Gelar Doktor dan Profesor
(Puncak Akademik yang Menuntut Kematangan Intelektual dan Moral)
Dalam tradisi akademik modern, gelar doktor dan profesor menempati posisi yang sangat terhormat. Keduanya bukan sekadar representasi dari capaian intelektual semata, tetapi juga simbol dari kedalaman pengetahuan, ketajaman analisis, serta kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Di banyak negara, gelar tersebut diraih melalui proses panjang, melibatkan penelitian serius, publikasi ilmiah bereputasi, serta dedikasi penuh terhadap dunia akademik. Namun, di balik segala kehormatan dan pengakuan publik yang melekat pada gelar tersebut, terdapat tantangan etis, psikologis, dan sosial yang tidak jarang terabaikan.
Secara formal, gelar doktor diperoleh setelah menyelesaikan pendidikan jenjang S3 yang menuntut seorang mahasiswa untuk melakukan riset orisinal yang memperkaya khasanah ilmu. Sementara gelar profesor, khususnya di Indonesia, diberikan kepada akademisi yang telah menunjukkan konsistensi dalam publikasi ilmiah, pengabdian masyarakat, dan pengajaran dalam waktu yang panjang. Kedua gelar ini pada dasarnya menandai transformasi seseorang menjadi sosok panutan akademik dan intelektual publik.
Namun, tantangan sesungguhnya justru dimulai setelah gelar tersebut diraih. Tidak sedikit yang menyangka bahwa dengan meraih gelar doktor atau profesor, seseorang otomatis menjadi pribadi yang matang secara emosional dan etis. Kenyataannya, dalam berbagai ruang akademik, kita menyaksikan kenyataan yang kontras. Banyak akademisi yang unggul dalam teori dan metodologi, tetapi gagap dalam mengelola konflik interpersonal, mudah tersulut oleh perbedaan pendapat, bahkan terjebak dalam rivalitas yang tidak produktif. Ego akademik kerap kali muncul dalam bentuk keengganan untuk dikritik, sensitivitas terhadap status, hingga kecenderungan untuk mengklaim superioritas intelektual atas pihak lain.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kecerdasan akademik selalu berjalan seiring dengan kedewasaan moral dan spiritual? Ataukah sistem pendidikan tinggi kita belum mampu mengintegrasikan aspek intelektual dan karakter dalam satu kesatuan yang utuh? Pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya mencetak sarjana atau doktor yang pandai berbicara di forum ilmiah, tetapi juga membentuk pribadi yang mampu mendengarkan, memahami, serta menunjukkan empati terhadap sesama. Gelar akademik tinggi tanpa disertai integritas dan kepribadian luhur justru akan menjadi beban sosial dan menciptakan jarak antara akademisi dan masyarakat luas.
Lebih jauh, tidak jarang dijumpai kasus di mana para pemegang gelar doktor atau profesor merasa terganggu bila tidak diberi penghormatan sebagaimana yang mereka harapkan. Sensitivitas terhadap panggilan, posisi duduk di forum, atau bahkan ketidakhadiran dalam undangan ilmiah tertentu menjadi sumber keresahan. Hal ini menunjukkan bahwa ada dimensi psikologis yang belum sepenuhnya dibereskan dalam perjalanan karier akademik seseorang. Dalam hal ini, gelar yang seharusnya menjadi sarana untuk menebar ilmu dan inspirasi justru dapat berubah menjadi simbol keangkuhan dan kehausan akan pengakuan.
Di sinilah pentingnya mengembangkan paradigma baru dalam membangun dunia akademik: integrasi antara intelektualitas dan akhlak. Tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, baik dalam peradaban Islam maupun Barat, menunjukkan bahwa keilmuan sejati tidak pernah lepas dari sikap rendah hati, keterbukaan terhadap kritik, dan komitmen terhadap kebenaran. Al-Farabi, Ibnu Sina, Imam Al-Ghazali, hingga tokoh modern seperti Buya Hamka dan Prof. Quraish Shihab menunjukkan bahwa puncak keilmuan selalu berpadu dengan kebijaksanaan dan adab.
Dengan demikian, gelar doktor dan profesor sejatinya bukanlah titik akhir, melainkan titik tolak baru untuk berkontribusi secara lebih luas bagi masyarakat. Keilmuan yang tinggi harus menjadi alat pemberdayaan, bukan senjata untuk membungkam; harus menjadi jembatan dialog, bukan tembok pemisah. Dunia akademik membutuhkan lebih banyak figur yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga matang secara emosional dan luhur dalam tindakan.
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa kemuliaan sejati dari gelar akademik bukanlah pada pakaian toga atau panggilan kehormatan, tetapi pada ketulusan dalam mendidik, keberanian dalam mencari kebenaran, dan keikhlasan dalam melayani umat manusia. Sebab ilmu tanpa akhlak hanya akan melahirkan kesombongan; dan gelar tanpa tanggung jawab hanya akan menjadi ornamen kosong yang kehilangan makna.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar