Mengajak petani di sawah untuk menulis mungkin terdengar mustahil. Menyuruh emak-emak di pasar membuka laptop dan mengetik kisahnya, pasti ditanggapi dengan gelengan kepala dan tawa kecil.
Begitu pula ketika ajakan menulis ditujukan pada supir angkot yang sibuk mengejar setoran harian—pasti langsung ditolak mentah-mentah. Mereka merasa menulis itu hanya milik kalangan tertentu. Bahkan ada yang berkata, “Buat apa belajar menulis? Untuk apa menulis buku? Ga ada gunanya, kan?”
Namun tidak bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan: siswa, mahasiswa, guru, dosen, ustadz, kyai, dan siapa pun yang hidup di tengah arus ilmu pengetahuan. Justru kepada merekalah ajakan ini seharusnya bergema lebih lantang: Ayo menulis!
Menulis bukan hanya soal menggoreskan tinta di atas kertas atau mengetik huruf di layar. Menulis adalah cara mencatat jejak pemikiran, menyusun ulang pengalaman, dan membekukan hikmah dari setiap peristiwa. Di era di mana perubahan begitu cepat—teknologi berkembang, informasi mengalir deras, dan budaya silih berganti—menulis menjadi kebutuhan, bukan lagi pilihan.
Dengan menulis, kita bukan hanya mendokumentasikan ilmu, tapi juga ikut membentuk arah peradaban. Tulisan adalah warisan yang abadi; ketika lisan berhenti, tulisan tetap hidup. Setiap ilmu yang dibagikan lewat tulisan akan menjadi amal jariyah, setiap ide yang dituangkan akan membangun peradaban.
Apalagi bagi mereka yang menggantungkan hidupnya di perguruan tinggi menulis tidak hanya kebutuhan bahkan kewajiban.
Bukankah Tri Dharma Perguruan Tinggi semuanya membutuhkan kegiatan menulis.
Maka, ayo menulis! Bukan karena semua orang harus jadi penulis buku, tapi karena setiap orang berhak mengabadikan pemikiran, membagikan ilmu, dan meninggalkan jejak sejarahnya sendiri.
Wallahu a'lam.
"Tulisan pak Mustopa ini sangat memotivasi! berhasil menghilangkan persepsi bahwa menulis hanya untuk kalangan tertentu dan menunjukkan bahwa menulis adalah kebutuhan di era modern ini. Semoga ajakan untuk menulis ini dapat menginspirasi banyak orang untuk mulai menulis dan membagikan ilmunya."
BalasHapusAlhamdulillah..., semangat saya untuk menulis termotivasi kembali. Semangat saya sempat menggebu di awal bulan Sya'bann iatnya menyelesaikan tulisan selama 101 hari....., ternyata setelah lebaran... banyak sekali kendalanya mungkin lebih tepatnya alasan yang dibuat-buat, padahal kalauditelusuri dengan jujur - menurut saya - kendalanya adalah "malas". Terima kasih Ustadz sudah memotivasi kembali. Jazakallah khairan katsiran.
BalasHapuspastinya cakrawala pengetahuan ada pada fikiran maka dengan menulis dan membaca fikiran itu bisa menembus dinding ketidaktahuan.
BalasHapusDosen aing josss tenan🌹