Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, banyak negara maju justru mengambil langkah tak terduga: kembali ke buku cetak dan tulisan tangan. Negara-negara seperti Jepang, Finlandia, Jerman, dan beberapa negara Skandinavia mulai meninjau ulang ketergantungan pada teknologi dalam dunia pendidikan. Mereka memilih untuk menyeimbangkan penggunaan perangkat digital dengan metode pembelajaran klasik yang telah terbukti efektif dalam membangun literasi dan pemahaman yang mendalam.
Fenomena ini layak menjadi cermin bagi Indonesia. Ketika negara lain mulai menyadari bahwa buku dan pena adalah fondasi penting dalam pendidikan, kita justru sering terjebak dalam euforia digital tanpa persiapan yang matang.
Buku Cetak: Lebih dari Sekadar Media Baca
Buku cetak bukan sekadar alat baca, tetapi jendela imajinasi dan ruang refleksi. Banyak studi ilmiah menunjukkan bahwa membaca melalui media fisik dapat meningkatkan konsentrasi, pemahaman bacaan, serta daya ingat jangka panjang. Di Jepang, siswa sekolah dasar diwajibkan membaca buku fisik setiap hari. Di Finlandia, buku cetak masih menjadi media utama dalam pembelajaran dasar. Mereka sadar bahwa membaca bukan sekadar menuntaskan teks, tetapi melibatkan proses berpikir kritis yang lebih mendalam.
Sebaliknya di Indonesia, buku cetak perlahan tergeser oleh bahan ajar digital. Padahal, di banyak daerah, akses internet belum stabil dan kemampuan literasi digital siswa masih rendah. Akibatnya, proses belajar menjadi tidak merata dan kurang efektif.
Menulis Tangan dan Aktivasi Otak
Menulis tangan bukan sekadar aktivitas mekanis, melainkan proses kognitif yang kompleks. Saat menulis dengan tangan, otak bekerja mengolah informasi, menyusun struktur kalimat, dan mengingat kata-kata. Penelitian dalam bidang neurosains menunjukkan bahwa menulis tangan memperkuat koneksi saraf di otak yang berperan dalam daya ingat dan pemahaman.
Beberapa negara maju kini kembali mewajibkan menulis tangan di jenjang pendidikan dasar. Di Norwegia, misalnya, siswa dilatih menulis tangan sebelum diperkenalkan dengan perangkat digital. Sementara itu, di Indonesia, menulis tangan justru semakin ditinggalkan. Padahal, bagi banyak pelajar di daerah dengan keterbatasan akses digital, menulis di buku adalah satu-satunya cara efektif untuk belajar.
Kebijakan yang Setengah Hati
Salah satu problem utama pendidikan di Indonesia adalah kebijakan yang kerap berubah mengikuti tren, bukan berdasarkan evaluasi yang kuat. Digitalisasi pembelajaran didorong secara masif tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan SDM. Guru di banyak daerah tidak dibekali pelatihan yang cukup. Anak-anak diminta belajar dengan gawai, sementara jaringan internet di rumah mereka tidak stabil, bahkan tidak ada listrik sama sekali.
Di sisi lain, tidak ada upaya serius untuk memperkuat budaya membaca buku fisik atau membiasakan kembali menulis tangan. Akibatnya, sistem pendidikan kita tampak gamang: mengejar kemajuan digital tetapi lupa memperkuat fondasi literasi dasar.
Kembali ke Dasar, Maju ke Depan
Kembali ke buku dan pena bukan berarti menolak kemajuan teknologi. Ini soal keseimbangan dan peneguhan prinsip bahwa pendidikan bukan sekadar soal alat, tetapi soal proses yang membentuk cara berpikir dan karakter.
Indonesia perlu kembali menempatkan buku cetak dan tulisan tangan sebagai fondasi pembelajaran, sembari mengembangkan teknologi sebagai alat bantu, bukan sebagai tujuan utama. Pemerintah harus menyusun kebijakan pendidikan yang konsisten dan berbasis riset, bukan sekadar mengikuti tren global. Guru perlu diberdayakan, bukan hanya dibebani.
Jika negara maju saja kembali pada metode konvensional demi kualitas pendidikan, mengapa kita justru tergesa-gesa meninggalkannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar