Onta, Transportasi Haji Tempo Doeloe





Di bawah langit padang pasir yang membentang luas, ketika matahari menyala garang dan pasir berkilau seperti bara, berjalanlah kafilah panjang yang sarat doa dan harapan. Di antara denting lonceng kecil yang menggantung di leher hewan-hewan padang, para jamaah haji tempo dulu menempuh jalan menuju Rumah Tuhan bukan dengan kecepatan, tetapi dengan keteguhan. Dan onta—makhluk tabah yang tercipta untuk menaklukkan dahaga dan debu—menjadi saksi sunyi perjalanan suci itu.

Ketika kini kita duduk nyaman dalam kabin pesawat, terbang dari bandara internasional menuju Madinah hanya dalam hitungan jam, barangkali sulit membayangkan bagaimana para nenek moyang kita menapaki rukun Islam kelima dengan peluh dan perjuangan. Mereka berangkat dari tanah air berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sebelum musim haji. Naik kapal uap dari pelabuhan-pelabuhan besar seperti Tanjung Priok, Makassar, atau Sabang. Sesampainya di pelabuhan Jeddah, perjalanan belumlah usai. Padang pasir masih harus dilintasi. Jalan masih panjang. Maka onta pun menjadi teman seperjalanan, kendaraan setia yang mengantar mereka menembus badai debu dan terik mentari.

Onta bukan hanya alat transportasi; ia adalah lambang kesabaran. Langkahnya yang lambat namun pasti, menjadi metafora dari perjalanan spiritual menuju Tuhan. Di atas punggung onta, jamaah menggantungkan harapan. Di antara guncangan pelana dan irama angin gurun, mereka melafalkan doa-doa yang tulus, menahan lapar dan haus, mengikat diri dalam kesabaran yang panjang.

Berjalan dalam rombongan kafilah, malam-malam dilewati dengan tidur beralas pasir dan berlangit bintang. Tidak ada AC, tidak ada pendingin, tidak ada sinyal untuk mengabari keluarga. Hanya ada dzikir yang terus mengalir, dan keyakinan bahwa setiap langkah, meski tertatih, mendekatkan mereka pada cinta Ilahi.

Kini, semua berubah. Zaman telah mengganti onta dengan bus dan kereta cepat. Perjalanan haji telah menjadi ritual yang lebih efisien, lebih aman, lebih nyaman. Namun, ada yang mungkin perlahan memudar—makna perjuangan itu sendiri. Ketika tubuh tak lagi letih, apakah hati kita masih rindu? Ketika perjalanan terasa mudah, apakah batin kita tetap bersungguh?

Kisah onta di tengah gurun, kisah debu dan peluh, bukan sekadar kenangan tua yang tersimpan dalam buku sejarah. Ia adalah cermin bagi kita hari ini—generasi yang hidup dalam kemudahan. Sudahkah kita menghayati makna haji dengan penuh ketulusan sebagaimana mereka yang dahulu menunggang onta dengan hanya bekal seadanya dan semangat yang tak pernah padam?

Mereka, yang pergi dengan harapan dan mungkin tak pernah kembali, menjadikan haji sebagai puncak pengorbanan. Ada yang wafat di tengah perjalanan dan dimakamkan di pasir-pasir sunyi, tanpa nisan, hanya langit yang menjadi penandanya. Tapi mungkin justru di situlah letak kemuliaannya: mati dalam perjalanan cinta kepada Allah.

Onta-onta itu, kini mungkin hanya muncul dalam cerita, dalam foto hitam putih di museum, atau dalam kisah kakek nenek yang masih kita dengar di kampung halaman. Tapi biarlah kisah mereka tetap hidup, menjadi sumber inspirasi, bahwa untuk menuju Tuhan, kita butuh lebih dari sekadar ongkos dan fasilitas—kita butuh jiwa yang siap bersabar, hati yang siap berkorban, dan iman yang tak mengenal lelah.

Mari kita kenang kembali onta, bukan sebagai nostalgia romantis, tetapi sebagai pesan abadi: bahwa perjalanan menuju Allah adalah perjalanan yang penuh ujian, namun sangat indah bila dijalani dengan keikhlasan.

Wallohu a'lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar