Keloter Pertama


Di sebuah desa Sukamaju namanya yang tersembunyi di antara sawah dan gumuk kecil, ada sebuah rumah reot yang dulu menjadi saksi tawa dan tangis, cinta dan duka. Di rumah itu, tinggal seorang perempuan sepuh bernama Bu Inah. Rambutnya telah seluruhnya memutih, jalannya pelan, namun senyumnya masih menghangatkan siapa pun yang datang menyapanya.

Bu Inah bukan siapa-siapa dalam catatan di desa itu. Tapi dalam ingatan langit, ia mungkin satu dari sekian hamba yang sabarnya melebihi luka, yang cintanya menghidupi manusia lain, walau hatinya sendiri terus diuji oleh kehilangan.

Dulu, saat muda, Bu Inah adalah istri dari seorang petani tabah. Hidup mereka sederhana, namun penuh cinta. Dari rahimnya lahir dua anak laki-laki, cahaya yang ia jaga sepenuh jiwa. Mereka tumbuh dalam pelukan doa dan kerja keras.

Namun, takdir memiliki jalan yang tak bisa dibaca manusia. Suaminya jatuh sakit saat musim paceklik menghantam desa. Rumah mereka pernah menjadi sunyi dalam gelap, ketika satu demi satu perabotan dijual demi biaya pengobatan. Di atas tikar lusuh, sang suami mengembuskan napas terakhir dengan kalimat syahadat yang lirih, meninggalkan Bu Inah yang belum sempat mengucapkan selamat tinggal dengan utuh.

Belum usai duka itu, putra bungsunya yang baru duduk di bangku SMA jatuh sakit keras. Kata dokter, penyakitnya terlalu berat untuk ditanggung oleh tubuh yang ringkih dan keluarga yang miskin. Ia pun menyusul ayahnya hanya beberapa bulan setelahnya.

Seakan tak puas menguji, cobaan berikutnya datang menghantam. Anak sulungnya, harapan terakhir, mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang dari kerja serabutan di kota. Malam itu, Bu Inah menjerit tanpa suara, tubuhnya lemas di depan jenazah yang dibalut kafan. Ia kehilangan seluruh darah dagingnya—sendiri dalam sunyi, sepi dalam ramai.

Tapi Bu Inah tidak menggugat takdir. Ia menangis dalam sujud, meratap dalam tahajud, dan memeluk Al-Qur'an saat malam-malam dingin membekukan perasaan. Ia tak punya siapa-siapa, kecuali Allah.

Suatu hari, ketika ia sedang menyapu halaman masjid, terdengar isak tangis seorang bocah di pelataran. Bocah itu bernama Wahyudin. Ayahnya meninggal karena kecelakaan, dan ibunya entah ke mana menghilang. Tubuh kecilnya ringkih, matanya penuh takut, perutnya keroncongan.

Tanpa pikir panjang, Bu Inah menggendongnya pulang. 

“Nak, kalau kamu tidak punya siapa-siapa, mulai hari ini kamu anak Ibu ya,” 

Ucapnya sambil menyeka air mata si kecil.

Hari-hari berikutnya berubah. Rumah kecil yang tadinya sunyi kembali ramai oleh suara anak-anak. Wahyudin tumbuh di bawah bimbingan Bu Inah. Ia diajari mengaji, didorong untuk sekolah, dan dibekali adab dalam berbicara serta kasih sayang tanpa syarat.

Meski hidup pas-pasan, Bu Inah tak pernah mengeluh. Ia menjahit, menyapu masjid, menanam sayur di belakang rumah demi biaya sekolah Wahyudin. Ia tak meminta balas budi. Cukup melihat anak angkatnya tumbuh menjadi anak shaleh sudah menjadi kebahagiaan yang tak ternilai.

Tahun berganti. Wahyudin lulus kuliah dengan beasiswa, bekerja keras, dan kini menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan swasta besar di Jakarta. Ia menikah dan dikaruniai anak-anak yang cerdas. Namun hatinya tak pernah melupakan perempuan tua yang membesarkannya dalam pelukan kasih dan doa.

Suatu hari, Wahyudin pulang ke kampung bersama istri dan anak-anaknya. Rumah bambu Bu Inah yang dulu rapuh kini telah direnovasi menjadi rumah nyaman dengan taman kecil di halaman depan. Tapi bukan itu yang membuat Bu Inah menangis. Yang membuatnya sujud syukur adalah ketika Wahyudin menggenggam tangannya dan berkata,

“Bu, setahun lalu saya daftarkan Ibu naik haji. Hari ini kita berangkat bersama. Kita keloter pertama, Bu. Ibu jadi tamu Allah.”

Bu Inah tak kuasa menahan tangis. Selama ini, ia hanya bermimpi melihat Ka'bah dari televisi mushala kampung. Kini, ia akan melangkah ke tanah suci, tempat yang ia dambakan dalam setiap sujud dan istighfar.

Pagi ini, Jumat, 2 Meib2025 langit bersih dan angin berhembus sejuk. Warga kampung mengantar Bu Inah ke tempat pemberangkatan. Suasana haru menyelimuti. Wajah-wajah kagum menyaksikan bagaimana seorang nenek tua yang hidup dari kesederhanaan, ternyata mendapat undangan istimewa dari Tuhan.

“Lihatlah, itu buah dari menyayangi anak yatim,” 

Ucap Pak Lurah sambil menitikkan air mata.

Ibu-ibu memeluk Bu Inah sambil berdoa agar diberi kekuatan dan kesehatan selama di Tanah Suci. Anak-anak mencium tangannya satu per satu, meneladani bahwa menjadi orang baik bukan soal harta, tapi soal hati dan amal.

Ketika bus haji mulai bergerak, Bu Inah melambaikan tangan sambil berbisik dalam hati,

“Ya Allah... inikah ganjaran untuk sabar yang kusemai selama puluhan tahun? Inikah buah dari air mata yang kutumpahkan di sajadah tua itu?”

Dan langit kampung menjadi saksi—bahwa siapa pun yang bersabar dalam ujian, yang mengasihi tanpa pamrih, yang menanam kebaikan dalam diam—pasti akan Allah panggil menjadi tamu-Nya, di waktu yang paling indah.

Keloter pertama itu bukan sekadar keberangkatan fisik, melainkan titik awal kemenangan seorang hamba yang telah berhasil melewati badai dunia, menuju pelukan Tuhan-Nya.

1 komentar:

  1. Sungguh Mulia hati ibu inah, Allah telah bersihkan semua kotoran yang ada dalam relung hatinya.. kini ia telah menuai apa yang ia tanam, dan apa yang ia suguhkan untuk Tuhannya(Allah Swt).

    BalasHapus