih peran hati, ketika niat ibadah mulai terdistorsi oleh keinginan untuk tampil dan dipuji.

Fenomena ini bisa dilihat dari maraknya unggahan thawaf dengan senyum menghadap kamera, video live saat wukuf di Arafah, atau foto-foto dengan caption puitis yang dirancang agar viral. Ibadah yang seharusnya dilakukan dalam khusyuk dan kekhusyuan justru berubah menjadi sesi pemotretan bergaya religius. Seakan-akan nilai haji bisa dinilai dari jumlah likes dan komentar netizen.

Padahal, haji adalah tentang menanggalkan identitas duniawi—termasuk ego dan gengsi. Mengenakan ihram menyimbolkan kesetaraan, membuang status sosial, dan meletakkan diri sepenuhnya di hadapan Allah. Maka menjadi ironi ketika ibadah ini justru digunakan untuk membangun citra dan memperkuat personal branding.

Lebih jauh lagi, fenomena ini menunjukkan krisis niat. Kita perlu mengingat sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim). Haji yang sejatinya menjadi momentum pembersihan hati bisa kehilangan makna jika dilakukan untuk kepentingan pencitraan.

Imam Al-Ghazali pun telah mengingatkan: “Jangan tertipu oleh amal yang terlihat, sebab niat yang tersembunyi lebih jujur dalam menilai dirimu.” Inilah esensi ibadah: bukan pada tampilannya, tapi pada kemurnian hatinya.

Kita perlu bertanya kepada diri sendiri: ketika kita menatap Ka'bah, adakah kita lebih sibuk menata hati atau menata angle foto? Ketika kita bermunajat di Arafah, adakah kita lebih peduli pada kualitas doa atau kualitas kamera? Jika haji hanya menjadi panggung digital, mungkin kita belum benar-benar hadir sebagai peziarah, melainkan hanya sebagai pencerita.

Mari kembalikan haji ke fitrahnya: sebagai perjalanan ruhani, bukan strategi konten. Sebagai bentuk penghambaan, bukan ajang eksistensi. Sebab sejatinya, ibadah adalah ketika hanya Allah yang melihat—dan itu sudah lebih dari cukup.

Haji adalah mihrab, bukan panggung.

Dan mihrab, tempat paling sakral dalam kehidupan seorang mukmin, tidak memerlukan penonton.

Wallohu a'lam 

Kurikulum Cinta (Sebuah Gagasan Baru dari Kementerian Agama)


Dalam khazanah pemikiran Islam, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk biologis yang bergerak atas dorongan naluri, tetapi sebagai entitas ruhani yang dianugerahi akal, hati, dan jiwa. Ketiganya senantiasa mengarahkan manusia pada pencarian kebenaran, keadilan, dan cinta. Dari pandangan inilah, lahir sebuah gagasan visioner yang ditawarkan oleh Kementerian Agama: Kurikulum Cinta. Sebuah konsep yang tidak sekadar bernuansa emosional atau romantik, melainkan menjadi fondasi etik dan epistemik dalam proses pendidikan menuju penyempurnaan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Melalui Kurikulum Cinta, Kementerian Agama berikhtiar menanamkan cinta kepada Allah SWT, cinta kepada sesama, cinta kepada alam semesta, dan cinta kepada tanah air dalam diri peserta didik sejak usia dini. Ini bukan sekadar slogan pendidikan karakter, tetapi sebuah upaya strategis untuk menanamkan nilai spiritual yang mendalam sebagai dasar dari segala ilmu dan perbuatan.

Cinta, dalam perspektif Islam, bukanlah sekadar perasaan, tetapi kekuatan transformasional yang bersumber dari Allah. Ia menuntun manusia untuk mengenal Tuhannya, memahami dirinya, dan memuliakan sesamanya. Dalam konteks ini, Kurikulum Cinta hadir sebagai ikhtiar sadar untuk menjadikan cinta sebagai inti dari proses pendidikan: cinta yang mencerahkan akal, melembutkan hati, dan menumbuhkan integritas. Inilah jalan wasathiyyah—jalan tengah yang menyeimbangkan antara ilmu dan akhlak, antara individualitas dan tanggung jawab sosial.

Kitab Al-Wasathiyyah fī al-Qur’ān al-Karīm menegaskan bahwa cinta sejati ialah cinta yang adil—tidak berpihak secara membabi buta, tidak mendewakan individu atau kelompok, dan tidak mengorbankan prinsip demi kepentingan sesaat. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 143, “Wa kadzālika ja‘alnākum ummatan wasaṭan” (Dan demikianlah Kami menjadikan kamu umat pertengahan), menjadi pilar moral bahwa cinta harus tumbuh dalam keseimbangan, menghindari fanatisme dan kebencian, serta diarahkan pada nilai-nilai universal yang menyatukan umat manusia.

Dalam Wasathiyyat Ahl al-Sunnah bayn al-Firaq, ditegaskan bahwa cinta yang mendidik bertumpu pada tiga pilar utama: ilmu, akhlak, dan kesabaran. Bukan pada dominasi kekuasaan, ketakutan, atau paksaan. Karena itu, Kurikulum Cinta bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proyek besar pembangunan jiwa. Ia melahirkan insan-insan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga lembut hatinya, santun lisannya, dan kokoh integritasnya.

Lebih dari pendekatan pedagogis, Kurikulum Cinta merupakan filsafat hidup. Ia mengajarkan bahwa tujuan tertinggi pendidikan bukanlah sekadar gelar atau prestasi, tetapi kedalaman makna dan kematangan spiritual. Dalam tradisi sufistik, cinta adalah jalan menuju Tuhan. Seperti yang diajarkan Rabi’ah al-Adawiyyah, Al-Hallaj, dan Jalaluddin Rumi, cinta adalah energi ilahiah yang membakar ego, melebur keakuan, dan menyatukan jiwa dalam kehadiran Ilahi.

Di tengah tantangan sistem pendidikan modern yang cenderung kering, birokratis, dan terobsesi pada angka dan kompetisi, Kurikulum Cinta hadir sebagai oase. Ia menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi, yang tidak hanya mencerdaskan otak tetapi juga menyuburkan hati. Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi murabbi yang menyalakan lentera jiwa. Sekolah bukan sekadar lembaga formal, tetapi taman yang menumbuhkan kasih, nilai, dan kebajikan.

Dengan demikian, Kurikulum Cinta adalah panggilan luhur untuk mengembalikan pendidikan kepada jati dirinya: sebagai proses memanusiakan manusia. Ia mengajarkan bahwa cinta adalah cara berpikir, cara merasakan, dan cara bertindak yang dilandasi oleh ilmu dan iman. Bukan cinta yang buta, tapi cinta yang membimbing. Bukan cinta yang melumpuhkan logika, tapi cinta yang menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs).

Pada akhirnya, jika pendidikan adalah jalan menuju kesempurnaan manusia (tahqīq al-insāniyyah), maka Kurikulum Cinta adalah petanya. Dan cinta yang sejati akan selalu membawa manusia menuju Tuhan, kebenaran, dan kedamaian. Inilah pendidikan sejati—yang tidak hanya mendidik pikiran, tetapi juga memuliakan jiwa.

Wallohu a'lam 

Gelar Doktor dan Profesor


Gelar Doktor dan Profesor

(Puncak Akademik yang Menuntut Kematangan Intelektual dan Moral)

Dalam tradisi akademik modern, gelar doktor dan profesor menempati posisi yang sangat terhormat. Keduanya bukan sekadar representasi dari capaian intelektual semata, tetapi juga simbol dari kedalaman pengetahuan, ketajaman analisis, serta kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Di banyak negara, gelar tersebut diraih melalui proses panjang, melibatkan penelitian serius, publikasi ilmiah bereputasi, serta dedikasi penuh terhadap dunia akademik. Namun, di balik segala kehormatan dan pengakuan publik yang melekat pada gelar tersebut, terdapat tantangan etis, psikologis, dan sosial yang tidak jarang terabaikan.

Secara formal, gelar doktor diperoleh setelah menyelesaikan pendidikan jenjang S3 yang menuntut seorang mahasiswa untuk melakukan riset orisinal yang memperkaya khasanah ilmu. Sementara gelar profesor, khususnya di Indonesia, diberikan kepada akademisi yang telah menunjukkan konsistensi dalam publikasi ilmiah, pengabdian masyarakat, dan pengajaran dalam waktu yang panjang. Kedua gelar ini pada dasarnya menandai transformasi seseorang menjadi sosok panutan akademik dan intelektual publik.

Namun, tantangan sesungguhnya justru dimulai setelah gelar tersebut diraih. Tidak sedikit yang menyangka bahwa dengan meraih gelar doktor atau profesor, seseorang otomatis menjadi pribadi yang matang secara emosional dan etis. Kenyataannya, dalam berbagai ruang akademik, kita menyaksikan kenyataan yang kontras. Banyak akademisi yang unggul dalam teori dan metodologi, tetapi gagap dalam mengelola konflik interpersonal, mudah tersulut oleh perbedaan pendapat, bahkan terjebak dalam rivalitas yang tidak produktif. Ego akademik kerap kali muncul dalam bentuk keengganan untuk dikritik, sensitivitas terhadap status, hingga kecenderungan untuk mengklaim superioritas intelektual atas pihak lain.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kecerdasan akademik selalu berjalan seiring dengan kedewasaan moral dan spiritual? Ataukah sistem pendidikan tinggi kita belum mampu mengintegrasikan aspek intelektual dan karakter dalam satu kesatuan yang utuh? Pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya mencetak sarjana atau doktor yang pandai berbicara di forum ilmiah, tetapi juga membentuk pribadi yang mampu mendengarkan, memahami, serta menunjukkan empati terhadap sesama. Gelar akademik tinggi tanpa disertai integritas dan kepribadian luhur justru akan menjadi beban sosial dan menciptakan jarak antara akademisi dan masyarakat luas.

Lebih jauh, tidak jarang dijumpai kasus di mana para pemegang gelar doktor atau profesor merasa terganggu bila tidak diberi penghormatan sebagaimana yang mereka harapkan. Sensitivitas terhadap panggilan, posisi duduk di forum, atau bahkan ketidakhadiran dalam undangan ilmiah tertentu menjadi sumber keresahan. Hal ini menunjukkan bahwa ada dimensi psikologis yang belum sepenuhnya dibereskan dalam perjalanan karier akademik seseorang. Dalam hal ini, gelar yang seharusnya menjadi sarana untuk menebar ilmu dan inspirasi justru dapat berubah menjadi simbol keangkuhan dan kehausan akan pengakuan.

Di sinilah pentingnya mengembangkan paradigma baru dalam membangun dunia akademik: integrasi antara intelektualitas dan akhlak. Tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, baik dalam peradaban Islam maupun Barat, menunjukkan bahwa keilmuan sejati tidak pernah lepas dari sikap rendah hati, keterbukaan terhadap kritik, dan komitmen terhadap kebenaran. Al-Farabi, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, hingga tokoh modern seperti Buya Hamka dan Prof. Quraish Shihab menunjukkan bahwa puncak keilmuan selalu berpadu dengan kebijaksanaan dan adab.

Dengan demikian, gelar doktor dan profesor sejatinya bukanlah titik akhir, melainkan titik tolak baru untuk berkontribusi secara lebih luas bagi masyarakat. Keilmuan yang tinggi harus menjadi alat pemberdayaan, bukan senjata untuk membungkam; harus menjadi jembatan dialog, bukan tembok pemisah. Dunia akademik membutuhkan lebih banyak figur yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga matang secara emosional dan luhur dalam tindakan.

Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa kemuliaan sejati dari gelar akademik bukanlah pada pakaian toga atau panggilan kehormatan, tetapi pada ketulusan dalam mendidik, keberanian dalam mencari kebenaran, dan keikhlasan dalam melayani umat manusia. Sebab ilmu tanpa akhlak hanya akan melahirkan kesombongan; dan gelar tanpa tanggung jawab hanya akan menjadi ornamen kosong yang kehilangan makna.

Wallohu a'lam 

Dosen dan Buku: Dua Sahabat Tak Terpisahkan


Dalam dunia akademik, buku bukan sekadar tumpukan kertas berisi huruf; ia adalah sumber kehidupan intelektual, sahabat setia dalam pencarian dan penyampaian ilmu. Bagi seorang dosen, buku tidak hanya menjadi referensi dalam mengajar, tetapi juga penuntun dalam berpikir, menulis, dan membentuk karakter ilmiah. Ibarat petani yang tak bisa lepas dari cangkul, maka dosen pun tak dapat jauh-jauh dari buku.

Tradisi keilmuan dalam Islam maupun Barat selalu menempatkan buku sebagai pilar utama dalam peradaban. Para ulama menulis dan membaca sepanjang hidupnya, dari perpustakaan Baghdad hingga menara-menara ilmu di Andalusia. Demikian pula dalam sejarah perguruan tinggi modern, dosen yang produktif membaca dan menulis akan mendorong dinamika ilmu yang hidup di kelas dan riset. Buku menjadi jejak intelektual sekaligus ruang dialog lintas generasi.

Namun, realitas hari ini memperlihatkan tantangan baru. Di tengah derasnya informasi digital, minat membaca dan menulis buku di kalangan dosen cenderung menurun. Kesibukan administratif, tekanan beban kerja, hingga gaya hidup instan menjauhkan sebagian dosen dari kebiasaan literasi mendalam. Padahal, kualitas dosen sangat ditentukan oleh intensitas interaksinya dengan buku—baik sebagai pembaca maupun penulis.

Dosen yang menjadikan buku sebagai sahabat sejatinya sedang merawat integritas keilmuannya. Buku membuka cakrawala baru, menajamkan daya kritis, dan memperkaya materi pembelajaran. Dosen yang membaca akan mampu mengajar dengan perspektif yang luas, sementara dosen yang menulis akan meninggalkan warisan pemikiran bagi generasi mendatang.

Maka, menjaga kedekatan dosen dengan buku bukan sekadar pilihan, tetapi keniscayaan. Perguruan tinggi perlu mendorong budaya literasi, menyediakan ruang kreatif untuk menulis, dan mengapresiasi karya ilmiah dosen. Karena ketika dosen menjauh dari buku, maka ia sedang menjauh dari sumber otoritas keilmuannya sendiri. Dan ketika dosen menjadikan buku sebagai sahabat, maka sesungguhnya ia sedang menjaga marwah akademik dan merawat peradaban.

Wallohu a'lam 

Terima Kasih, Ayah


Cerpen 

Ayah selalu pulang larut malam. Kadang dengan langkah yang berat, jaket lusuh, dan tangan yang masih kotor bekas oli. Tapi di mataku, dia tetap lelaki paling gagah yang pernah kutemui. Bukan karena ototnya, tapi karena hatinya.

Dulu aku sering bertanya, kenapa kita tak pernah liburan seperti teman-temanku? Kenapa bajuku tak selalu baru saat lebaran? Kenapa sepatu sekolahku harus dijahit dua kali? Dan kenapa pelukan Ayah begitu langka?

Tapi kini aku tahu.

Pelukan Ayah hadir dalam bentuk lain—ketika ia berdiri diam menatapku di balik pintu kelas waktu aku pentas. Atau saat ia menepuk pelan pundakku sebelum ujian, tanpa banyak kata. Dalam diamnya, Ayah bicara. Dalam lelahnya, Ayah mencinta.

Aku masih ingat malam itu, Ayah duduk termenung di teras. Aku pikir ia sedang marah, tapi sebenarnya ia sedang menahan beban hidup yang tak ingin ia bagi pada siapa pun—termasuk padaku. Pundaknya tampak rapuh, tapi tetap berdiri tegak. Karena Ayah tahu, kalau ia runtuh, siapa lagi yang menopang rumah ini?

Sekarang, aku sudah dewasa. Tak semua tanya butuh jawaban, karena waktu akhirnya menjawab segalanya. Kini aku tahu: kasih sayang Ayah tidak selalu hadir dalam pelukan atau kata-kata manis. Tapi dalam keringat, dalam diam, dalam kerja keras, dan dalam doa-doa yang selalu ia bisikkan lirih sebelum subuh menyapa.

Terima kasih, Ayah…

Karena kau tidak pernah berhenti.

Tidak pernah lelah mencinta, meski sering kali tak dihargai.

Tidak pernah mengeluh, meski dunia sering tak adil padamu.

Kelak, aku akan berkata pada dunia: aku menjadi seperti ini karena Ayah. Bukan karena segala yang diberi, tapi karena segala yang diperjuangkan diam-diam.

Ayah…

Aku mencintaimu. Selamanya.

Pesantren Go Digital: Ikhtiar Membangun Peradaban Islam di Era Teknologi

Ketika dunia pendidikan terguncang oleh pandemi global, banyak lembaga limbung—termasuk pesantren. Namun, dari guncangan itu pula muncul semangat baru: Pesantren Go Digital. Sebuah ikhtiar yang lahir dari kebutuhan, tetapi berkembang menjadi strategi jangka panjang. Di sinilah pesantren menapakkan kakinya dalam pusaran revolusi teknologi tanpa harus kehilangan ruh keilmuannya.

Tradisi Tak Harus Tertinggal

Pesantren telah lama dikenal sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam klasik. Kitab kuning, metode sorogan dan bandongan, serta relasi intelektual antara kiai dan santri menjadi warisan tak ternilai. Namun, apakah semua itu bertentangan dengan digitalisasi? Tentu tidak.

Teknologi digital justru membuka ruang baru untuk merawat dan menyebarkan khazanah tersebut. Banyak pesantren kini mendigitalisasi kitab-kitab kuning, mengarsipkan pengajian melalui kanal YouTube, bahkan membuka kelas daring lintas negara. Tradisi tetap hidup, hanya mediumnya yang berganti.

Sebagaimana prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah (melestarikan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik), digitalisasi adalah jalan tengah antara menjaga dan membarui.

Santri Era Digital

Santri masa kini tidak hanya diajarkan memahami teks klasik, tetapi juga bagaimana menyampaikan dakwah di ruang digital. Mereka mulai belajar membuat konten dakwah, memproduksi podcast, bahkan membangun aplikasi Islami. Di beberapa pesantren seperti Tebu Ireng, Gontor, dan Nurul Jadid, pembelajaran coding, literasi media, dan wirausaha digital mulai diintegrasikan ke dalam kurikulum.

Fenomena ini menjawab pertanyaan lama: apakah lulusan pesantren bisa bersaing di era digital? Jawabannya bukan hanya bisa, tapi juga berkontribusi membentuk arah moral dan etika ruang digital.

Tantangan yang Tak Ringan

Meski arah transformasi ini menjanjikan, tidak semua pesantren memiliki infrastruktur memadai. Akses internet, perangkat digital, dan pelatihan sumber daya manusia masih menjadi pekerjaan rumah besar. Di sinilah peran strategis negara, swasta, dan masyarakat sipil untuk mendukung digitalisasi pesantren secara merata.

Lebih dari itu, resistensi kultural juga sering muncul. Tidak semua kiai atau pengajar siap beralih ke pembelajaran berbasis daring. Maka pendekatan inklusif-kultural diperlukan, yakni membangun transformasi berbasis nilai, bukan hanya alat.

Penutup: Menuju Peradaban Baru

Pesantren tidak lagi hanya penjaga masa lalu, tetapi juga peletak dasar peradaban masa depan. Dengan teknologi, pesantren bisa menjangkau lebih banyak santri, menyebarkan ilmu ke berbagai pelosok dunia, dan mencetak dai-dai milenial yang fasih dalam tradisi dan teknologi.

Pesantren Go Digital bukan akhir dari tradisi, melainkan awal dari transformasi. Di titik inilah, pesantren menjadi oase—bukan hanya spiritual, tapi juga intelektual—di tengah kegersangan informasi zaman.

Seni Menulis untuk Pemula dan Mahasiswa


Menulis di era disrupsi digital seperti sekarang ini telah menjadi keterampilan yang semakin langka. Generasi muda, khususnya mahasiswa, lebih akrab dengan dunia yang serba instan—scrolling media sosial, bermain game online, dan budaya "rebahan" menjadi pola hidup baru. Akibatnya, gairah menulis perlahan-lahan meredup, tergeser oleh konten cepat saji yang minim refleksi dan kedalaman. Padahal, sejarah peradaban mencatat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai tulisan.

Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan ulama-ulama Nusantara yang karya-karyanya menjadi rujukan lintas zaman. Namun dalam beberapa dekade terakhir, sulit menemukan figur penulis besar dari dunia kampus atau pesantren yang mampu menembus ruang publik secara luas dengan tulisan yang menggugah dan mencerahkan.

Di kampus-kampus memang ada pelatihan menulis karya ilmiah, pelatihan penulisan cerpen, puisi, hingga novel. Tetapi sayangnya, banyak kegiatan itu bersifat seremonial dan belum mampu menumbuhkan budaya menulis yang berkelanjutan. Maka, diperlukan pendekatan baru dan trik jitu untuk membangkitkan kembali semangat menulis di kalangan mahasiswa.

Beberapa trik yang dapat dicoba untuk menumbuhkan semangat menulis antara lain:

1. Menulis dari Hal yang Disukai

Banyak pemula gagal menulis karena merasa harus langsung menulis yang berat. Padahal, menulis bisa dimulai dari hobi: resensi film, review buku, catatan perjalanan, atau bahkan pengalaman pribadi.

2. Membaca Adalah Bahan Bakar Menulis

Tak ada penulis besar yang bukan pembaca. Mahasiswa harus dibiasakan membaca secara teratur—baik bacaan ilmiah, sastra, maupun populer. Bacaan yang luas memperkaya diksi dan memperkuat argumen dalam tulisan.

3. Terapkan Metode "Pomodoro Writing"

Metode ini mengatur waktu menulis dalam 25 menit fokus menulis, 5 menit istirahat. Cocok bagi generasi sekarang yang mudah terdistraksi. Sedikit-sedikit tapi rutin lebih baik daripada banyak tapi berhenti di tengah jalan.

4. Menulis Adalah Latihan, Bukan Inspirasi Saja

Menunggu inspirasi seperti menunggu hujan di musim kemarau. Latihan menulis secara konsisten adalah kunci. Tak perlu sempurna, yang penting selesai.

5. Bergabung dalam Komunitas atau Forum Menulis

Komunitas memberikan energi dan semangat. Di sana, tulisan akan mendapatkan apresiasi sekaligus kritik membangun.

6. Tentukan Tujuan Menulis

Apakah untuk menginspirasi, mempengaruhi opini, atau sekadar berbagi ide? Tujuan akan membentuk gaya dan arah tulisan.

7. Gunakan Platform Digital sebagai Etalase Karya

Blog pribadi, Medium, Wattpad, hingga Instagram bisa menjadi ruang untuk mempublikasikan tulisan. Tak perlu menunggu media cetak.

Menulis bukan hanya tentang menghasilkan karya, tetapi juga tentang membangun nalar kritis, ekspresi diri, dan kontribusi bagi peradaban. Generasi muda harus sadar bahwa menulis adalah cara mereka berbicara kepada dunia dan masa depan.

Kini saatnya mahasiswa dan pemuda bangkit menjadi generasi penulis. Tak harus sehebat Al-Ghazali untuk memulai—cukup mulai dari satu paragraf hari ini.

Wallohu a'lam 

Kembali Ke Buku dan Pena



Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, banyak negara maju justru mengambil langkah tak terduga: kembali ke buku cetak dan tulisan tangan. Negara-negara seperti Jepang, Finlandia, Jerman, dan beberapa negara Skandinavia mulai meninjau ulang ketergantungan pada teknologi dalam dunia pendidikan. Mereka memilih untuk menyeimbangkan penggunaan perangkat digital dengan metode pembelajaran klasik yang telah terbukti efektif dalam membangun literasi dan pemahaman yang mendalam.

Fenomena ini layak menjadi cermin bagi Indonesia. Ketika negara lain mulai menyadari bahwa buku dan pena adalah fondasi penting dalam pendidikan, kita justru sering terjebak dalam euforia digital tanpa persiapan yang matang.

Buku Cetak: Lebih dari Sekadar Media Baca

Buku cetak bukan sekadar alat baca, tetapi jendela imajinasi dan ruang refleksi. Banyak studi ilmiah menunjukkan bahwa membaca melalui media fisik dapat meningkatkan konsentrasi, pemahaman bacaan, serta daya ingat jangka panjang. Di Jepang, siswa sekolah dasar diwajibkan membaca buku fisik setiap hari. Di Finlandia, buku cetak masih menjadi media utama dalam pembelajaran dasar. Mereka sadar bahwa membaca bukan sekadar menuntaskan teks, tetapi melibatkan proses berpikir kritis yang lebih mendalam.

Sebaliknya di Indonesia, buku cetak perlahan tergeser oleh bahan ajar digital. Padahal, di banyak daerah, akses internet belum stabil dan kemampuan literasi digital siswa masih rendah. Akibatnya, proses belajar menjadi tidak merata dan kurang efektif.

Menulis Tangan dan Aktivasi Otak

Menulis tangan bukan sekadar aktivitas mekanis, melainkan proses kognitif yang kompleks. Saat menulis dengan tangan, otak bekerja mengolah informasi, menyusun struktur kalimat, dan mengingat kata-kata. Penelitian dalam bidang neurosains menunjukkan bahwa menulis tangan memperkuat koneksi saraf di otak yang berperan dalam daya ingat dan pemahaman.

Beberapa negara maju kini kembali mewajibkan menulis tangan di jenjang pendidikan dasar. Di Norwegia, misalnya, siswa dilatih menulis tangan sebelum diperkenalkan dengan perangkat digital. Sementara itu, di Indonesia, menulis tangan justru semakin ditinggalkan. Padahal, bagi banyak pelajar di daerah dengan keterbatasan akses digital, menulis di buku adalah satu-satunya cara efektif untuk belajar.

Kebijakan yang Setengah Hati

Salah satu problem utama pendidikan di Indonesia adalah kebijakan yang kerap berubah mengikuti tren, bukan berdasarkan evaluasi yang kuat. Digitalisasi pembelajaran didorong secara masif tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan SDM. Guru di banyak daerah tidak dibekali pelatihan yang cukup. Anak-anak diminta belajar dengan gawai, sementara jaringan internet di rumah mereka tidak stabil, bahkan tidak ada listrik sama sekali.

Di sisi lain, tidak ada upaya serius untuk memperkuat budaya membaca buku fisik atau membiasakan kembali menulis tangan. Akibatnya, sistem pendidikan kita tampak gamang: mengejar kemajuan digital tetapi lupa memperkuat fondasi literasi dasar.

Kembali ke Dasar, Maju ke Depan

Kembali ke buku dan pena bukan berarti menolak kemajuan teknologi. Ini soal keseimbangan dan peneguhan prinsip bahwa pendidikan bukan sekadar soal alat, tetapi soal proses yang membentuk cara berpikir dan karakter.

Indonesia perlu kembali menempatkan buku cetak dan tulisan tangan sebagai fondasi pembelajaran, sembari mengembangkan teknologi sebagai alat bantu, bukan sebagai tujuan utama. Pemerintah harus menyusun kebijakan pendidikan yang konsisten dan berbasis riset, bukan sekadar mengikuti tren global. Guru perlu diberdayakan, bukan hanya dibebani.

Jika negara maju saja kembali pada metode konvensional demi kualitas pendidikan, mengapa kita justru tergesa-gesa meninggalkannya?

Sebait Kisah di Kampung Halaman




Ponsel tua Lusa bergetar di atas televisi tabung yang juga sudah mulai usang. Aku bergegasSebuah Kisah di Kampung Halamanmenghampirinya dan meraih benda pipih kesayanganku yang layarnya telah buram dan suaranya tak sejelas dulu. Sebuah panggilan masuk dari Kak Nilam—kakakku yang tertua, yang kini tinggal di kota bersama keluarganya.

Kupencet ikon hijau dengan sedikit gemetar.

"Assalamu'alaikum, Kak," sapaku pelan, menahan rindu yang diam-diam menumpuk selama bertahun-tahun.

“Wa’alaikumsalam, Lisa…” suara Kak Nilam terdengar hangat di seberang. “Besok aku sama Ferdi mau ke sana, ya. Kangen sama rumah lama… sama kamu juga.”

Aku tercekat. Mataku berkaca-kaca mendengar kabar itu. Setelah Ibu meninggal tiga tahun lalu, ini pertama kalinya Kak Nilam dan Ferdi—adik bungsuku—menyempatkan datang kembali ke kampung halaman.

"Lisa? Kamu masih di situ?"

“Eh… iya, Kak… iya,” 

Jawabku gugup, berusaha menutupi keterkejutan dan kegembiraan yang meletup dalam dada. 

“Besok aku masakin makanan kesukaan Kak Nilam dan Ferdi, ya… InsyaAllah.”

Terdengar tawa kecil dari seberang, “Aku tahu kamu nggak pernah berubah, Lis. Terima kasih, ya…”

Setelah salam ditutup, aku menatap ponselku lama sekali, kemudian meletakkannya kembali ke atas televisi. Senyumku masih mengambang, tapi pikiranku mulai berkecamuk.

Beras hanya tersisa untuk makan malam ini dan besok pagi...

Dengan enam perut yang harus terisi esok siang, termasuk keponakan-keponakanku, aku tahu persediaanku tak cukup. Mataku melirik ke luar jendela, melihat Mas Waris sedang mencangkul tanah pekarangan.

"Mas…" panggilku pelan sambil keluar rumah. “Besok Kak Nilam sama Ferdi datang. Mau makan siang di sini.”

Mas Waris menatapku sejenak, meletakkan cangkulnya. “Aku periksa bubu di sungai, ya. Siapa tahu ada gabus atau puyu.”

Aku hanya mengangguk. Tidak perlu kata-kata panjang. Kami sudah cukup lama hidup dalam keheningan yang penuh pengertian.

Aku melangkah masuk ke kamar Wildan, anak bungsuku. Ia sedang memandangi ayam jagonya dari jendela.

“Sayang…,” panggilku lirih sambil mengusap rambutnya. “Besok Susan dan Faris datang main, ya. Senang?”

Ia mengangguk bersemangat.

“Wildan… bolehkah ayamnya Ibu tukar dulu sama beras? Nanti kalau ada rezeki, kita beli ayam baru yang lebih bagus…”

Wildan menatapku. Ada sedikit keraguan, tapi ia mengangguk lagi. “Boleh, Bu. Asal nanti beliin mainan juga ya… kalau bisa dua.”

Aku tertawa pelan sambil memeluknya. “InsyaAllah, Nak.”

Dengan hati sedikit lega, aku berangkat ke warung membawa dua ayam jantan itu. Setelah tawar-menawar yang cukup lama, akhirnya aku pulang membawa beras lima kilogram, minyak, bawang, telur, dan sedikit jajan untuk anak-anak.

Keesokan harinya, dua mobil berhenti di depan rumah. Aku berdiri di ambang pintu, menahan debar. Dari dalam mobil keluar Kak Nilam dan Ferdi bersama pasangan dan anak-anak mereka.

“Lisaaa!” seru Kak Nilam, lalu memelukku erat.

“Astaga, rumah ini… masih sama persis seperti dulu ya,” kata Ferdi sambil menatap sekeliling.

Aku tersenyum lebar, meski dalam hati masih ada rasa minder. Tapi kebahagiaan karena mereka datang mengalahkan segalanya. Aku ajak mereka makan siang. Menu sederhana: ikan gabus bumbu bali, tumis kangkung, dan kulupan jantung pisang.

“Berasa makan masakan ibu,” gumam Ferdi sambil menyendok nasi untuk ketiga kalinya.

Aku tersenyum. Tiba-tiba, semua lelah dan air mata yang pernah kucurahkan untuk bertahan terasa terbayar lunas.

Malam hari, kami duduk di teras, mengenang masa kecil. Ferdi tertawa saat mengingat saat ia pernah dikurung di kamar mandi olehku gara-gara rebutan permen.

Pagi harinya, saat mereka pamit pulang, aku menyuguhkan nasi goreng putih seadanya dan telur dadar.

“Ini nasi goreng khas Lisa,” kata Kak Nilam. “Nggak ada yang bisa nandingin!”

Aku tersipu. Susan—anak Kak Nilam—kemudian merengek ingin membawa boneka satu-satunya milik Dila, anak perempuanku.

“Boleh, kok,” 

Ucap Dila cepat, meski kutahu itu boneka kesayangannya.

Hatiku bergetar. Anak-anakku belajar memberi bahkan dalam keterbatasan.

Beberapa jam setelah mereka pergi, Pak Zainal datang membawa dua karung beras dan satu kardus besar.

“Titipan Kak Nilam sama Ferdi, Mbak,” katanya. “Pesannya, baru boleh dikasih kalau mereka udah pulang.”

Dalam kardus itu ada semua: minyak, gula, kopi, biskuit, susu, bahkan cemilan anak-anak. Aku tak mampu berkata apa-apa, hanya air mata yang turun deras.

Aku menelpon mereka sambil terisak. Tapi mereka hanya tertawa kecil di ujung telepon.

“Kakakmu ini ya,” ucap Kak Nilam. “Dulu tega ambil uang sakumu, sekarang masa nggak boleh balas jasa?”

Dua hari kemudian, sebuah Pick Up hitam berhenti di depan rumah. Tiga orang menurunkan sepeda motor bekas yang masih bagus dan satu kardus besar.

Aku hampir tak percaya.

“Titipan dari Ferdi dan Kak Nilam,” ucap sang pengantar.

Tanganku gemetar membuka pesan dari Ferdi.

[Istriku beli motor baru. Yang ini enggak dipakai. Mungkin Kak Waris bisa pakai buat kerja atau antar anak-anak.]

Aku balas sambil menahan air mata:

[Fer… ini mahal, Dik. Gimana kalau istrimu enggak setuju?]

[Enggak, Kak. Itu enggak sebanding dengan dua tahun Kakak urus Ibu sendirian dulu…]

Aku menutup wajahku. Tangis pecah tanpa bisa dicegah. Mas Waris memelukku pelan dari belakang.

Anak-anak sudah membuka kardus dan menjerit senang. Boneka-boneka baru, baju-baju bagus, dan... sebuah kotak kecil.

Aku membukanya. Sepasang anting. Anting yang dipakai Kak Nilam saat kemarin ke sini.

Kubuka pesan darinya.

[Susan dan Rudi ke Mall, banyak diskonan. Jadi beli buat Dila dan Wildan. Anting itu? Aku sudah bosan. Kayaknya cocok di kamu.]

Aku langsung menelpon Kak Nilam.

“Kak… ini anting mahal. Aku nggak bisa nerima…”

“Kalau kamu balikin, berarti kamu nggak anggap aku kakakmu!” jawabnya cepat. “Dulu, aku sering ambil uang sakumu, dan ibu marah. Katanya, kakak itu harusnya memberi, bukan mengambil…”

Terdengar tawa kecilnya di ujung telep

Ayo Menulis!


Mengajak petani di sawah untuk menulis mungkin terdengar mustahil. Menyuruh emak-emak di pasar membuka laptop dan mengetik kisahnya, pasti ditanggapi dengan gelengan kepala dan tawa kecil.

Begitu pula ketika ajakan menulis ditujukan pada supir angkot yang sibuk mengejar setoran harian—pasti langsung ditolak mentah-mentah. Mereka merasa menulis itu hanya milik kalangan tertentu. Bahkan ada yang berkata, “Buat apa belajar menulis? Untuk apa menulis buku? Ga ada gunanya, kan?”

Namun tidak bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan: siswa, mahasiswa, guru, dosen, ustadz, kyai, dan siapa pun yang hidup di tengah arus ilmu pengetahuan. Justru kepada merekalah ajakan ini seharusnya bergema lebih lantang: Ayo menulis!

Menulis bukan hanya soal menggoreskan tinta di atas kertas atau mengetik huruf di layar. Menulis adalah cara mencatat jejak pemikiran, menyusun ulang pengalaman, dan membekukan hikmah dari setiap peristiwa. Di era di mana perubahan begitu cepat—teknologi berkembang, informasi mengalir deras, dan budaya silih berganti—menulis menjadi kebutuhan, bukan lagi pilihan.

Dengan menulis, kita bukan hanya mendokumentasikan ilmu, tapi juga ikut membentuk arah peradaban. Tulisan adalah warisan yang abadi; ketika lisan berhenti, tulisan tetap hidup. Setiap ilmu yang dibagikan lewat tulisan akan menjadi amal jariyah, setiap ide yang dituangkan akan membangun peradaban.

Apalagi bagi mereka yang menggantungkan hidupnya di perguruan tinggi menulis tidak hanya kebutuhan bahkan kewajiban.

Bukankah Tri Dharma Perguruan Tinggi semuanya membutuhkan kegiatan menulis.

Maka, ayo menulis! Bukan karena semua orang harus jadi penulis buku, tapi karena setiap orang berhak mengabadikan pemikiran, membagikan ilmu, dan meninggalkan jejak sejarahnya sendiri.

Wallahu a'lam.

Bertemu Dosenku di Tanah Suci


Namanya Maysaroh, teman-teman memanggilnya May. Gadis kampung lulusan MAN yang sederhana dan santun. Baru lulus, ia punya tekad kuat kuliah sambil mondok agar bisa menimba ilmu dunia dan akhirat. Bersama dua sahabatnya, Syakila dan Juwita, mereka daftar ke STID Al-Biruni Cirebon.

Hari pertama Ospek, May menyetir sendiri mobil milik pamannya. Sampai di parkiran kampus, tiba-tiba klakson! nyaring terdengar dari belakang. Kaca mobil di belakang terbuka, muncullah pria muda, rapi, tampan, berkacamata hitam.

“Maaf, Mbak. Ini parkiran khusus untuk dosen. Mbaknya mahasiswa baru, ya?” 

Katanya dengan suara ramah namun tegas.

May tersipu malu. 

“Maaf, Pak Dosen… kami salah masuk.”

Begitu Ospek dimulai, terdengar pengumuman bahwa Ketua STID berhalangan hadir masih sedang berada di luar kota dan akan diwakilkan oleh Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan Bapak Dr. Jalaludin, MA. Maysaroh dan teman-temannya terbelalak. Ternyata… dosen yang di parkiran tadi.

“Ya Allah, Mas Dosen rupanya,” 

Gumam May. Dalam hati, doa kecil ia panjatkan:

"Ya Allah andai dia jodohku…”

Waktu berlalu. Tidak terasa sudah semester enam, May makin rajin kuliah, bukan hanya karena semangat menimba ilmu, tapi juga karena diam-diam hatinya terikat pada pribadi lembut dan alim seorang Dr. Jalaludin. 

Namun, badai kecil datang.

“Nak, Bapak sudah menjodohkan kamu dengan Jhoni. Anak teman Bapak. Usahanya banyak, masa depan terjamin,” 

Kata Pak Umar.

May menggeleng kepala perlahan. 

"Maaf, Ayah. May sudah jatuh hati pada Mas Jalal, dosen May di kampus.”

----------

Pada musim haji tahun ini, keluarga May mendapat panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji. Tak disangka, di tengah padatnya Masjidil Haram, Maysaroh kembali bertemu dengan Mas Jalal.

“Mas Jalal? Astaghfirullah… Mas juga di sini?” 

Ujar Maysaroh kaget.

Jalal tersenyum. 

“Iya, May. Tahun ini saya jadi petugas haji dari Kementerian Agama.”

Sejak itu, Maysaroh dan orang tuanya beberapa kali melihat langsung ketulusan Jalal dalam menjalankan tugasnya.

Menjadi petugas haji sudah pasti seluruh waktunya untuk memberikan pelayanan pada para jamaah yang mendapat masalah.

Pernah suatu malam, Jalal mendapatkan kabar bahwa ada jemaah lansia yang pingsan. Ia segera berlari, membopong sendiri ibu tua itu ke pos kesehatan. Tangan dan bajunya basah oleh keringat, tapi senyumnya tak pernah lepas.

Di lain waktu, Jalal menemani seorang jemaah asal pelosok Kalimantan yang menangis kehilangan kelompoknya. Ia menuntunnya menyusuri jalan yang sangat jauh, walau harus jalan kaki lebih dari dua kilometer.

Suatu pagi, ia juga mengurusi pemakaman seorang jemaah yang wafat di Masjidil Haram. Ia sendiri yang memandikan, menshalatkan, bahkan mengangkat jenazah ke liang lahad, karena kerabat almarhum tak ada yang bisa hadir.

Semua itu disaksikan sendiri oleh Pak Umar. Hatinya yang keras perlahan mencair.

Suatu hari, Pak Umar hilang dari rombongan. Panik melanda. May langsung menghubungi Mas Jalal.

“Mas, Ayah hilang. Tolong bantu cari, ya…”

Tanpa banyak tanya, Jalal berlari. Dari pos satu ke pos lain ia menyusuri area Masjidil Haram. Beberapa jam kemudian, ia menemukan Pak Umar duduk.

“Pak Haji, sini saya antar ke keluarga,” 

Ucap Jalal sambil memegang bahu Pak Umar. Tangannya kokoh, menenangkan.

Pak Umar hanya bisa memandang penuh syukur. Di saat genting, Jalal hadir bukan sebagai dosen, tapi sebagai anak laki-laki sejati.

Pulang ke Tanah Air, semuanya berubah. Pak Umar yang awalnya menolak, kini memberi restu.

Sebulan setelah wisuda, May resmi menjadi istri Dr. Jalaludin, MA. Di pelaminan, Maysaroh tersenyum haru. Ia tak hanya lulus sebagai sarjana, tapi juga sebagai perempuan yang berserah penuh kepada rencana Allah—karena cinta yang disimpan dalam doa, akhirnya berbuah nyata di tanah suci.

Sekolah Harapan: Refleksi Hari Pendidikan Nasional


Kisah Bu Lina, Sang Penjaga Cahaya di Hutan Sunyi

Di ujung barat sebuah negeri yang sering luput dari peta perhatian, terdapat sebuah desa terpencil, tertutup kabut pagi dan bisikan hutan. Desa itu seolah berdiri di antara waktu dan doa, sunyi dari hiruk pikuk kota, jauh dari sinyal, namun dekat dengan langit. Di sanalah, setiap pagi, langkah seorang perempuan selalu menggores tanah basah dengan telapak sepatu yang usang. Namanya Bu Lina.

Bukan siapa-siapa. Bukan pegawai negeri. Bukan pula tokoh viral di media sosial. Ia hanya seorang guru honorer, dengan gaji yang bahkan tak cukup untuk membeli sepasang sepatu baru. Tapi di pundaknya, ia memikul beban yang lebih berat dari gunung: masa depan anak-anak pedalaman.

Setiap hari ia berjalan lebih dari tujuh kilometer. Melintasi jembatan kayu yang rapuh, menyeberangi sungai dengan arus deras yang sering membuat orang dewasa pun gentar, lalu menaiki jalan setapak di lereng bukit. Tak jarang hujan turun, mencambuk tubuhnya. Kadang longsor menutup jalur, membuatnya harus memutar lebih jauh. Tapi ia tetap berjalan. Karena di ujung sana, di bangunan tua berdinding bambu bolong dan atap bocor, ada satu ruang yang ia sebut: Sekolah Harapan.

“Bu, kenapa Ibu repot-repot datang, padahal muridnya cuma saya?” 

Tanya Zidan, bocah kurus dengan mata bening seperti embun pagi.

Bu Lina menatap anak itu dan tersenyum.

"Karena kamu adalah harapan, Nak. Meski satu, tapi jika kau tumbuh, kau bisa menjadi pohon yang menaungi banyak.”

Tak selalu ada murid yang datang. Pernah, seminggu penuh Bu Lina duduk sendiri di dalam kelas, membaca buku dengan suara lirih seperti sedang mengajar para malaikat. Pernah pula ia hanya ditemani seekor kucing kurus yang tidur di sudut kelas. Tapi ia tetap datang, tetap membuka buku, tetap menulis di papan tulis yang retak.

Ada satu masa, ia jatuh sakit. Demam tinggi, tubuh menggigil. Tetangganya menawarkan membawa ke puskesmas di kota. Tapi Bu Lina menolak.

"Aku belum selesai menanam benih-benih itu," 

Katanya pelan, 

“Kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga cahaya di sini?”

Malam-malam panjang ia lalui dengan doa. Pagi ia bangun, dan kembali berjalan. Tak ada kamera yang merekam. Tak ada media yang meliput. Tapi setiap langkahnya adalah berita agung di langit.

Suatu pagi, ketika kabut belum sepenuhnya sirna, ia tiba di sekolah dan menemukan lima anak duduk rapi. Salah satunya berkata, 

“Kami datang, Bu. Kami ingin belajar.”

Bu Lina tersenyum, dan air matanya jatuh perlahan. 

“Terima kasih...,”

Ucapnya, 

“Ibu tidak sendiri lagi hari ini.”

Hari-hari pun berlalu. Satu demi satu muridnya pergi—bukan karena putus sekolah, tapi karena mereka akhirnya berani bermimpi. Ada yang jadi guru, ada yang jadi bidan desa, bahkan ada yang kuliah di luar pulau.

Dan suatu hari, datanglah sepucuk surat. Dari Amir, salah satu muridnya dulu yang kini jadi dosen.

“Bu Lina, jika bukan karena Ibu yang mengajar kami di kelas reyot itu, saya mungkin sudah menyerah pada hidup. Tapi Ibu ajarkan kami bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya tak boleh padam, meski lilin kita nyaris habis. Terima kasih, Bu. Dunia saya bermula dari tangan Ibu.”

Bu Lina membaca surat itu berulang kali. Lalu ia menatap keluar jendela bambu. Angin sore menyapa rambutnya yang mulai memutih.

Ia tersenyum. Di kelas sederhana itu, ia tahu satu hal: bahwa perjuangannya, betapa sunyinya, tak pernah sia-sia.

Di sudut negeri, di antara kabut dan sepi, Bu Lina adalah lentera. Bukan untuk disorot, tapi untuk menerangi. Ia adalah suara paling lirih dari pendidikan: tak menggema di podium, tapi bergetar di hati anak-anak yang pernah merasa gelap.

Dan kini, di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita bisikkan sebuah nama: Bu Lina. Guru yang mengajar bukan karena gaji, tapi karena cinta.

Keloter Pertama


Di sebuah desa Sukamaju namanya yang tersembunyi di antara sawah dan gumuk kecil, ada sebuah rumah reot yang dulu menjadi saksi tawa dan tangis, cinta dan duka. Di rumah itu, tinggal seorang perempuan sepuh bernama Bu Inah. Rambutnya telah seluruhnya memutih, jalannya pelan, namun senyumnya masih menghangatkan siapa pun yang datang menyapanya.

Bu Inah bukan siapa-siapa dalam catatan di desa itu. Tapi dalam ingatan langit, ia mungkin satu dari sekian hamba yang sabarnya melebihi luka, yang cintanya menghidupi manusia lain, walau hatinya sendiri terus diuji oleh kehilangan.

Dulu, saat muda, Bu Inah adalah istri dari seorang petani tabah. Hidup mereka sederhana, namun penuh cinta. Dari rahimnya lahir dua anak laki-laki, cahaya yang ia jaga sepenuh jiwa. Mereka tumbuh dalam pelukan doa dan kerja keras.

Namun, takdir memiliki jalan yang tak bisa dibaca manusia. Suaminya jatuh sakit saat musim paceklik menghantam desa. Rumah mereka pernah menjadi sunyi dalam gelap, ketika satu demi satu perabotan dijual demi biaya pengobatan. Di atas tikar lusuh, sang suami mengembuskan napas terakhir dengan kalimat syahadat yang lirih, meninggalkan Bu Inah yang belum sempat mengucapkan selamat tinggal dengan utuh.

Belum usai duka itu, putra bungsunya yang baru duduk di bangku SMA jatuh sakit keras. Kata dokter, penyakitnya terlalu berat untuk ditanggung oleh tubuh yang ringkih dan keluarga yang miskin. Ia pun menyusul ayahnya hanya beberapa bulan setelahnya.

Seakan tak puas menguji, cobaan berikutnya datang menghantam. Anak sulungnya, harapan terakhir, mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari kerja serabutan di kota. Malam itu, Bu Inah menjerit tanpa suara, tubuhnya lemas di depan jenazah yang dibalut kafan. Ia kehilangan seluruh darah dagingnya—sendiri dalam sunyi, sepi dalam ramai.

Tapi Bu Inah tidak menggugat takdir. Ia menangis dalam sujud, meratap dalam tahajud, dan memeluk Al-Qur'an saat malam-malam dingin membekukan perasaan. Ia tak punya siapa-siapa, kecuali Allah.

Suatu hari, ketika ia sedang menyapu halaman masjid, terdengar isak tangis seorang bocah di pelataran. Bocah itu bernama Wahyudin. Ayahnya meninggal karena kecelakaan, dan ibunya entah ke mana menghilang. Tubuh kecilnya ringkih, matanya penuh takut, perutnya keroncongan.

Tanpa pikir panjang, Bu Inah menggendongnya pulang. 

“Nak, kalau kamu tidak punya siapa-siapa, mulai hari ini kamu anak Ibu ya,” 

Ucapnya sambil menyeka air mata si kecil.

Hari-hari berikutnya berubah. Rumah kecil yang tadinya sunyi kembali ramai oleh suara anak-anak. Wahyudin tumbuh di bawah bimbingan Bu Inah. Ia diajari mengaji, didorong untuk sekolah, dan dibekali adab dalam berbicara serta kasih sayang tanpa syarat.

Meski hidup pas-pasan, Bu Inah tak pernah mengeluh. Ia menjahit, menyapu masjid, menanam sayur di belakang rumah demi biaya sekolah Wahyudin. Ia tak meminta balas budi. Cukup melihat anak angkatnya tumbuh menjadi anak shaleh sudah menjadi kebahagiaan yang tak ternilai.

Tahun berganti. Wahyudin lulus kuliah dengan beasiswa, bekerja keras, dan kini menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan swasta besar di Jakarta. Ia menikah dan dikaruniai anak-anak yang cerdas. Namun hatinya tak pernah melupakan perempuan tua yang membesarkannya dalam pelukan kasih dan doa.

Suatu hari, Wahyudin pulang ke kampung bersama istri dan anak-anaknya. Rumah bambu Bu Inah yang dulu rapuh kini telah direnovasi menjadi rumah nyaman dengan taman kecil di halaman depan. Tapi bukan itu yang membuat Bu Inah menangis. Yang membuatnya sujud syukur adalah ketika Wahyudin menggenggam tangannya dan berkata,

“Bu, setahun lalu saya daftarkan Ibu naik haji. Hari ini kita berangkat bersama. Kita keloter pertama, Bu. Ibu jadi tamu Allah.”

Bu Inah tak kuasa menahan tangis. Selama ini, ia hanya bermimpi melihat Ka'bah dari televisi mushala kampung. Kini, ia akan melangkah ke tanah suci, tempat yang ia dambakan dalam setiap sujud dan istighfar.

Pagi ini, Jumat, 2 Meib2025 langit bersih dan angin berhembus sejuk. Warga kampung mengantar Bu Inah ke tempat pemberangkatan. Suasana haru menyelimuti. Wajah-wajah kagum menyaksikan bagaimana seorang nenek tua yang hidup dari kesederhanaan, ternyata mendapat undangan istimewa dari Tuhan.

“Lihatlah, itu buah dari menyayangi anak yatim,” 

Ucap Pak Lurah sambil menitikkan air mata.

Ibu-ibu memeluk Bu Inah sambil berdoa agar diberi kekuatan dan kesehatan selama di Tanah Suci. Anak-anak mencium tangannya satu per satu, meneladani bahwa menjadi orang baik bukan soal harta, tapi soal hati dan amal.

Ketika bus haji mulai bergerak, Bu Inah melambaikan tangan sambil berbisik dalam hati,

“Ya Allah... inikah ganjaran untuk sabar yang kusemai selama puluhan tahun? Inikah buah dari air mata yang kutumpahkan di sajadah tua itu?”

Dan langit kampung menjadi saksi—bahwa siapa pun yang bersabar dalam ujian, yang mengasihi tanpa pamrih, yang menanam kebaikan dalam diam—pasti akan Allah panggil menjadi tamu-Nya, di waktu yang paling indah.

Keloter pertama itu bukan sekadar keberangkatan fisik, melainkan titik awal kemenangan seorang hamba yang telah berhasil melewati badai dunia, menuju pelukan Tuhan-Nya.

Kursi Roda



Sinopsis Novel

Di sebuah komplek perumahan tenang, tinggallah keluarga kecil yang tampak bahagia di mata tetangga. Hendra, seorang dosen teladan. Lestari, guru matematika yang sabar dan ramah. Dan putlri mereka—Yulia remaja cantik berusia 17 tahun yang cerdas, namun menyimpan bara api di hatinya.

Sejak kecil, Yulia hidup dalam aturan.

Suatu hari ayah bilang sama Yulia:

"Yul, nilai kamu harus bagus. Dunia luar kejam, dan kamu harus lebih kuat dari itu."

Sang ibu juga ikut nimbrung:

"Tidak boleh keluar malam, Nak. Kamu perempuan. Ibu hanya ingin kamu selamat."

Yulia berucap pelan:

 “Apa aku penjahat sampai harus dikurung kayak gini?”

Ketika teman-temannya menikmati masa remaja, Yulia merasa dirinya seperti burung di dalam sangkar emas. Lelah dan gerah oleh batasan-batasan.

Awalnya ia hanya pulang sedikit terlambat. Lalu semakin larut. Hingga suatu malam, ayahnya menunggu di ruang tamu, wajah tegang dan mata merah.

Ayah marah karena Yulia pulang larut malam:

 “Kamu tahu jam berapa ini?”

Yulia ketus:

 “Aku bukan anak kecil lagi ayah, bisa jaga diri sendiri.”

Ibu Lestari ikut menimpal: 

“Kamu pulang bau alkohol, Alisha… Kamu ini mau jadi apa?”

Yulia berteriak:

 “Bukan urusan kalian! Ini hidupku! Bukan penjara kalian!”

Air mata ibu Lestari jatuh. Hatinya seperti diremuk oleh suara anak yang dulu ia gendong dengan penuh cinta.

Di sekolah, Yulia menjadi idola. Senyumnya memesona, rambutnya panjang, dan sorot matanya tajam. Di sanalah ia jatuh hati pada Arga—kakak kelas yang tampan dan penuh pesona.

Hubungan mereka seperti mimpi. Tapi perlahan, mimpi itu kabur. Mereka sering pergi bersama, bahkan menginap di tempat yang tak sepantasnya.

Arga berujar pada Yulia:

“Kamu nggak takut orang tuamu tahu?”

Yulia menjawab:

 “Mereka gak pernah benar-benar paham aku. Aku cuma mau bebas.”

Sampai suatu malam, pertengkaran kembali meledak di rumah.

Ibu Lestari sangat geram:

 “Tolong, Yulia. Kami bukan musuhmu…”

Yulia berteriak kencang:

 “Kalian bukan rumahku! Rumah itu tempat aku merasa nyaman, bukan terkurung!”

Lalu ia pergi. Hujan turun. Tangisnya menyatu dengan rintik di wajahnya. Ia menghubungi Arga.

Yulia mengangkat handphone:

 “Jemput aku. Sekarang.”

Mereka melaju di tengah hujan. Motor kencang. Emosi menguasai keduanya.

Arga berkata pada Yulia:

“Tenang, Sayang. Jangan mikir yang buruk dulu…”

Yulia menjawab: 

“Aku benci mereka! Aku mau pergi jauh…”

Tiba-tiba—

BRAK!

Dentuman. Gelap. Sunyi.

Ketika Yulia membuka mata, suara mesin rumah sakit berdetak pelan. Bau antiseptik menyengat. Ibunya ada di sisi ranjang. Wajah lelah dan kusut.

Ibu berbisik lembut:

 “Yulia… Nak…”

Yulia menjawab lemah:

“Bu… Arga?”

Sangat hening suasananya. Mata ibu Lestari berkaca.

Ibu Lestari lalu berujar pelan:

“Dia… tak sempat diselamatkan, Nak.”

Yulia menoleh. Kakinya tak bisa digerakkan. Ia panik.

Lalu Yulia berujar lirih:

“Bu… kakiku… kenapa kaki aku?!”

Ayah masuk ruangan dengan perlahan.

"Kamu lumpuh dari pinggang ke bawah, Nak…”

Jerit Yulia menggema. Tangisnya tak bisa ditahan. Ia merasa seluruh dunia runtuh di dadanya.

Hari-hari selanjutnya hanya tangis, amarah, dan diam. Sampai suatu sore, saat ibunya datang membawa buku tulis.

Ibu Lestari tetap memberikan semangat pada anaknya:

“Kalau kamu tak bisa berjalan dan lari lagi, menulislah. Tumpahkan semua di sini…”

Lalu Alisha berbisik pada ibunya:

“Masih mau dekat sama aku? Setelah semua yang kulakukan?”

Ayah menggenggam tangan Yulia:

“Kami orang tuamu. Tempatmu pulang, apa pun yang terjadi.”

Pelan-pelan, Yulia mulai menulis. Tentang Arga. Tentang kesalahannya. Tentang luka yang tak bisa ia kembalikan. Dan tentang cinta yang sebenarnya sudah selalu ada—di rumah itu.

Beberapa bulan kemudian, setiap senja, Alisha duduk di kursi rodanya, memandang langit jingga.

Yulia dalam hati bergumam:

"Arga… maafkan aku. Aku pernah menyangka dunia akan memberiku sayap. Tapi ternyata, rumah adalah tempat terbaik untuk berteduh. Kini aku tahu, cinta yang sesungguhnya... tak pernah meninggalkanku meski aku tersesat jauh."

Ia menatap kedua orang tuanya yang setia di sampingnya.

Dari bibir Yulia keluar kata-kata permohonan maaf pada orang tuanya.

“Terima kasih ayah, terima kasih ibu… Maafkan aku… Aku sayang Ayah… Aku sayang Ibu…”

Lestari dan Hendra memeluk anaknya. Hangat. Hening. Tapi penuh makna.