Ibadah haji adalah puncak spiritualitas dalam Islam. Ia bukan hanya rukun Islam kelima, tetapi juga sebuah perjalanan suci yang menguji keikhlasan, kesabaran, dan penyerahan total seorang hamba kepada Tuhannya. Namun di era digital, ketika segalanya bisa dijadikan konten, nilai-nilai haji pun mulai tergerus oleh semangat dokumentasi berlebihan. Muncullah fenomena yang kian lazim: berhaji sambil berselfie.
Tidak ada yang salah dengan mengabadikan momen berharga, termasuk ketika menunaikan ibadah haji. Teknologi bukan musuh, dan media sosial bisa menjadi sarana berbagi inspirasi. Namun, menjadi persoalan ketika kamera mulai mengambil alih peran hati, ketika niat ibadah mulai terdistorsi oleh keinginan untuk tampil dan dipuji.
Fenomena ini bisa dilihat dari maraknya unggahan thawaf dengan senyum menghadap kamera, video live saat wukuf di Arafah, atau foto-foto dengan caption puitis yang dirancang agar viral. Ibadah yang seharusnya dilakukan dalam khusyuk dan kekhusyuan justru berubah menjadi sesi pemotretan bergaya religius. Seakan-akan nilai haji bisa dinilai dari jumlah likes dan komentar netizen.
Padahal, haji adalah tentang menanggalkan identitas duniawi—termasuk ego dan gengsi. Mengenakan ihram menyimbolkan kesetaraan, membuang status sosial, dan meletakkan diri sepenuhnya di hadapan Allah. Maka menjadi ironi ketika ibadah ini justru digunakan untuk membangun citra dan memperkuat personal branding.
Lebih jauh lagi, fenomena ini menunjukkan krisis niat. Kita perlu mengingat sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim). Haji yang sejatinya menjadi momentum pembersihan hati bisa kehilangan makna jika dilakukan untuk kepentingan pencitraan.
Imam Al-Ghazali pun telah mengingatkan: “Jangan tertipu oleh amal yang terlihat, sebab niat yang tersembunyi lebih jujur dalam menilai dirimu.” Inilah esensi ibadah: bukan pada tampilannya, tapi pada kemurnian hatinya.
Kita perlu bertanya kepada diri sendiri: ketika kita menatap Ka'bah, adakah kita lebih sibuk menata hati atau menata angle foto? Ketika kita bermunajat di Arafah, adakah kita lebih peduli pada kualitas doa atau kualitas kamera? Jika haji hanya menjadi panggung digital, mungkin kita belum benar-benar hadir sebagai peziarah, melainkan hanya sebagai pencerita.
Mari kembalikan haji ke fitrahnya: sebagai perjalanan ruhani, bukan strategi konten. Sebagai bentuk penghambaan, bukan ajang eksistensi. Sebab sejatinya, ibadah adalah ketika hanya Allah yang melihat—dan itu sudah lebih dari cukup.
Haji adalah mihrab, bukan panggung.
Dan mihrab, tempat paling sakral dalam kehidupan seorang mukmin, tidak memerlukan penonton.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar