Bertemu Dosenku di Tanah Suci


Namanya Maysaroh, teman-teman memanggilnya May. Gadis kampung lulusan MAN yang sederhana dan santun. Baru lulus, ia punya tekad kuat kuliah sambil mondok agar bisa menimba ilmu dunia dan akhirat. Bersama dua sahabatnya, Syakila dan Juwita, mereka daftar ke STID Al-Biruni Cirebon.

Hari pertama Ospek, May menyetir sendiri mobil milik pamannya. Sampai di parkiran kampus, tiba-tiba klakson! nyaring terdengar dari belakang. Kaca mobil di belakang terbuka, muncullah pria muda, rapi, tampan, berkacamata hitam.

“Maaf, Mbak. Ini parkiran khusus untuk dosen. Mbaknya mahasiswa baru, ya?” 

Katanya dengan suara ramah namun tegas.

May tersipu malu. 

“Maaf, Pak Dosen… kami salah masuk.”

Begitu Ospek dimulai, terdengar pengumuman bahwa Ketua STID berhalangan hadir masih sedang berada di luar kota dan akan diwakilkan oleh Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan Bapak Dr. Jalaludin, MA. Maysaroh dan teman-temannya terbelalak. Ternyata… dosen yang di parkiran tadi.

“Ya Allah, Mas Dosen rupanya,” 

Gumam May. Dalam hati, doa kecil ia panjatkan:

"Ya Allah andai dia jodohku…”

Waktu berlalu. Tidak terasa sudah semester enam, May makin rajin kuliah, bukan hanya karena semangat menimba ilmu, tapi juga karena diam-diam hatinya terikat pada pribadi lembut dan alim seorang Dr. Jalaludin. 

Namun, badai kecil datang.

“Nak, Bapak sudah menjodohkan kamu dengan Jhoni. Anak teman Bapak. Usahanya banyak, masa depan terjamin,” 

Kata Pak Umar.

May menggeleng kepala perlahan. 

"Maaf, Ayah. May sudah jatuh hati pada Mas Jalal, dosen May di kampus.”

----------

Pada musim haji tahun ini, keluarga May mendapat panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji. Tak disangka, di tengah padatnya Masjidil Haram, Maysaroh kembali bertemu dengan Mas Jalal.

“Mas Jalal? Astaghfirullah… Mas juga di sini?” 

Ujar Maysaroh kaget.

Jalal tersenyum. 

“Iya, May. Tahun ini saya jadi petugas haji dari Kementerian Agama.”

Sejak itu, Maysaroh dan orang tuanya beberapa kali melihat langsung ketulusan Jalal dalam menjalankan tugasnya.

Menjadi petugas haji sudah pasti seluruh waktunya untuk memberikan pelayanan pada para jamaah yang mendapat masalah.

Pernah suatu malam, Jalal mendapatkan kabar bahwa ada jemaah lansia yang pingsan. Ia segera berlari, membopong sendiri ibu tua itu ke pos kesehatan. Tangan dan bajunya basah oleh keringat, tapi senyumnya tak pernah lepas.

Di lain waktu, Jalal menemani seorang jemaah asal pelosok Kalimantan yang menangis kehilangan kelompoknya. Ia menuntunnya menyusuri jalan yang sangat jauh, walau harus jalan kaki lebih dari dua kilometer.

Suatu pagi, ia juga mengurusi pemakaman seorang jemaah yang wafat di Masjidil Haram. Ia sendiri yang memandikan, menshalatkan, bahkan mengangkat jenazah ke liang lahad, karena kerabat almarhum tak ada yang bisa hadir.

Semua itu disaksikan sendiri oleh Pak Umar. Hatinya yang keras perlahan mencair.

Suatu hari, Pak Umar hilang dari rombongan. Panik melanda. May langsung menghubungi Mas Jalal.

“Mas, Ayah hilang. Tolong bantu cari, ya…”

Tanpa banyak tanya, Jalal berlari. Dari pos satu ke pos lain ia menyusuri area Masjidil Haram. Beberapa jam kemudian, ia menemukan Pak Umar duduk.

“Pak Haji, sini saya antar ke keluarga,” 

Ucap Jalal sambil memegang bahu Pak Umar. Tangannya kokoh, menenangkan.

Pak Umar hanya bisa memandang penuh syukur. Di saat genting, Jalal hadir bukan sebagai dosen, tapi sebagai anak laki-laki sejati.

Pulang ke Tanah Air, semuanya berubah. Pak Umar yang awalnya menolak, kini memberi restu.

Sebulan setelah wisuda, May resmi menjadi istri Dr. Jalaludin, MA. Di pelaminan, Maysaroh tersenyum haru. Ia tak hanya lulus sebagai sarjana, tapi juga sebagai perempuan yang berserah penuh kepada rencana Allah—karena cinta yang disimpan dalam doa, akhirnya berbuah nyata di tanah suci.

2 komentar:

  1. Sungguh skenario Tuhan selalu indah, bahkan ketika kita tidak memahaminya

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas komentarnya, ajak teman2 mahasiswa untuk komen

    BalasHapus