Melawan Lupa, NU Kembali Ke Khittah 1926

 


ketakketikmuatopa.com, Keputusan Nahdlatul Ulama (NU) untuk kembali ke Khittah 1926 bukanlah sekadar catatan sejarah—ia adalah tamparan, sekaligus kesadaran kolektif bahwa kekuasaan, bila tak dijaga, justru dapat menggerus martabat sebuah jam’iyyah ulama. Peristiwa pencoretan 29 tokoh NU dari daftar calon legislatif PPP pada Pemilu 1982 menjadi titik balik yang tak boleh dilupakan. Di situlah NU seperti diingatkan: bahwa memasuki gelanggang politik praktis tidak selalu berarti mendapat ruang, sering kali justru kehilangan arah.

Padahal sejak didirikan pada 1926, NU bukan partai politik. NU adalah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah—rumah besar ulama yang bergerak di pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Namun dinamika zaman mengantar NU terjun ke politik formal setelah keluar dari Masyumi tahun 1952. Pemilu 1955 menjadi panggung kejut: NU tampil gemilang di posisi ketiga, bahkan mengungguli PKI. Keberhasilan itu membangun keyakinan bahwa jalur politik bisa menjadi alat perjuangan yang sah.

Lalu datanglah Orde Baru, dengan janji stabilitas namun disertai pembatasan. Ketika partai-partai dipaksa melebur dalam fusi 1973, NU masuk ke PPP sebagai penyumbang suara terbesar. Tapi itu hanya kemenangan semu. Jabatan penting justru didominasi tokoh Parmusi, sementara kiprah NU dipersempit. Di banyak ruang, NU hadir sebagai penumpang, bukan pemilik rumah. Ketegangan menguat, suara kiai-kiai terdengar makin lantang: “Ini bukan jalan NU.”

Pencoretan 29 tokoh NU pada 1982 menjadi puncaknya. Itu bukan sekadar daftar nama; itu penghinaan terhadap marwah jam’iyyah. Para kiai sepuh membaca sinyal itu dengan jernih—bahwa NU tak mungkin terus bersandar pada politik yang justru memperkecil ruang hidupnya. Dari sinilah gelombang seruan kembali ke Khittah mengalir deras.

Situbondo 1983 menjadi panggung sejarah. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, NU menegaskan arah baru: keluar dari politik praktis. Setahun kemudian, Muktamar 1984 mengesahkan sikap itu secara resmi. NU kembali ke Khittah 1926—kembali pada jati diri sebagai organisasi sosial-keagamaan, bukan kendaraan politik.

Keputusan itu bukan langkah mundur. Justru di situlah NU melompat. Dengan keluar dari pusaran politik praktis, NU memulihkan kehormatan, memperkuat pesantren, mengukuhkan dakwah, dan menjadi kekuatan moral yang independen. NU di era Khittah menjadi lebih didengar, lebih dipercaya, lebih bebas menyuarakan kebenaran tanpa dikendalikan kepentingan partai.

Inilah alasan mengapa kita harus melawan lupa. Pengalaman pahit masa lalu adalah pelajaran berharga agar NU tetap berada pada relnya—menjaga tradisi, memperkuat umat, dan tidak membiarkan politik praktis merusak keutuhan jam’iyyah.

Khittah 1926 bukan sekadar dokumen; ia adalah kompas. Dan selama kompas itu dijaga, NU tidak akan kehilangan arah.

Wallahu a'lam.

PBNU Hari Ini Bagaikan Indahnya Pelangi Selepas Hujan

Hambar hanyalah pemanis tampilan 


ketakketikmustopa.com, Konflik dalam sebuah organisasi besar seperti PBNU sejatinya adalah bagian dari dinamika. Kehadirannya menyentuh banyak sisi, dan terkadang meninggalkan dingin di hati. Namun demikian, konflik bukan selalu pertanda bencana akan datang. Kita bisa melihat lukisan pelangi di langit sore hari setelah turun hujan sebentar, menyejukkan suasana, membersihkan debu, lalu reda dengan sendirinya.

Kita tidak sedang menyaksikan rumah kita  sedang goyang. Kita sedang melihat rumah besar kita  sedang diuji angin dan cuaca. Ujian itu justru memastikan bangunan ini tetap kokoh, bukan rapuh. Maka kita sebagai masyarakat Nahdliyyin tidak perlu larut dalam kecemasan dan narasi yang memecah belah. Tugas kita sederhana namun besar nilainya: menjaga adab, menahan emosi, dan mendoakan para kiai yang selama ini menjadi teladan dalam kebijaksanaan. Percayalah, para alim ulama yang memimpin organisasi ini memiliki cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan tanpa kehilangan wibawa.

Perbedaan bukan ancaman. Ia justru warna yang memperkaya. Pelangi tidak akan indah bila hanya satu warna. Ia memesona karena ada merah, kuning, hijau, biru, dan warna lainnya yang saling melengkapi. Begitu pula perbedaan pandangan dalam organisasi—tidak harus melebur menjadi satu suara, yang penting tetap bergerak dalam satu tujuan bersama.

Kedewasaan selalu lahir melalui ujian, sebagaimana pelangi lahir setelah hujan. Kita cukup menunggu dengan tenang, tanpa provokasi, tanpa prasangka. Ketika suasana kembali terang, kita akan memahami bahwa konflik bukanlah akhir, melainkan proses menuju organisasi yang lebih matang.

Pelangi mengajarkan satu hal: setiap warna memiliki tempat, ruang, dan kehormatannya. Tidak saling mendominasi, tetapi berjalan berdampingan dalam harmoni yang menciptakan keindahan. Dari situlah persatuan menemukan makna dan nilai sebenarnya.


Wallohu a’lam.

Keramat vs Sultan, Pertarungan Legitimasi

 



ketakketikmustopa.com, Konflik internal PBNU yang kemudian melahirkan dua istilah baru—Kelompok Keramat dan Kelompok Sultan—bukan sekadar dinamika biasa dalam organisasi besar. Ia menjelma menjadi babak baru perebutan legitimasi, interpretasi AD/ART, dan posisi strategis yang menentukan arah masa depan jam’iyyah.

Kelompok Keramat, yang merujuk pada poros pertemuan para Mustasyar di wilayah Kramat Raya, berdiri di atas keyakinan bahwa pemecatan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, tidak sah karena tidak melalui mekanisme organisasi yang dianggap final dan mengikat. Mereka memandang bahwa NU bukan sekadar organisasi dengan aturan formal, tetapi juga tradisi yang bertumpu pada musyawarah para kiai sepuh dan adab keilmuan. Bagi kelompok ini, setiap keputusan strategis yang menyangkut keberlanjutan jam’iyyah harus menyertakan restu, kebijaksanaan, dan konsensus para sesepuh.

Sementara itu, Kelompok Sultan, yang merujuk pada rapat pleno di Hotel Sultan yang memutuskan pemberhentian Gus Yahya dan mengangkat KH. Zulfa Mustofa sebagai Ketua Umum sampai akhir masa jabatan, menganggap bahwa roda organisasi tidak boleh mandek. Prinsip mereka jelas: keputusan yang ada adalah sah, dan situasi menuntut kecepatan serta ketegasan. Dalam narasi kelompok Sultan, legalitas administratif dan urgensi keberlanjutan organisasi adalah prioritas utama.

Pada titik inilah perbedaan itu membesar:

1. Keramat membawa narasi legitimasi moral dan tradisi syura.

2. Sultan membawa narasi legitimasi struktural dan keberlanjutan program.

Pertarungan pemikiran ini jauh lebih kompleks dari sekadar siapa mendukung siapa. Ia melibatkan persepsi historis tentang bagaimana NU dikelola, nilai apa yang dipegang, dan siapa yang berhak berbicara atas nama jam’iyyah. Konflik ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah NU sedang bergerak menuju model organisasi modern yang terpusat dan prosedural, atau menjaga pola kolektif tradisional berbasis kewibawaan kiai sepuh?

Di titik krusial ini, NU seolah berada di persimpangan:
Keramat mengingatkan tentang akar,
Sultan menuntut langkah ke depan.

Jika keduanya tidak bertemu, organisasi justru berisiko kehilangan keduanya—akar sejarah yang menghidupi, dan momentum modernisasi yang dibutuhkan.

Pada akhirnya, NU tidak sedang diuji oleh siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi oleh bagaimana perbedaan diinternalisasi menjadi kedewasaan, bukan menjadi jurang yang menelan kebesaran jam’iyyah. Karena sejarah NU selalu membuktikan satu hal: ketika konflik dihadapi dengan syura dan kelapangan jiwa, NU tumbuh; tetapi ketika perpecahan dibiarkan tanpa islah, umatlah yang paling merasakan akibatnya.

Wallohu a'lam 

Mahalnya Islah



ketakketikmustopa.com, Islah tidak pernah lahir dari sekadar slogan, apalagi sorakan tepuk tangan yang bergema di ruang hampa. Ia tidak tumbuh dari layar gawai, gambar spanduk, atau seruan emosional yang mudah dikutip namun cepat dilupakan. Islah tumbuh melalui sikap dewasa, kesediaan duduk bersama, dan keterbukaan hati untuk menerima bahwa tidak semua keputusan harus sesuai selera kita. Ia memerlukan kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan, kesiapan memenuhi prosedur organisasi yang telah disepakati, serta keikhlasan untuk menempatkan kepentingan jam’iyyah jauh melampaui kepentingan pribadi atau kelompok. Itulah sebabnya islah menjadi mahal—bukan karena berat diucapkan, tetapi karena menuntut pengorbanan dalam bentuk paling murni: menahan ego dan ambisi.

Lebih dari 20 lembaga dan Badan Otonom NU di tingkat pusat telah memberikan dukungan resmi terhadap proses islah. Gelombang yang sama datang dari Pengurus Cabang dan Pengurus Wilayah di berbagai daerah. Dukungan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bukti bahwa kesadaran kolektif mulai tumbuh: bahwa polemik internal hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang berada dalam struktur sah organisasi. Ini adalah langkah yang jelas—on the track—sebab persoalan yang terjadi di dalam rumah NU harus diselesaikan oleh mereka yang tinggal dan bertanggung jawab di dalamnya. Mereka yang memegang amanah struktural memahami beratnya beban yang dipikul, sehingga suara mereka memiliki legitimasi, bukan sekadar gema tanpa tanggung jawab.

Maka menjadi ironi ketika muncul seruan dukungan dari pihak-pihak yang secara struktural tidak memiliki kaitan dengan NU, atau dari tokoh-tokoh yang berdiri di luar garis organisatoris, namun bersuara paling nyaring seakan tahu segala yang terjadi di dalam. Pengasuh pesantren, perkumpulan ini, persatuan itu—dengan segala hormat—bukan representasi lembaga atau Banom resmi di bawah NU. Kehormatan personal tidak serta-merta bermakna keabsahan struktural. Terlebih ketika suara lantang itu berasal dari sosok yang bukan bagian dari PBNU, tidak memikul amanah organisasi, namun sibuk menyoraki dinamika internal seakan-akan dialah sutradara dari drama yang terjadi. Mungkin sorak itu muncul bukan karena tanggung jawab, tetapi karena keinginan diperhatikan; berharap dilihat dari dalam rumah dan diberi undangan serta peran.

Bandingkan dengan para tokoh yang hadir dalam foto yang beredar—mereka tidak perlu menaikkan volume suara untuk menegaskan ketokohannya. Diamnya saja membawa bobot moral. Kehadirannya menjadi legitimasi. KH Abdul Hakim Mahfudz (Yai Kikin), pengasuh Tebuireng sekaligus Ketua PWNU Jawa Timur yang keilmuannya diakui luas. KH Said Aqil Siradj, mantan Ketua Umum PBNU yang jejaknya dalam sejarah NU tak tergantikan. KH Anwar Mansyur dan KH Nurul Huda Jazuli, para kiai sepuh yang namanya menjadi jaminan integritas, kecintaan, dan konsistensi terhadap jam’iyyah. Mereka datang bukan dengan sorakan, bukan dengan pengeras suara. Mereka hadir dengan adab, duduk dengan wibawa, memikul amanah islah dengan musyawarah. Bahkan ketika usia sudah lebih dari 85 tahun dan aktivitas ngaji masih harus dijalani, mereka tetap menyempatkan diri rawuh. Karena cinta kepada NU bagi mereka bukan teori—ia adalah pengorbanan nyata.

Islah itu mahal, sebab ia tidak bisa dibayar dengan klaim dukungan palsu atau klaim suara publik yang belum tentu memahami duduk persoalan. Ia menuntut kesediaan menerima kritik, keikhlasan mengakui kesalahan, dan kesabaran melewati mekanisme organisasi yang mungkin tidak cepat tetapi pasti. Tidak semua orang sanggup membayar harga keikhlasan. Tidak semua mampu melunasi tanggung jawab moral. Tidak semua bersedia menghadiri pertemuan tanpa kamera, tanpa sorotan media, tanpa panggung dan tepuk tangan.

Pada akhirnya, islah bukan tentang siapa yang paling keras bersuara, tetapi siapa yang paling sanggup merendahkan suara diri demi keberlanjutan organisasi. Bukan siapa yang ingin masuk, tetapi siapa yang ingin menyatukan. Bukan siapa yang ingin diperhatikan, tetapi siapa yang bersedia bekerja dalam senyap untuk menjaga marwah jam’iyyah. Mereka yang benar-benar mencintai NU memahami bahwa persatuan lebih mulia daripada sorakan, musyawarah lebih luhur daripada manuver, dan NU terlalu besar untuk dijadikan panggung bagi ambisi pribadi.

Karena di akhir segala dinamika, sejarah tidak mencatat siapa yang paling keras berteriak—melainkan siapa yang paling ikhlas menjaga.

Wallohu a’lam bis shawab.

Ketika Langit Turun Membawa Teguran (Sejarah bencana Istanbul dan Turki)

Gambar hanyalah pemanis tampilan dibuatkan AI

ketakketikmustopa.com, Tragedi besar dalam sejarah bukan hanya menyisakan kerusakan dan air mata; ia sering meninggalkan pesan yang lebih dalam. Tahun 971 Hijriyah menjadi salah satu di antaranya — ketika Mesir dan Istanbul sama-sama mengalami ujian berat yang menggugah kesadaran banyak pihak.

Mesir dalam Ketakutan dan Kekacauan

Di Mesir, rasa aman seakan lenyap dalam sekejap. Perampokan dan penjarahan terjadi hampir setiap hari. Gerombolan bersenjata memasuki permukiman secara terang-terangan, mendobrak pintu rumah warga, menjarah harta, bahkan merampas perhiasan dari telinga perempuan¹. Ketidakpastian sosial makin terasa setelah wafatnya hakim Mesir, Abdul Baqi bin al-‘Arabi, yang disalatkan secara ghaib di tengah situasi yang tidak menentu.

Kondisi ini menggambarkan krisis multidimensi — ekonomi, sosial, dan keamanan — yang harus ditanggung oleh rakyat kecil yang sudah kesulitan bertahan hidup.

Istanbul Dilanda Banjir Besar

Di pusat pemerintahan Turki Utsmani, Istanbul, bencana lebih dahsyat sedang terjadi. Hujan deras sepanjang malam menyebabkan banjir meluas, menghancurkan bangunan dan pasar, serta menyeret harta dan manusia ke Laut Marmara². Menara Masjid Sultan Sulaiman yang megah ikut tersambar petir.

Bahkan Sultan Sulaiman sendiri hampir hanyut bersama kudanya jika tidak diselamatkan seorang penjaga istana bernama al-Bustanji yang dengan berani melompat ke arus deras demi menolong sang Sultan². Peristiwa ini menyadarkan banyak orang bahwa bencana tidak mengenal derajat sosial — istana dan gubuk rakyat sama-sama diterjang.

Saat Musibah Menjadi Suara Peringatan

Pasca bencana, Sultan memanggil para ulama, mufti, dan qadhi. Ia bertanya dengan nada penuh kegelisahan:

“Tidakkah kalian melihat musibah besar yang belum pernah terjadi sebelumnya ini?'³

Para ulama menjawab tegas bahwa fenomena tersebut adalah peringatan, agar Sultan meninjau kembali kezaliman yang dilakukan sebagian pejabat terhadap rakyat.

Menindaklanjuti hal itu, Sultan memerintahkan penyelidikan melalui laporan dari setiap wilayah. Namun ketika laporan disusun di Mesir, sebagian ulama menolak menandatanganinya karena enggan menyatakan kondisi makmur sementara rakyat menderita⁴. Imam Syamsuddin ar-Ramli menjawab,

“Aku hanyalah ahli fikih. Aku tidak mencampuri urusan negeri dan rakyat.”

Tetapi sebagian lainnya memilih diam, menuliskan laporan yang menyenangkan istana demi keselamatan jabatan dan fasilitas yang mereka nikmati⁵.

Pelajaran untuk Bangsa Masa Kini

Peristiwa sejarah ini memberi peringatan yang relevan bagi zaman sekarang. Musibah bukan hanya peristiwa alam — ia bisa menjadi panggilan kesadaran, khususnya bagi pemimpin yang diamanahi kekuasaan, serta ulama yang memiliki kredibilitas moral sebagai penjaga kebenaran.

Allah mengingatkan:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah menimpakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali.” *(QS. Ar-Rum: 41)*⁶

Sejarah menunjukkan — jika kejujuran dikalahkan demi kepentingan, jika kebenaran ditutup dengan laporan indah, maka musibah dapat menjadi bahasa langit untuk mengingatkan manusia.

Bangsa yang belajar dari sejarah akan semakin matang. Bangsa yang mengabaikannya akan kembali mengulangi kesalahan yang sama — dengan luka yang sama atau bahkan lebih dalam.

Wallohu a'lam 

Catatan kaki:

  1. Abdul Qodir bin Muhammad al-Anshari al-Hanbali, Ad-Durar Al-Faroid Al-Munadzomah, Juz 1, 1133–1134.
  2. Ibid., 1135.
  3. Ibid., 1136.
  4. Ibid., 1137.
  5. Ibid., 1138.
  6. Al-Qur’an, Surah Ar-Rum ayat 41

Banjir dan Keserakahan Manusia

Gambar diambil dari newsdetik.com


ketakketikmustopa.com, Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar fenomena alam yang datang tanpa sebab. Ia adalah akumulasi panjang dari eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap alam. Hutan Sumatera yang dahulu menjadi benteng raksasa kini kehilangan jati dirinya. Penebangan liar, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan menjadi perpaduan yang membawa Sumatera pada krisis ekologis yang nyata.

Kerusakan ini bukan hanya menghilangkan pepohonan, tetapi juga menghapus mekanisme alami bumi dalam menyerap air. Ketika hujan deras turun, tanah tak lagi mampu menampung. Sungai meluap, desa tenggelam, dan kehidupan masyarakat berubah menjadi kecemasan kolektif.

Islam telah lama mengingatkan bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi. Allah berfirman:

 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini terasa relevan. Ketika alam rusak karena ulah manusia, maka manusia pula yang pertama merasakan akibatnya. Dan Allah menegaskan dalam janji-Nya:

 "Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya." (QS. Ali Imran: 9)

Bencana ini adalah tamparan realitas. Bahwa kemajuan tanpa moral adalah kemunduran. Bahwa pembangunan tanpa etika adalah kehancuran. Bukan hujan yang menjadi masalah utama—melainkan hilangnya akar moral dalam mengelola alam.

Kini, yang kita perlukan bukan sekadar bantuan logistik atau perbaikan infrastruktur pascabencana. Kita membutuhkan kesadaran baru, cara pandang baru, dan keberanian politik untuk menyadari bahwa alam bukan objek keserakahan, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sebab sebagaimana firman Allah:

“Barang siapa berbuat kebaikan sebesar zarrah akan melihat balasannya, dan barang siapa berbuat kejahatan sebesar zarrah akan melihat balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)

Kita masih punya waktu untuk memperbaiki. Banjir hari ini bukan akhir, tetapi peringatan. Pertanyaannya: apakah kita akan kembali sebelum semuanya terlambat?

Jika manusia kembali menjaga bumi, bumi akan kembali menjaga manusia. Dan di situlah letak keadilan Tuhan—janji yang pasti, tak pernah meleset.

Wallohu a,'lam

Islah Jalan Tengah


ketakketikmustopa.com, Nahdlatul Ulama (NU) adalah rumah besar umat, tempat bernaungnya ribuan pesantren, ribuan masjid, serta puluhan juta jamaah yang menjadikan organisasi ini bukan sekadar struktur, tetapi denyut kehidupan keagamaan masyarakat di akar rumput. Karena itu, setiap riak di tubuh PBNU selalu menjadi perhatian khalayak.

Belakangan, kabar pemecatan KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan Ketua Umum PBNU oleh Rais Aam Syuriah KH. Miftachul Akhyar, dengan tenggang waktu tiga hari untuk pemberhentian tersebut. Tidak berhenti di situ, langkah balasan dilakukan: Ketua Umum PBNU kemudian menyatakan bahwa Risalah yang disampaikannkepadanya tidak syah, langkah berikutnya Gus Yahya memberhentikan Saefullah Yusuf (Gus Ipul) dari posisi Sekretaris Jenderal.

Peristiwa ini menimbulkan friksi, silang pendapat, bahkan kegelisahan internal. Ada suara lantang meminta para pemimpin yang bersangkutan mundur bersama sebagai solusi paling elegan. Ada pula dorongan Musyawarah Luar Biasa sebagai jalan konstitusional organisasi. Tidak sedikit juga suara yang mengharapkan islah, perdamaian, duduk bersama, dan mengembalikan persoalan besar ini ke rel keikhlasan.

Dalam pusaran polemik ini, islah adalah kata yang kembali digaungkan. Sebab, sejarah membuktikan: organisasi sebesar dan setua NU tidak mungkin tumbuh hanya dengan kekuasaan struktural, melainkan berkat adab, tabarruk, ta’dzim, dan kelapangan dada dalam menyelesaikan konflik.

Al-Qur’an memerintahkan secara jelas:

“Fa-aslihu baina akhawaikum.”

Maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu (QS. Al-Hujurat: 10).

Ayat ini tidak menyebutkan siapa yang harus mengalah lebih dulu, siapa benar, siapa salah, siapa kuat atau siapa lemah. Sebab, ketika konflik merambat panjang, yang kalah adalah umat. Rasulullah SAW bersabda:

 “Tidak halal bagi dua Muslim saling menjauh lebih dari tiga hari...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika perselisihan dua individu saja dilarang berlarut lebih dari tiga hari, maka bagaimana mungkin kita rela konflik di organisasi besar ini berjalan tanpa kepastian, tanpa pelukan, tanpa ujung yang jelas?

Islah bukan sekadar solusi administratif—ia adalah perintah langit, karakter pesantren, dan darah damai yang mengalir dalam tradisi para ulama pendiri NU.

Secara faktual, konflik itu ada di atas — namun kehidupan keagamaan di bawah tetap berdenyut:

1. Tahlilan tetap bergema, dari pelosok desa hingga gang perkotaan.

2. Maulidan masih semarak, shalawat semakin ramai berkumandang.

3. Haulan para ulama tetap padat, tempat bertabur doa dan barokah.

4. Dan lain-lain

Tidak ada jamaah yang batal tahlil karena Ketum dan Rais Aam berbeda sikap. Tidak ada shalawat yang tertunda karena perbedaan administrasi. Nahdliyyin di bawah tetap berjalan sebagaimana adanya karena yang mereka tuju bukan gedung organisasi, melainkan keberkahan para pendiri.

Namun, tetap disayangkan bila konflik ini berlarut. Bukan karena jamaah terbengkalai hari ini, tetapi karena nama besar NU tidak seharusnya menjadi konsumsi publik dalam bentuk pertengkaran berkepanjangan.

Dan tentu — jangan sampai tetangga sebelah bertanya sinis:

“Kapan ngurusi umatnya? kalau masih sibuk ribut sendiri?”

Penutup: NU Milik Umat, Bukan Milik Perorangan.

Jika para kiai yang sedang berselisih memilih duduk bersama, menahan ego, mengutamakan jamaah — maka sejarah akan mencatatnya sebagai kemenangan ukhuwah, bukan sekadar kemenangan jabatan.

Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat kecil hanya bisa berharap, Semoga para pemimpin tertinggi NU mampu memberi contoh tertinggi dalam kedewasaan sikap, sebagaimana selama ini NU selalu memberi keteduhan bagi umat.

Wallahu a’lam bish-shawab.