ketakketikmuatopa.com, Keputusan Nahdlatul Ulama (NU) untuk kembali ke Khittah 1926 bukanlah sekadar catatan sejarah—ia adalah tamparan, sekaligus kesadaran kolektif bahwa kekuasaan, bila tak dijaga, justru dapat menggerus martabat sebuah jam’iyyah ulama. Peristiwa pencoretan 29 tokoh NU dari daftar calon legislatif PPP pada Pemilu 1982 menjadi titik balik yang tak boleh dilupakan. Di situlah NU seperti diingatkan: bahwa memasuki gelanggang politik praktis tidak selalu berarti mendapat ruang, sering kali justru kehilangan arah.
Padahal sejak didirikan pada 1926, NU bukan partai politik. NU adalah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah—rumah besar ulama yang bergerak di pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat. Namun dinamika zaman mengantar NU terjun ke politik formal setelah keluar dari Masyumi tahun 1952. Pemilu 1955 menjadi panggung kejut: NU tampil gemilang di posisi ketiga, bahkan mengungguli PKI. Keberhasilan itu membangun keyakinan bahwa jalur politik bisa menjadi alat perjuangan yang sah.
Lalu datanglah Orde Baru, dengan janji stabilitas namun disertai pembatasan. Ketika partai-partai dipaksa melebur dalam fusi 1973, NU masuk ke PPP sebagai penyumbang suara terbesar. Tapi itu hanya kemenangan semu. Jabatan penting justru didominasi tokoh Parmusi, sementara kiprah NU dipersempit. Di banyak ruang, NU hadir sebagai penumpang, bukan pemilik rumah. Ketegangan menguat, suara kiai-kiai terdengar makin lantang: “Ini bukan jalan NU.”
Pencoretan 29 tokoh NU pada 1982 menjadi puncaknya. Itu bukan sekadar daftar nama; itu penghinaan terhadap marwah jam’iyyah. Para kiai sepuh membaca sinyal itu dengan jernih—bahwa NU tak mungkin terus bersandar pada politik yang justru memperkecil ruang hidupnya. Dari sinilah gelombang seruan kembali ke Khittah mengalir deras.
Situbondo 1983 menjadi panggung sejarah. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, NU menegaskan arah baru: keluar dari politik praktis. Setahun kemudian, Muktamar 1984 mengesahkan sikap itu secara resmi. NU kembali ke Khittah 1926—kembali pada jati diri sebagai organisasi sosial-keagamaan, bukan kendaraan politik.
Keputusan itu bukan langkah mundur. Justru di situlah NU melompat. Dengan keluar dari pusaran politik praktis, NU memulihkan kehormatan, memperkuat pesantren, mengukuhkan dakwah, dan menjadi kekuatan moral yang independen. NU di era Khittah menjadi lebih didengar, lebih dipercaya, lebih bebas menyuarakan kebenaran tanpa dikendalikan kepentingan partai.
Inilah alasan mengapa kita harus melawan lupa. Pengalaman pahit masa lalu adalah pelajaran berharga agar NU tetap berada pada relnya—menjaga tradisi, memperkuat umat, dan tidak membiarkan politik praktis merusak keutuhan jam’iyyah.
Khittah 1926 bukan sekadar dokumen; ia adalah kompas. Dan selama kompas itu dijaga, NU tidak akan kehilangan arah.
Wallahu a'lam.






