Sinopsis Novel
Di sebuah komplek perumahan tenang, tinggallah keluarga kecil yang tampak bahagia di mata tetangga. Hendra, seorang dosen teladan. Lestari, guru matematika yang sabar dan ramah. Dan putlri mereka—Yulia remaja cantik berusia 17 tahun yang cerdas, namun menyimpan bara api di hatinya.
Sejak kecil, Yulia hidup dalam aturan.
Suatu hari ayah bilang sama Yulia:
"Yul, nilai kamu harus bagus. Dunia luar kejam, dan kamu harus lebih kuat dari itu."
Sang ibu juga ikut nimbrung:
"Tidak boleh keluar malam, Nak. Kamu perempuan. Ibu hanya ingin kamu selamat."
Yulia berucap pelan:
“Apa aku penjahat sampai harus dikurung kayak gini?”
Ketika teman-temannya menikmati masa remaja, Yulia merasa dirinya seperti burung di dalam sangkar emas. Lelah dan gerah oleh batasan-batasan.
Awalnya ia hanya pulang sedikit terlambat. Lalu semakin larut. Hingga suatu malam, ayahnya menunggu di ruang tamu, wajah tegang dan mata merah.
Ayah marah karena Yulia pulang larut malam:
“Kamu tahu jam berapa ini?”
Yulia ketus:
“Aku bukan anak kecil lagi ayah, bisa jaga diri sendiri.”
Ibu Lestari ikut menimpal:
“Kamu pulang bau alkohol, Alisha… Kamu ini mau jadi apa?”
Yulia berteriak:
“Bukan urusan kalian! Ini hidupku! Bukan penjara kalian!”
Air mata ibu Lestari jatuh. Hatinya seperti diremuk oleh suara anak yang dulu ia gendong dengan penuh cinta.
Di sekolah, Yulia menjadi idola. Senyumnya memesona, rambutnya panjang, dan sorot matanya tajam. Di sanalah ia jatuh hati pada Arga—kakak kelas yang tampan dan penuh pesona.
Hubungan mereka seperti mimpi. Tapi perlahan, mimpi itu kabur. Mereka sering pergi bersama, bahkan menginap di tempat yang tak sepantasnya.
Arga berujar pada Yulia:
“Kamu nggak takut orang tuamu tahu?”
Yulia menjawab:
“Mereka gak pernah benar-benar paham aku. Aku cuma mau bebas.”
Sampai suatu malam, pertengkaran kembali meledak di rumah.
Ibu Lestari sangat geram:
“Tolong, Yulia. Kami bukan musuhmu…”
Yulia berteriak kencang:
“Kalian bukan rumahku! Rumah itu tempat aku merasa nyaman, bukan terkurung!”
Lalu ia pergi. Hujan turun. Tangisnya menyatu dengan rintik di wajahnya. Ia menghubungi Arga.
Yulia mengangkat handphone:
“Jemput aku. Sekarang.”
Mereka melaju di tengah hujan. Motor kencang. Emosi menguasai keduanya.
Arga berkata pada Yulia:
“Tenang, Sayang. Jangan mikir yang buruk dulu…”
Yulia menjawab:
“Aku benci mereka! Aku mau pergi jauh…”
Tiba-tiba—
BRAK!
Dentuman. Gelap. Sunyi.
Ketika Yulia membuka mata, suara mesin rumah sakit berdetak pelan. Bau antiseptik menyengat. Ibunya ada di sisi ranjang. Wajah lelah dan kusut.
Ibu berbisik lembut:
“Yulia… Nak…”
Yulia menjawab lemah:
“Bu… Arga?”
Sangat hening suasananya. Mata ibu Lestari berkaca.
Ibu Lestari lalu berujar pelan:
“Dia… tak sempat diselamatkan, Nak.”
Yulia menoleh. Kakinya tak bisa digerakkan. Ia panik.
Lalu Yulia berujar lirih:
“Bu… kakiku… kenapa kaki aku?!”
Ayah masuk ruangan dengan perlahan.
"Kamu lumpuh dari pinggang ke bawah, Nak…”
Jerit Yulia menggema. Tangisnya tak bisa ditahan. Ia merasa seluruh dunia runtuh di dadanya.
Hari-hari selanjutnya hanya tangis, amarah, dan diam. Sampai suatu sore, saat ibunya datang membawa buku tulis.
Ibu Lestari tetap memberikan semangat pada anaknya:
“Kalau kamu tak bisa berjalan dan lari lagi, menulislah. Tumpahkan semua di sini…”
Lalu Alisha berbisik pada ibunya:
“Masih mau dekat sama aku? Setelah semua yang kulakukan?”
Ayah menggenggam tangan Yulia:
“Kami orang tuamu. Tempatmu pulang, apa pun yang terjadi.”
Pelan-pelan, Yulia mulai menulis. Tentang Arga. Tentang kesalahannya. Tentang luka yang tak bisa ia kembalikan. Dan tentang cinta yang sebenarnya sudah selalu ada—di rumah itu.
Beberapa bulan kemudian, setiap senja, Alisha duduk di kursi rodanya, memandang langit jingga.
Yulia dalam hati bergumam:
"Arga… maafkan aku. Aku pernah menyangka dunia akan memberiku sayap. Tapi ternyata, rumah adalah tempat terbaik untuk berteduh. Kini aku tahu, cinta yang sesungguhnya... tak pernah meninggalkanku meski aku tersesat jauh."
Ia menatap kedua orang tuanya yang setia di sampingnya.
Dari bibir Yulia keluar kata-kata permohonan maaf pada orang tuanya.
“Terima kasih ayah, terima kasih ibu… Maafkan aku… Aku sayang Ayah… Aku sayang Ibu…”
Lestari dan Hendra memeluk anaknya. Hangat. Hening. Tapi penuh makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar