Jejak Kyai Muhammad Fathoni

 


ketakketikmustopa.com, Pada kali ini kami akan mereview buku yang di tulis oleh Alif Agus Syarif alumni STID AL-Biruni Cirebon. Buku ini mengupas jejak tokoh Syahadatain di Desa Munjul Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Kiai Fathoni dengan nama asli Kiai Muhammad Fathoni adalah salah satu tokoh Jamaah Asysyahadatain yang hidup dari masa awal pembukaan Syahadat yang dituntun oleh Syekhunal Mukarrom hingga sepeninggal Syekhuna.

 

Kiai Fathoni lahir sekitaran tahun 1903 M dari Pasangan Kiai Haji Zaenal Asyiqin dan Nyai Usaro (lebih akrab dipanggil Nyai Mas Sarah), lahir di Lingkungan Keraton Kasepuhan dan dibesarkan di Pesantren Munjul yaitu pesantren yang didirikan oleh Mbah Abdullah Lubil Mashun atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Abdullah Lebu.

 

Nasab dari jalur ayah Kiai Muhammad Fathoni adalah putra ke tiga Kiai Haji Zaenal Asyiqin bin Embah Syamsuddin bin Embah Abdullah Lubil Mashun (Embah Abdullah Lebu) bin Tubagus Abdullah bin Tubagus Abdul Jabbar bin Tubagus Muhammad Baisa bin Tubagus Muhammad Marzan bin Tubagus Besus Abdurrahman bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin.

 

Sedangkan dari jalur ibu Kiai Muhammad Fathoni adalah putra dari Nyai Usaro binti Kiai Haji Abdullah Faqih bin Kiai Abdurrahim bin Kiai Abu Syuja’i bin Kiai Tajjan bin Kiai Jiddan bin Pangeran Muhammad Purbaya bin Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah bin Sultan Abdul Ma’ali bin sultan Abul Mafahir bin Maulana Muhammad bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin.

 

Pendidikan

 

Kiai Fathoni sejak kecil sudah ditempa dan didasari dengan ilmu-ilmu agama karena besar dalam lingkungan Pondok Pesantren Munjul, terutama dalam gemblengan ayahnya dalam memahami keilmuan agama karena ayahnya adalah ulama linuih dan juga mursyid. Di usianya yang mulai beranjak remaja mendorong Kiai Fathoni untuk melanjutkan pendidikannya ke pesantren,  Pesantren pertama yang dikunjungi adalah Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, beliau menetap disana sekitar 2 tahunan, kemudian dilanjutkan ke Pesantren Kaliwungu yaitu pesantren yang didirikan oleh Kiai Guru Mbah Asy’ari.  Kiai Fathoni tidak begitu lama mesantren dikaliwungu, disamping sebagai napak tilas uyutnya yaitu Mbah Kriyan yang pernah mesantren disana, juga untuk mengambil sanad ilmu melalui jalur Kiai Guru Mbah Asy’ari.

 

Selepas dari Pesantren Kaliwungu, Kiai Fathoni melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Tremas dalam bimbingan KH. Dimyati Tremas, dalam pesantren ini Kiai Fathoni bermukim cukup lama, disamping mengambil sanad ilmu salaf beliau juga mengambil sanad qiro’at. Hasil dari perjalanan pendidikan beliau, Kiai Fathoni memiliki sanad keilmuan yang lengkap, baik dari sanad keilmuan salaf hingga sanad Qiroat Alquran.

 

Sanad pertama yang didapatkan adalah sanad keilmuan dari jalur nasabnya, yang kedua adalah jalur dari ayahnya yaitu dari Kiai Haji Zaenal Asyiqin. Salah satu Sanad Alquran Kiai Haji Zaenal Asyiqin dari jalur Syekh Abdul Karim bin Umar Albadri Addimyati saat beliau menunaikan haji. Dan juga Sanad diambil dari kakeknya yaitu Embah Abdullah Lebu yang mengambil sanad dari Sayyid Sulaiman bin Sayyid Abdur Rahman Basyaiban Pasuruan. Kiai Haji Zaenal Asyiqin juga mengambil Sanad kepada Al-‘Alim Syekh Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan Madura. Sanad yang ketiga adalah sanad dari Kiai Guru Mbah Asy’ari kaliwungu, dan sanad keempat adalah sanad dari jalur KH. Dimyati Tremas.

 

Sebagai Pentashih

 

Sepulang dari perjalanan pesantrennya, Kiai Fathoni menikah dengan saudara sepupunya yaitu Nyai Atiqoh binti Kiai Agus Syarif bin Embah Syamsuddin, sedangkan dari jalur ibunya Nyai Atiqoh binti Nyai Rubaeah binti Nyai Madinah binti Nyai Fatimah binti Nyai Kholifah binti Embah Muqoyyim.

Disamping sebagai menantu, Kiai Fathoni mendapatkan Ijazah Hikmah dari mertuanya yaitu Kiai Agus Syarif, sehingga Kiai Fathoni dikenal sebagai Kiai yang tersohor Ilmu Hikmahnya.

 

Kesohoran Kiai Fathoni tak terbatas pada kealimannya dalam menguasai Ilmu Hikmah, namun beliau juga sebagai pentashih Alquran, sehingga santri penghafal Alquran dari beberapa pesantren selalu datang ke beliau untuk ditashih dan disetujui untuk mendapatkan sanad Alquran. Sepeninggal ayahnya, Kiai Fathoni mendapatkan tugas mengurus Pondok Pesantren Munjul untuk sementara waktu sambil menunggu adiknya yang bernama Kiai Muhammad Khozin pulang dari mesantren.

 

Menebang Jatisawit

 

Jatisawit (jati Sauwit) adalah sebuah nama dari sebuah pohon jati yang begitu besar, konon pohon jati ini adalah tongkat Sunan Kalijaga yang tumbuh menjadi pohon jati besar yang angker, sehingga banyak yang memuja karena aura mistis nya yang begitu kental. Atas inisiatif Kiai Agus Syarif pohon jati tersebut disepakati untuk ditebang karena mengganggu akidah, sehingga Kiai Agus Syarif memerintahkan menantunya yaitu Kiai Fathoni untuk menebang pohon jati, karena Kiai Agus Syarif sudah sangat sepuh.

 

Kiai Fathoni pun menyanggupi perintah mertuanya, dengan mengajak santri dan masyarakat sekitar, Kiai Fathoni mendatangi pohon jati tersebut, namun tidak ada yang berani mendekat pada pohon tersebut, sehingga Kiai Fathoni mengawali menebang dengan membuat garis potong pada sekeliling pohon jati tersebut, barulah yang lain melanjutkan menebang. Karena begitu besarnya pohon jati yang ditebang, satu pohon saja bisa untuk membangun Masjid Ponpes Munjul dan Masjid Jami’ desa Munjul yang sekarang posisi di Blok Manis hanya dengan semua material kayunya dari pohon tersebut. Sedangkan cabang pohon yang tidak terpakai digunakan sebagai kayu bakar oleh Nyai Atiqoh untuk memasak para pekerja pembangunan Masjid karena yang lain tidak mampu untuk membakar kayu tersebut.

 

Sehari setelah penebangan pohon jati tersebut, Kiai Agus Syarif mendapat banyak tamu dari masyarakat sekitar jatisawit yang mengeluh tentang para siluman penghuni jatisawit yang menyebar ke rumah-rumah warga. Atas aduan tersebut Kiai Agus Syarif memerintahkan Kiai Fathoni untuk memindahkan makhluk-makhluk tersebut ke Lawang Seketeng dan Tegal Lempuyang, akhirnya Kiai Fathoni menyanggupi dan mengajak anak laki-lakinya (Kiai Zaenal Abidin) untuk membantu.

 

Peran dalam Asysyahadatain

 

Kiai Fathoni mendapatkan banyak warisan ilmu dari ayah dan mertuanya, termasuk didalamnya adalah pesan Thoriqoh dari ayahnya bahwa kelak akan ada Pembukaan Syahadat dan pada saat itu tiba seluruh anak keturunannya harus mengikuti ajaran tersebut.

 

Sehingga saat Syekhunal Mukarrom membuka pengajian syahadat di Panguragan pada Tahun 1947, seluruh warga Pesantren Munjul termasuk Kiai Fathoni sowan untuk berbai’at Syahadat, hal ini dilakukan dalam upaya mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Kiai Haji Zaenal Asyiqin. Dalam perjalanan syahadat tersebut Kiai Fathoni mendapatkan Pusaka Jala Sejati, dengan pesan dari Syekhuna untuk mencari yang besar saja biarkan yang kecil nya untuk yang lain. Hal ini memberikan isyarat kepada Kiai Fathoni untuk mengajak orang-orang yang jabatan atau dipandang besar oleh orang sekitarnya.

 

Kiai Fathoni menyelesaikan Amalan Karcis yang merupakan sebuah amalan yang disyaratkan Syekhunal Mukarrom dalam ngaji syahadat pada Bulan Dzulhijjah Tahun 1371 H atau Agustus 1952, sehingga beliau menyelesaikan semua amalan dalam kurun waktu 5 tahun.

 

Kiai Husen Kendal

 

Kiai Husen merupakan merupakan teman dekat Kiai Fathoni dan salah satu ulama besar yang disegani banyak masyarakat muslim Cirebon, dengan nama besarnya beliau memiliki banyak sanjungan dan juga fasilitas yang tidak sederhana, sehingga selalu menolak saat diajak untuk ikut tuntunan syahadat oleh beberapa kiai.  Saat Kiai Fathoni bermain, langsung ditolak oleh Kiai Husen karena dari beberapa minggu lalu para kiai sudah berdatangan untuk mengajak Kiai Husen berbai’at syahadat.

 

Namun Kiai Fathoni menegaskan bahwa beliau tidak akan mengajak Kiyai Husen berbai’at tapi mau andon ngwedang. Karena ajakan ngwedang yang disodorkan akhirnya Kiai Fathoni pun diterima dengan legowo. Sambil duduk dibawah pohon, beliau-beliau mengobrol dengan asyik, Kiai Fathoni bercerita tentang para wali, Kiai Husen pun merasa heran atas pengetahuan Kiai Fathoni tentang wali-wali tersebut, sehingga Kiai Husen bertanya kepada Kiai Fathoni tentang pengetahuannya mengenai para wali, Kiai Fathoni menjelaskan bahwa beliau mendapatkan pengetahuan itu dari Syekhunal Mukarrom, hal ini membuat Kiai Husen Takjub dan segera memohon diantar oleh Kiai Fathoni untuk bertemu Syekhunal Mukarrom.Dan Kiai Fathoni menyanggupi pada hari kamis yang akan datang untuk sama-sama berangkat ke panguragan.

 

Kerinduan yang berkecamuk dalam hati Kyai Husen untuk bertemu Syekhunal Mukarrom membuatnya mendatangi rumah Kiai Fathoni lebih pagi dari jam yang telah disepakati.  Sesampainya dipanguragan Kiai Husen disambut secara istimewa oleh Syekhunal Mukarrom, sehingga Kiai Husen lebih yakin bahwa Syekhuna adalah benar wali yang selama ini dicarinya.

 

Karya Tulis

 

Kiai Fathoni merupakan kiai yang gemar menulis sehingga karya tulisnya sangat banyak diantara yang ditulis adalah tentang Fiqih, Balaghoh, Nahwu dan Sharaf, Tauhid, Faroidh bahkan Ilmu Hikmah, serta Kitab Majmu’ Khusus yang berisi Alfiyah, Mutammimah, Nadzom Maksud dan lain sebagainya yang sekarang kondisi kitabnya sudah sangat rapuh.

 

Namun karena rendahnya system dokumentasi anak cucu beliau sehingga karya tulisnya banyak yang hilang, salah satu yang masih terawat adalah buku tentang Nadzom Alfiyah yang disarah dengan Bahasa jawa jilid 2.

 

Wafat

 

Kiai Fathoni wafat pada tahun yang sama dengan wafatnya Syekhunal Mukarrom yaitu tahun 1973. Sepeninggal Syekhuna, Kiai Fathoni mengalami rasa rindu yang berat terhadap syekhuna, sehingga Kiai Fathoni mengalami sakit. Tak berselang lama Kiai Fathonipun wafat menyusul gurunya.

 

Keturunan

 

Kiai Muhammad Fathoni menikah dengan Nyai Atiqoh dan memiliki 13 anak, Putra-putri yang hidup hingga memiliki keturunan adalah 6 orang yaitu:  Nyai Unsuriyah, Kiai Zaenal Abidin, Nyai Hanifah, Nyai Rohanah, Nyai Daninah, dan Nyai Hunainah. Dan yang meninggal sebelum dewasa ada 7 orang yaitu Najmuddin, Syamsuddin/Syamsul Ma’arif, Zaenal Asyiqin,  Malihah, Amamah, Muhammad, dan Ma’rifah.

 

Sumber

 

Sumber cerita dalam buku ini berasal dari cerita putra dan putri Kiai Muhammad Fathoni, dan juga dari beberapa sesepuh.

 

Penulis Buku : Alif Agus Syarif

Alamat : Dusun 02 blok pesantren RT 004 RW 004 Desa Munjul Kecamatan Astanajapura Kab. Cirebon

Jabatan : Sekretaris Desa Munjul kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon

Sekolah terakhir : STID AL-Biruni Cirebon lulus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar