Sekolah Harapan: Refleksi Hari Pendidikan Nasional


Kisah Bu Lina, Sang Penjaga Cahaya di Hutan Sunyi

Di ujung barat sebuah negeri yang sering luput dari peta perhatian, terdapat sebuah desa terpencil, tertutup kabut pagi dan bisikan hutan. Desa itu seolah berdiri di antara waktu dan doa, sunyi dari hiruk pikuk kota, jauh dari sinyal, namun dekat dengan langit. Di sanalah, setiap pagi, langkah seorang perempuan selalu menggores tanah basah dengan telapak sepatu yang usang. Namanya Bu Lina.

Bukan siapa-siapa. Bukan pegawai negeri. Bukan pula tokoh viral di media sosial. Ia hanya seorang guru honorer, dengan gaji yang bahkan tak cukup untuk membeli sepasang sepatu baru. Tapi di pundaknya, ia memikul beban yang lebih berat dari gunung: masa depan anak-anak pedalaman.

Setiap hari ia berjalan lebih dari tujuh kilometer. Melintasi jembatan kayu yang rapuh, menyeberangi sungai dengan arus deras yang sering membuat orang dewasa pun gentar, lalu menaiki jalan setapak di lereng bukit. Tak jarang hujan turun, mencambuk tubuhnya. Kadang longsor menutup jalur, membuatnya harus memutar lebih jauh. Tapi ia tetap berjalan. Karena di ujung sana, di bangunan tua berdinding bambu bolong dan atap bocor, ada satu ruang yang ia sebut: Sekolah Harapan.

“Bu, kenapa Ibu repot-repot datang, padahal muridnya cuma saya?” 

Tanya Zidan, bocah kurus dengan mata bening seperti embun pagi.

Bu Lina menatap anak itu dan tersenyum.

"Karena kamu adalah harapan, Nak. Meski satu, tapi jika kau tumbuh, kau bisa menjadi pohon yang menaungi banyak.”

Tak selalu ada murid yang datang. Pernah, seminggu penuh Bu Lina duduk sendiri di dalam kelas, membaca buku dengan suara lirih seperti sedang mengajar para malaikat. Pernah pula ia hanya ditemani seekor kucing kurus yang tidur di sudut kelas. Tapi ia tetap datang, tetap membuka buku, tetap menulis di papan tulis yang retak.

Ada satu masa, ia jatuh sakit. Demam tinggi, tubuh menggigil. Tetangganya menawarkan membawa ke puskesmas di kota. Tapi Bu Lina menolak.

"Aku belum selesai menanam benih-benih itu," 

Katanya pelan, 

“Kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga cahaya di sini?”

Malam-malam panjang ia lalui dengan doa. Pagi ia bangun, dan kembali berjalan. Tak ada kamera yang merekam. Tak ada media yang meliput. Tapi setiap langkahnya adalah berita agung di langit.

Suatu pagi, ketika kabut belum sepenuhnya sirna, ia tiba di sekolah dan menemukan lima anak duduk rapi. Salah satunya berkata, 

“Kami datang, Bu. Kami ingin belajar.”

Bu Lina tersenyum, dan air matanya jatuh perlahan. 

“Terima kasih...,”

Ucapnya, 

“Ibu tidak sendiri lagi hari ini.”

Hari-hari pun berlalu. Satu demi satu muridnya pergi—bukan karena putus sekolah, tapi karena mereka akhirnya berani bermimpi. Ada yang jadi guru, ada yang jadi bidan desa, bahkan ada yang kuliah di luar pulau.

Dan suatu hari, datanglah sepucuk surat. Dari Amir, salah satu muridnya dulu yang kini jadi dosen.

“Bu Lina, jika bukan karena Ibu yang mengajar kami di kelas reyot itu, saya mungkin sudah menyerah pada hidup. Tapi Ibu ajarkan kami bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya tak boleh padam, meski lilin kita nyaris habis. Terima kasih, Bu. Dunia saya bermula dari tangan Ibu.”

Bu Lina membaca surat itu berulang kali. Lalu ia menatap keluar jendela bambu. Angin sore menyapa rambutnya yang mulai memutih.

Ia tersenyum. Di kelas sederhana itu, ia tahu satu hal: bahwa perjuangannya, betapa sunyinya, tak pernah sia-sia.

Di sudut negeri, di antara kabut dan sepi, Bu Lina adalah lentera. Bukan untuk disorot, tapi untuk menerangi. Ia adalah suara paling lirih dari pendidikan: tak menggema di podium, tapi bergetar di hati anak-anak yang pernah merasa gelap.

Dan kini, di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita bisikkan sebuah nama: Bu Lina. Guru yang mengajar bukan karena gaji, tapi karena cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar