Ponsel tua Lusa bergetar di atas televisi tabung yang juga sudah mulai usang. Aku bergegasSebuah Kisah di Kampung Halamanmenghampirinya dan meraih benda pipih kesayanganku yang layarnya telah buram dan suaranya tak sejelas dulu. Sebuah panggilan masuk dari Kak Nilam—kakakku yang tertua, yang kini tinggal di kota bersama keluarganya.
Kupencet ikon hijau dengan sedikit gemetar.
"Assalamu'alaikum, Kak," sapaku pelan, menahan rindu yang diam-diam menumpuk selama bertahun-tahun.
“Wa’alaikumsalam, Lisa…” suara Kak Nilam terdengar hangat di seberang. “Besok aku sama Ferdi mau ke sana, ya. Kangen sama rumah lama… sama kamu juga.”
Aku tercekat. Mataku berkaca-kaca mendengar kabar itu. Setelah Ibu meninggal tiga tahun lalu, ini pertama kalinya Kak Nilam dan Ferdi—adik bungsuku—menyempatkan datang kembali ke kampung halaman.
"Lisa? Kamu masih di situ?"
“Eh… iya, Kak… iya,”
Jawabku gugup, berusaha menutupi keterkejutan dan kegembiraan yang meletup dalam dada.
“Besok aku masakin makanan kesukaan Kak Nilam dan Ferdi, ya… InsyaAllah.”
Terdengar tawa kecil dari seberang, “Aku tahu kamu nggak pernah berubah, Lis. Terima kasih, ya…”
Setelah salam ditutup, aku menatap ponselku lama sekali, kemudian meletakkannya kembali ke atas televisi. Senyumku masih mengambang, tapi pikiranku mulai berkecamuk.
Beras hanya tersisa untuk makan malam ini dan besok pagi...
Dengan enam perut yang harus terisi esok siang, termasuk keponakan-keponakanku, aku tahu persediaanku tak cukup. Mataku melirik ke luar jendela, melihat Mas Waris sedang mencangkul tanah pekarangan.
"Mas…" panggilku pelan sambil keluar rumah. “Besok Kak Nilam sama Ferdi datang. Mau makan siang di sini.”
Mas Waris menatapku sejenak, meletakkan cangkulnya. “Aku periksa bubu di sungai, ya. Siapa tahu ada gabus atau puyu.”
Aku hanya mengangguk. Tidak perlu kata-kata panjang. Kami sudah cukup lama hidup dalam keheningan yang penuh pengertian.
Aku melangkah masuk ke kamar Wildan, anak bungsuku. Ia sedang memandangi ayam jagonya dari jendela.
“Sayang…,” panggilku lirih sambil mengusap rambutnya. “Besok Susan dan Faris datang main, ya. Senang?”
Ia mengangguk bersemangat.
“Wildan… bolehkah ayamnya Ibu tukar dulu sama beras? Nanti kalau ada rezeki, kita beli ayam baru yang lebih bagus…”
Wildan menatapku. Ada sedikit keraguan, tapi ia mengangguk lagi. “Boleh, Bu. Asal nanti beliin mainan juga ya… kalau bisa dua.”
Aku tertawa pelan sambil memeluknya. “InsyaAllah, Nak.”
Dengan hati sedikit lega, aku berangkat ke warung membawa dua ayam jantan itu. Setelah tawar-menawar yang cukup lama, akhirnya aku pulang membawa beras lima kilogram, minyak, bawang, telur, dan sedikit jajan untuk anak-anak.
Keesokan harinya, dua mobil berhenti di depan rumah. Aku berdiri di ambang pintu, menahan debar. Dari dalam mobil keluar Kak Nilam dan Ferdi bersama pasangan dan anak-anak mereka.
“Lisaaa!” seru Kak Nilam, lalu memelukku erat.
“Astaga, rumah ini… masih sama persis seperti dulu ya,” kata Ferdi sambil menatap sekeliling.
Aku tersenyum lebar, meski dalam hati masih ada rasa minder. Tapi kebahagiaan karena mereka datang mengalahkan segalanya. Aku ajak mereka makan siang. Menu sederhana: ikan gabus bumbu bali, tumis kangkung, dan kulupan jantung pisang.
“Berasa makan masakan ibu,” gumam Ferdi sambil menyendok nasi untuk ketiga kalinya.
Aku tersenyum. Tiba-tiba, semua lelah dan air mata yang pernah kucurahkan untuk bertahan terasa terbayar lunas.
Malam hari, kami duduk di teras, mengenang masa kecil. Ferdi tertawa saat mengingat saat ia pernah dikurung di kamar mandi olehku gara-gara rebutan permen.
Pagi harinya, saat mereka pamit pulang, aku menyuguhkan nasi goreng putih seadanya dan telur dadar.
“Ini nasi goreng khas Lisa,” kata Kak Nilam. “Nggak ada yang bisa nandingin!”
Aku tersipu. Susan—anak Kak Nilam—kemudian merengek ingin membawa boneka satu-satunya milik Dila, anak perempuanku.
“Boleh, kok,”
Ucap Dila cepat, meski kutahu itu boneka kesayangannya.
Hatiku bergetar. Anak-anakku belajar memberi bahkan dalam keterbatasan.
Beberapa jam setelah mereka pergi, Pak Zainal datang membawa dua karung beras dan satu kardus besar.
“Titipan Kak Nilam sama Ferdi, Mbak,” katanya. “Pesannya, baru boleh dikasih kalau mereka udah pulang.”
Dalam kardus itu ada semua: minyak, gula, kopi, biskuit, susu, bahkan cemilan anak-anak. Aku tak mampu berkata apa-apa, hanya air mata yang turun deras.
Aku menelpon mereka sambil terisak. Tapi mereka hanya tertawa kecil di ujung telepon.
“Kakakmu ini ya,” ucap Kak Nilam. “Dulu tega ambil uang sakumu, sekarang masa nggak boleh balas jasa?”
Dua hari kemudian, sebuah Pick Up hitam berhenti di depan rumah. Tiga orang menurunkan sepeda motor bekas yang masih bagus dan satu kardus besar.
Aku hampir tak percaya.
“Titipan dari Ferdi dan Kak Nilam,” ucap sang pengantar.
Tanganku gemetar membuka pesan dari Ferdi.
[Istriku beli motor baru. Yang ini enggak dipakai. Mungkin Kak Waris bisa pakai buat kerja atau antar anak-anak.]
Aku balas sambil menahan air mata:
[Fer… ini mahal, Dik. Gimana kalau istrimu enggak setuju?]
[Enggak, Kak. Itu enggak sebanding dengan dua tahun Kakak urus Ibu sendirian dulu…]
Aku menutup wajahku. Tangis pecah tanpa bisa dicegah. Mas Waris memelukku pelan dari belakang.
Anak-anak sudah membuka kardus dan menjerit senang. Boneka-boneka baru, baju-baju bagus, dan... sebuah kotak kecil.
Aku membukanya. Sepasang anting. Anting yang dipakai Kak Nilam saat kemarin ke sini.
Kubuka pesan darinya.
[Susan dan Rudi ke Mall, banyak diskonan. Jadi beli buat Dila dan Wildan. Anting itu? Aku sudah bosan. Kayaknya cocok di kamu.]
Aku langsung menelpon Kak Nilam.
“Kak… ini anting mahal. Aku nggak bisa nerima…”
“Kalau kamu balikin, berarti kamu nggak anggap aku kakakmu!” jawabnya cepat. “Dulu, aku sering ambil uang sakumu, dan ibu marah. Katanya, kakak itu harusnya memberi, bukan mengambil…”
Terdengar tawa kecilnya di ujung telep
Ironis, dramatis, atis mangan gabus laka sambele
BalasHapus