Ketika Langit Turun Membawa Teguran (Sejarah bencana Istanbul dan Turki)

Gambar hanyalah pemanis tampilan dibuatkan AI

ketakketikmustopa.com, Tragedi besar dalam sejarah bukan hanya menyisakan kerusakan dan air mata; ia sering meninggalkan pesan yang lebih dalam. Tahun 971 Hijriyah menjadi salah satu di antaranya — ketika Mesir dan Istanbul sama-sama mengalami ujian berat yang menggugah kesadaran banyak pihak.

Mesir dalam Ketakutan dan Kekacauan

Di Mesir, rasa aman seakan lenyap dalam sekejap. Perampokan dan penjarahan terjadi hampir setiap hari. Gerombolan bersenjata memasuki permukiman secara terang-terangan, mendobrak pintu rumah warga, menjarah harta, bahkan merampas perhiasan dari telinga perempuan¹. Ketidakpastian sosial makin terasa setelah wafatnya hakim Mesir, Abdul Baqi bin al-‘Arabi, yang disalatkan secara ghaib di tengah situasi yang tidak menentu.

Kondisi ini menggambarkan krisis multidimensi — ekonomi, sosial, dan keamanan — yang harus ditanggung oleh rakyat kecil yang sudah kesulitan bertahan hidup.

Istanbul Dilanda Banjir Besar

Di pusat pemerintahan Turki Utsmani, Istanbul, bencana lebih dahsyat sedang terjadi. Hujan deras sepanjang malam menyebabkan banjir meluas, menghancurkan bangunan dan pasar, serta menyeret harta dan manusia ke Laut Marmara². Menara Masjid Sultan Sulaiman yang megah ikut tersambar petir.

Bahkan Sultan Sulaiman sendiri hampir hanyut bersama kudanya jika tidak diselamatkan seorang penjaga istana bernama al-Bustanji yang dengan berani melompat ke arus deras demi menolong sang Sultan². Peristiwa ini menyadarkan banyak orang bahwa bencana tidak mengenal derajat sosial — istana dan gubuk rakyat sama-sama diterjang.

Saat Musibah Menjadi Suara Peringatan

Pasca bencana, Sultan memanggil para ulama, mufti, dan qadhi. Ia bertanya dengan nada penuh kegelisahan:

“Tidakkah kalian melihat musibah besar yang belum pernah terjadi sebelumnya ini?'³

Para ulama menjawab tegas bahwa fenomena tersebut adalah peringatan, agar Sultan meninjau kembali kezaliman yang dilakukan sebagian pejabat terhadap rakyat.

Menindaklanjuti hal itu, Sultan memerintahkan penyelidikan melalui laporan dari setiap wilayah. Namun ketika laporan disusun di Mesir, sebagian ulama menolak menandatanganinya karena enggan menyatakan kondisi makmur sementara rakyat menderita⁴. Imam Syamsuddin ar-Ramli menjawab,

“Aku hanyalah ahli fikih. Aku tidak mencampuri urusan negeri dan rakyat.”

Tetapi sebagian lainnya memilih diam, menuliskan laporan yang menyenangkan istana demi keselamatan jabatan dan fasilitas yang mereka nikmati⁵.

Pelajaran untuk Bangsa Masa Kini

Peristiwa sejarah ini memberi peringatan yang relevan bagi zaman sekarang. Musibah bukan hanya peristiwa alam — ia bisa menjadi panggilan kesadaran, khususnya bagi pemimpin yang diamanahi kekuasaan, serta ulama yang memiliki kredibilitas moral sebagai penjaga kebenaran.

Allah mengingatkan:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah menimpakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali.” *(QS. Ar-Rum: 41)*⁶

Sejarah menunjukkan — jika kejujuran dikalahkan demi kepentingan, jika kebenaran ditutup dengan laporan indah, maka musibah dapat menjadi bahasa langit untuk mengingatkan manusia.

Bangsa yang belajar dari sejarah akan semakin matang. Bangsa yang mengabaikannya akan kembali mengulangi kesalahan yang sama — dengan luka yang sama atau bahkan lebih dalam.

Wallohu a'lam 

Catatan kaki:

  1. Abdul Qodir bin Muhammad al-Anshari al-Hanbali, Ad-Durar Al-Faroid Al-Munadzomah, Juz 1, 1133–1134.
  2. Ibid., 1135.
  3. Ibid., 1136.
  4. Ibid., 1137.
  5. Ibid., 1138.
  6. Al-Qur’an, Surah Ar-Rum ayat 41

Banjir dan Keserakahan Manusia

Gambar diambil dari newsdetik.com


ketakketikmustopa.com, Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar fenomena alam yang datang tanpa sebab. Ia adalah akumulasi panjang dari eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap alam. Hutan Sumatera yang dahulu menjadi benteng raksasa kini kehilangan jati dirinya. Penebangan liar, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan menjadi perpaduan yang membawa Sumatera pada krisis ekologis yang nyata.

Kerusakan ini bukan hanya menghilangkan pepohonan, tetapi juga menghapus mekanisme alami bumi dalam menyerap air. Ketika hujan deras turun, tanah tak lagi mampu menampung. Sungai meluap, desa tenggelam, dan kehidupan masyarakat berubah menjadi kecemasan kolektif.

Islam telah lama mengingatkan bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi. Allah berfirman:

 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini terasa relevan. Ketika alam rusak karena ulah manusia, maka manusia pula yang pertama merasakan akibatnya. Dan Allah menegaskan dalam janji-Nya:

 "Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya." (QS. Ali Imran: 9)

Bencana ini adalah tamparan realitas. Bahwa kemajuan tanpa moral adalah kemunduran. Bahwa pembangunan tanpa etika adalah kehancuran. Bukan hujan yang menjadi masalah utama—melainkan hilangnya akar moral dalam mengelola alam.

Kini, yang kita perlukan bukan sekadar bantuan logistik atau perbaikan infrastruktur pascabencana. Kita membutuhkan kesadaran baru, cara pandang baru, dan keberanian politik untuk menyadari bahwa alam bukan objek keserakahan, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sebab sebagaimana firman Allah:

“Barang siapa berbuat kebaikan sebesar zarrah akan melihat balasannya, dan barang siapa berbuat kejahatan sebesar zarrah akan melihat balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)

Kita masih punya waktu untuk memperbaiki. Banjir hari ini bukan akhir, tetapi peringatan. Pertanyaannya: apakah kita akan kembali sebelum semuanya terlambat?

Jika manusia kembali menjaga bumi, bumi akan kembali menjaga manusia. Dan di situlah letak keadilan Tuhan—janji yang pasti, tak pernah meleset.

Wallohu a,'lam

Islah Jalan Tengah


ketakketikmustopa.com, Nahdlatul Ulama (NU) adalah rumah besar umat, tempat bernaungnya ribuan pesantren, ribuan masjid, serta puluhan juta jamaah yang menjadikan organisasi ini bukan sekadar struktur, tetapi denyut kehidupan keagamaan masyarakat di akar rumput. Karena itu, setiap riak di tubuh PBNU selalu menjadi perhatian khalayak.

Belakangan, kabar pemecatan KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan Ketua Umum PBNU oleh Rais Aam Syuriah KH. Miftachul Akhyar, dengan tenggang waktu tiga hari untuk pemberhentian tersebut. Tidak berhenti di situ, langkah balasan dilakukan: Ketua Umum PBNU kemudian menyatakan bahwa Risalah yang disampaikannkepadanya tidak syah, langkah berikutnya Gus Yahya memberhentikan Saefullah Yusuf (Gus Ipul) dari posisi Sekretaris Jenderal.

Peristiwa ini menimbulkan friksi, silang pendapat, bahkan kegelisahan internal. Ada suara lantang meminta para pemimpin yang bersangkutan mundur bersama sebagai solusi paling elegan. Ada pula dorongan Musyawarah Luar Biasa sebagai jalan konstitusional organisasi. Tidak sedikit juga suara yang mengharapkan islah, perdamaian, duduk bersama, dan mengembalikan persoalan besar ini ke rel keikhlasan.

Dalam pusaran polemik ini, islah adalah kata yang kembali digaungkan. Sebab, sejarah membuktikan: organisasi sebesar dan setua NU tidak mungkin tumbuh hanya dengan kekuasaan struktural, melainkan berkat adab, tabarruk, ta’dzim, dan kelapangan dada dalam menyelesaikan konflik.

Al-Qur’an memerintahkan secara jelas:

“Fa-aslihu baina akhawaikum.”

Maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu (QS. Al-Hujurat: 10).

Ayat ini tidak menyebutkan siapa yang harus mengalah lebih dulu, siapa benar, siapa salah, siapa kuat atau siapa lemah. Sebab, ketika konflik merambat panjang, yang kalah adalah umat. Rasulullah SAW bersabda:

 “Tidak halal bagi dua Muslim saling menjauh lebih dari tiga hari...” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika perselisihan dua individu saja dilarang berlarut lebih dari tiga hari, maka bagaimana mungkin kita rela konflik di organisasi besar ini berjalan tanpa kepastian, tanpa pelukan, tanpa ujung yang jelas?

Islah bukan sekadar solusi administratif—ia adalah perintah langit, karakter pesantren, dan darah damai yang mengalir dalam tradisi para ulama pendiri NU.

Secara faktual, konflik itu ada di atas — namun kehidupan keagamaan di bawah tetap berdenyut:

1. Tahlilan tetap bergema, dari pelosok desa hingga gang perkotaan.

2. Maulidan masih semarak, shalawat semakin ramai berkumandang.

3. Haulan para ulama tetap padat, tempat bertabur doa dan barokah.

4. Dan lain-lain

Tidak ada jamaah yang batal tahlil karena Ketum dan Rais Aam berbeda sikap. Tidak ada shalawat yang tertunda karena perbedaan administrasi. Nahdliyyin di bawah tetap berjalan sebagaimana adanya karena yang mereka tuju bukan gedung organisasi, melainkan keberkahan para pendiri.

Namun, tetap disayangkan bila konflik ini berlarut. Bukan karena jamaah terbengkalai hari ini, tetapi karena nama besar NU tidak seharusnya menjadi konsumsi publik dalam bentuk pertengkaran berkepanjangan.

Dan tentu — jangan sampai tetangga sebelah bertanya sinis:

“Kapan ngurusi umatnya? kalau masih sibuk ribut sendiri?”

Penutup: NU Milik Umat, Bukan Milik Perorangan.

Jika para kiai yang sedang berselisih memilih duduk bersama, menahan ego, mengutamakan jamaah — maka sejarah akan mencatatnya sebagai kemenangan ukhuwah, bukan sekadar kemenangan jabatan.

Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat kecil hanya bisa berharap, Semoga para pemimpin tertinggi NU mampu memberi contoh tertinggi dalam kedewasaan sikap, sebagaimana selama ini NU selalu memberi keteduhan bagi umat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tumbler



Gambar hanyalah pemanis tampilan 

ketakketikmuatopa.com, Beberapa waktu terakhir, dunia maya tiba-tiba gaduh hanya karena satu benda sederhana: tumbler.
Semuanya bermula dari seorang wanita yang tertinggal tasnya di dalam kereta. Setelah ditemukan petugas, tas itu kembali, tapi tumblernya tak ada. Kisah ini membesar bak percikan api yang mengenai rumput kering. Publik berasumsi, menuduh, hingga memojokkan petugas KAI. Bahkan sempat muncul kabar pemecatan, sebelum akhirnya justru si wanita yang kehilangan tumblerlah yang meminta maaf.

Sebuah peristiwa kecil yang menggemparkan jagat maya, namun sekaligus membuka mata bahwa hari ini tumbler bukan sekadar botol minum, ia adalah ikon baru gaya hidup manusia modern.

Tumbler adalah botol minum yang bisa dipakai berkali-kali, tahan lama, dan ramah lingkungan. Terbuat dari stainless steel atau plastik tebal, ia hadir untuk menggantikan botol plastik sekali pakai. Ada versi yang menjaga panas untuk kopi, ada pula yang mempertahankan dingin minuman selama berjam-jam.
Ringkasnya: tumbler menjadikan minum itu praktis, higienis, dan berkelanjutan.

Dan benar—setiap kali kita menggunakan tumbler, kita mencegah satu botol plastik dibuang ke sungai, ke laut, atau ke tempat sampah yang menggunung. Dalam setahun, ratusan botol plastik bisa “hilang” dari bumi hanya karena satu orang setia memakai tumbler.

Tapi ada hal yang lebih menarik dari itu semua: tumbler kini telah menjadi simbol zaman.

Lihatlah mahasiswa di kampus-kampus; hampir setiap mejanya kini ditemani tumbler. Tumbler menjadi teman setia saat mengerjakan tugas, mengikuti diskusi, atau sekadar melepas penat di taman kampus. Di kantor, tumbler hadir di tiap sudut ruangan, menjadi bagian dari rutinitas pagi: kopi panas, semangat baru.
Bahkan saat hangout, tumbler menjadi pelengkap penampilan—desainnya yang estetik membuatnya tak hanya berguna, tapi juga gaya.

Fenomena tumbler memperlihatkan bahwa manusia sedang bergerak menuju pola hidup baru:
lebih sadar lingkungan, lebih peduli kesehatan, dan lebih ingin mengambil bagian dalam perubahan kecil yang berdampak besar.

Kasus viral tentang tumbler yang hilang di kereta mungkin telah reda. Tetapi dari sana kita belajar satu hal: betapa besar perhatian masyarakat terhadap benda kecil ini. Dan betapa tumbler perlahan menjadi simbol sederhana dari cara kita menjaga bumi dan merawat diri.

Pada akhirnya, tumbler bukan hanya wadah air. Ia adalah pesan. Pesan tentang kepedulian, kesadaran, dan gaya hidup manusia abad ini—yang ingin lebih baik dari hari kemarin.

Wallou a'lam 

Menelisik Konflik dan Perbedaan Pandangan di Tubuh PBNU

 

Gambar hanyalah pemanis buatan dibuat AI

ketakketikmustopa.com, Sejak berdiri pada 1926, NU lahir bukan sebagai organisasi yang seragam, tetapi sebagai rumah besar yang dihuni para pemikir, pejuang, dan ulama dengan pandangan yang berbeda-beda. Dari luar, NU tampak tenang. Namun di dalamnya, denyut perdebatan selalu hidup—seperti api kecil yang menjaga bara perjuangan tetap menyala.

Pada masa awal berdiri,  perbedaan itu muncul halus. Kiai-kiai sepuh ingin NU tetap seperti langgar kampung: sederhana, dekat dengan tradisi, menjaga amaliyah para leluhur. Sementara generasi muda menginginkan pembaruan: madrasah modern, manajemen rapi, dan kerja sosial yang terukur. Perdebatan itu tidak pernah menjadi perang, tetapi menjadi akar kuat yang membentuk karakter NU: berbeda pendapat, tetapi tetap menjaga adab.

Pada tahun 1952, NU membuat keputusan besar. Karena merasa diabaikan dalam Masyumi, NU memilih jalan sendiri. Partai NU lahir. Sejak itulah dinamika internal semakin tajam, karena setiap langkah keagamaan berkelindan dengan strategi politik. Itulah momentum ketika konflik NU menjadi semakin tegas: NU bisa menerima perbedaan, tetapi tidak akan membiarkan marwahnya diinjak.

Era KH Idham Chalid kemudian menjadi babak penting. Sosok kuat, cerdas, dan sulit digoyang. Di bawahnya, NU memiliki pengaruh besar di panggung nasional. Namun kekuatan itu juga menimbulkan kegelisahan. NU dianggap terlalu sibuk dengan politik, terlalu jauh dari napas pesantren. Ketika Orde Baru melebur partai-partai pada 1973, identitas NU seolah tenggelam. Maka lahirlah seruan “Kembali ke Khittah,” tanda bahwa NU tidak akan membiarkan dirinya hilang.

Ledakan heroik terjadi lagi pada Muktamar Situbondo 1984. Para kiai secara damai mengembalikan NU ke Khittah 1926 dan melahirkan pemimpin baru yang kelak mengguncang republik: KH. Abdurrahman Wahid yang biasa kita kenal Gusdur. Di tangan Gus Dur inilah, NU tampil gagah, berani bersuara, dan tak bisa didikte kekuasaan. Ketika Orde Baru mencoba mengaturnya melalui calon tandingan pada 1994, sejarah menunjukkan sisi kepahlawanan NU: Gus Dur menang telak, menolak tunduk pada tekanan—sebuah kemenangan moral yang dikenang hingga hari ini.

Setelah Gus Dur, berbagai faksi muncul. Ada yang mendekat ke pemerintah, ada yang ingin menjaga jarak, ada yang mengejar program, dan ada yang setia pada tradisi. Semakin banyak pandangan, semakin besar pula konflik. Namun begitulah NU: dinamika bukan tanda kehancuran, tetapi bukti bahwa NU selalu hidup.

Di ujung tahun 2025 ini, NU membuka episode baru. Syuriah memecat Ketua Umum, dan Ketua Umum menolak keputusan itu. NU kembali terbelah. Publik bertanya-tanya: kapan NU benar-benar damai?

Jawabannya mungkin justru inilah: NU adalah organisasi besar yang selalu diuji oleh perbedaan. Konflik bukan kelemahan, melainkan medan tempur moral untuk mengukur seberapa besar keikhlasan para pemimpinnya. Bila amanah lebih diutamakan daripada ambisi, maka NU akan tetap kokoh. Bila tidak, NU akan diuji lebih keras.

Pada akhirnya, kekuatan NU tidak pernah datang dari kursi atau jabatan. Kekuatan itu datang dari keikhlasan kiai-kiai sepuh, dari doa para santri, dan dari jutaan jamaah yang berharap NU tetap menjadi rumah amanah. Konflik boleh datang berkali-kali, tetapi NU selalu berdiri kembali—karena ruh perjuangan yang ditanam para masyayikh tidak pernah padam.

NU mungkin membawa DNA konflik, tetapi ia juga membawa DNA keikhlasan, keteguhan, dan keberanian. Dan selama tiga hal itu tetap hidup, NU akan selalu menjadi penjaga martabat umat dan penerus warisan para ulama.

Wiallohu a'lam

Generasi Golden Memories

Gambar hanyalah pemanis tampilan dibuat AI

ketakketikmystop.com, Generasi Golden Memories adalah generasi yang tumbuh dalam keberanian, tapi dibesarkan dalam adab dan peraturan. Mereka yang lahir antara tahun 1940–1970-an adalah saksi hidup dari perubahan terbesar dalam sejarah manusia usianya sekarang antara 50 - 80an lebih. Mereka melihat dunia bergerak dari lampu minyak tanah ke lampu LED, dari suara radio AM yang berdesis hingga musik digital yang hadir hanya dengan sentuhan.

Merekalah generasi yang bermain dengan tanah, rumput, dan tawa teman-teman—bukan layar ponsel. Lompat tali, gobak sodor, kelereng, galasin, petak umpet, hingga layangan yang putus dikejar bersama-sama adalah madrasah pertama tentang strategi, kebersamaan, dan keberanian. Tidak ada gawai, adanya kehidupan. Tidak ada aplikasi, adanya kebahagiaan yang nyata.

Generasi ini pernah menunggu teman tanpa telepon, berkumpul tanpa WhatsApp, tertawa tanpa emoji. Mereka berjalan berkilo-kilometer tanpa rasa takut, menonton televisi hitam putih bersama-sama, menulis surat dengan penuh perasaan, dan menunggu pak pos seperti menanti kabar bahagia.

Merekalah saksi dari peralihan mesin ketik ke komputer, dari foto analog yang harus dicuci ke kamera ponsel yang instan, dari dunia manual yang perlahan menjadi digital. Namun mereka tetap bisa mengikuti zaman—pelan, tenang, tetapi pasti. Tidak tergesa-gesa, tidak panik, karena mereka sudah ditempa oleh kehidupan yang nyata.

Generasi ini melewati delapan pergantian presiden dan perubahan peraturan pemerintah (Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, Prabowo Subianto), mengalami perubahan sosial, politik, dan budaya tanpa kehilangan keteguhan hati. Mereka tahu bagaimana hidup sederhana justru bisa melahirkan jiwa yang kuat, sabar, dan rendah hati.

Generasi ini bukan generasi yang paling modern, bukan yang paling cepat beradaptasi. Tapi merekalah generasi paling lengkap—jembatan yang menghubungkan masa lalu yang sarat nilai dengan masa kini yang sarat inovasi. Mereka membawa memori, tetapi tidak terbelenggu olehnya. Mereka merayakan kemajuan, tetapi tidak meninggalkan akar budayanya.

Generasi seperti ini adalah edisi terbatas. Tidak akan pernah terulang lagi. Selama mereka masih ada, dunia masih memiliki cahaya kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman panjang dan perjuangan yang nyata.

Maka hormatilah mereka karena usianya sudah tua. Dengarkan kisahnya saat dia bercerita. Dan pelajarilah hidup dari mereka—karena di dalam diri generasi Golden Memories tersimpan mutiara yang tak ternilai.

Wallāhu a‘lam.

Nasib Guru Mengaji Pahlawan Tanpa Panggung

 

Gambar hanyalah pemanis tampilan dibuat oleh AI

ketakketikmustopa.com, Belakangan ini, ucapan Selamat Hari Guru Nasional memenuhi jagat media sosial. Foto-foto hadiah, parcel, karangan bunga, dan ungkapan terima kasih dari para siswa begitu ramai dibagikan. Banyak guru yang tersenyum bangga, dihormati, dan disyukuri jasanya. Dan itu memang pantas.

Namun di balik hiruk pikuk itu, ada satu sosok yang hampir selalu luput dari sorotan: guru ngaji. Mungkin jumlahnya ratusan ribu  guru mengaji kalau ditelusuri.

Guru yang mengajari kita mengeja huruf-huruf hijaiyah pertama kali. Guru yang memperkenalkan kita pada “alif, ba, ta,” sebelum kita paham apa itu matematika atau IPA. Guru yang mengajarkan akhlak sebelum kita tahu arti prestasi. Guru yang menjadi jembatan awal menuju pemahaman Al-Qur’an, tetapi namanya jarang terucap ketika Hari Guru tiba.

Di sebuah surau kecil di desa terpencil, seorang guru mengaji masih setia duduk di atas tikar pandan yang mulai menipis. Setiap ba’da Maghrib, ia memulai pelajaran dengan metode Baghdadi untuk sekitar 10 anak SD kelas 4 hingga 6. Suaranya lembut, namun tegas. Tangan keriputnya sabar menuntun anak-anak mengenal harakat, makhraj, dan bunyi huruf yang benar.

Saat anak-anak SD selesai, datanglah anak-anak SMP. Ia kembali membimbing mereka membaca Al-Qur’an, memperbaiki panjang pendek bacaan, dan menguatkan hafalan. Meski letih, wajahnya tetap teduh, seakan lelah itu justru menjadi ibadah yang menenangkan hati.

Ba’da Isya, guru ngaji itu tak berhenti. Ia melanjutkan mengajar kitab kuning: mulai dari fikih Safinatun Najah, Fathul Qarib, hingga ilmu alat seperti Awamil, Jurumiyah, dan Imriti. Semuanya diajarkan dengan kesabaran yang tak ternilai, meskipun ia mengajar seorang diri tanpa asistensi, tanpa administrasi, tanpa kelengkapan modern.

Tak pernah sekali pun ia menyebut soal tunjangan. Tak pernah berharap sertifikasi. Apalagi PPPK. Yang ia inginkan hanya satu: agar cahaya Al-Qur’an tetap hidup di dada anak-anak desa itu.

Namun bukankah sudah saatnya negara dan masyarakat melihat mereka?

Bukankah mereka juga guru yang mengajar ilmu dasar akhirat?

Bukankah mereka layak mendapatkan perhatian, dukungan, dan penghargaan yang lebih manusiawi?

Guru ngaji bukan sekadar pengajar. Mereka adalah penjaga cahaya. Penjaga moral. Penjaga adab. Mereka menyalakan iman pada generasi yang belum mengerti apa itu dunia, tetapi kelak akan memikul tanggung jawabnya.

Maka pada momen ini, izinkan kami mengucapkan:

"Selamat Hari Guru (Mengaji)"

Semoga Allah memberi pahala yang tak terhingga, mengganti segala peluh dengan kebaikan yang abadi.


Wallāhu a’lam.