Etika Penyiaran Islam di Era Post-Truth


Kita tengah hidup di sebuah era ketika kebenaran menjadi relatif, emosi mendominasi nalar, dan informasi berlimpah tak selalu membawa pencerahan. Inilah zaman yang oleh banyak ilmuwan komunikasi dan filsuf media disebut sebagai post-truth era. Dalam Kamus Oxford, post-truth dimaknai sebagai “kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.” Artinya, dalam ruang komunikasi publik hari ini, yang paling menentukan bukan lagi bukti atau data, tetapi siapa yang paling emosional, paling dramatis, dan paling mampu membentuk narasi yang viral.

Fenomena ini tentu berdampak sangat besar terhadap semua aspek kehidupan, termasuk terhadap agama dan penyiaran nilai-nilai Islam. Bila dahulu umat menggantungkan pemahaman agama pada ulama dan lembaga otoritatif, kini siapa pun dapat menjadi "ustaz" dadakan di kanal YouTube, TikTok, atau podcast. Ada yang membawa pencerahan, namun tak sedikit pula yang memancing keresahan.

Oleh karena itu, penyiaran Islam tidak dapat lagi berjalan secara mekanistik atau sekadar berbasis teknologi. Ia harus dilandasi oleh kesadaran etik yang mendalam, karena dalam penyiaran agama terdapat nilai-nilai ilahiah yang tidak bisa diperlakukan sembarangan. Etika penyiaran Islam harus menjadi kompas di tengah gelombang disinformasi dan narasi destruktif.

Penyiaran Islam: Antara Dakwah dan Disrupsi Digital

Penyiaran Islam adalah bagian dari dakwah yang menggunakan media massa—baik tradisional maupun digital—untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman kepada publik. Dalam sejarahnya, penyiaran Islam sempat berkembang pesat melalui radio dakwah, televisi Islam, hingga kini menembus ruang digital dengan kanal-kanal seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Namun, seiring berkembangnya teknologi, muncul pula berbagai tantangan baru.

Kehadiran algoritma media sosial yang bekerja berdasarkan engagement (suka, komentar, dan share) memaksa para kreator konten untuk memproduksi materi yang "menjual". Ironisnya, yang paling laku justru bukan konten edukatif yang mendalam, tetapi konten kontroversial, provokatif, bahkan penuh ujaran kebencian. Di sinilah krisis etika penyiaran Islam mulai tampak: ketika konten dakwah dikodifikasi demi klik dan keuntungan finansial, bukan lagi sebagai amanah ilahiah.

Lebih berbahaya lagi, ketika penyiaran Islam dijadikan alat untuk polarisasi politik, propaganda sektarian, atau penyesatan informasi dengan balutan dalil. Maka yang terjadi bukanlah dakwah yang menyejukkan, melainkan dakwah yang justru membelah masyarakat. Semua itu adalah buah dari absennya kerangka etika dalam penyiaran Islam di tengah era post-truth.

Fondasi Etika dalam Penyiaran Islam

Dalam Islam, komunikasi dan penyampaian informasi sangat terkait dengan akhlak. Nabi Muhammad SAW dikenal bukan hanya sebagai pembicara yang fasih, tetapi juga sebagai pribadi yang paling amanah, jujur, dan lembut dalam menyampaikan pesan. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini menjadi dasar bahwa komunikasi dakwah dalam Islam harus dibangun atas tiga pilar utama:

1. Hikmah (kebijaksanaan): Menyesuaikan cara penyampaian dengan kondisi audiens dan konteks sosial.

2. Mau'izhah hasanah (nasihat yang baik): Memberikan motivasi dan pelajaran dengan kelembutan, bukan dengan ancaman atau tekanan.

3. Mujadalah bil-lati hiya ahsan (diskusi dengan cara terbaik): Tidak memaksakan pendapat, tetapi membuka ruang dialog yang konstruktif.

Etika penyiaran Islam juga harus mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut:

Tabayyun: Verifikasi kebenaran informasi, apalagi jika menyangkut aib, fitnah, atau penilaian terhadap kelompok lain.

Tawaqquf: Menahan diri dalam hal yang belum pasti, apalagi jika tidak memiliki kapasitas ilmiah untuk membahasnya.

Amanah: Menyadari bahwa setiap kata dalam penyiaran adalah amanat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Adil: Tidak memihak atau bersikap tendensius dalam menyampaikan isu agama.

Penyiaran Islam di Era Post-Truth: Antara Tantangan dan Harapan

Tantangan besar di era ini adalah bagaimana tetap menyampaikan dakwah Islam yang otentik, jernih, dan etis, di tengah budaya viral yang yang dan berisik. Apakah mungkin? Jawabannya: sangat mungkin, asalkan para pelaku penyiaran Islam—terutama generasi muda dari Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)—memiliki komitmen etik yang kuat.

Mahasiswa KPI tidak hanya belajar menjadi penyiar, tetapi harus dididik sebagai komunikator nilai dan agen perubahan sosial. Mereka harus membangun konten dakwah yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi kaya secara intelektual dan spiritual. Mereka harus mampu menghadirkan Islam sebagai agama kasih, bukan sebagai agama yang mudah menghakimi.

Profi atau jurusan KPI juga perlu melakukan inovasi kurikulum yang memadukan ilmu komunikasi, studi Islam, dan etika digital. Tidak cukup hanya mengajarkan teknik siaran atau editing video, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, literasi media, dan adab dalam berbicara.

Menuju Dakwah yang Mencerahkan

Etika bukan pelengkap, tetapi fondasi dari penyiaran Islam yang berkualitas. Era post-truth memang memunculkan tantangan besar, tetapi juga membuka peluang emas: yakni menjadikan penyiaran Islam sebagai obor penerang di tengah gelapnya kebingungan informasi.

Penyiaran Islam yang etis tidak akan viral karena kebencian, tetapi akan lestari karena kebenaran. Ia tidak akan memecah belah, tetapi menyatukan. Tidak membakar, tetapi menyejukkan. Inilah cita-cita besar yang harus diusung oleh mahasiswa KPI, akademisi dakwah, dan seluruh pelaku media Islam.

Mari kita kembalikan ruh dakwah ke jalan yang benar: jalan yang menyinari hati, bukan memanaskan kepala. Jalan yang menuntun dengan kasih, bukan menakut-nakuti dengan amarah. Dan semua itu hanya mungkin terjadi jika kita memulai dengan satu kata kunci: etika atau akhlak.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar