Tiba-Tiba Kampung Pakuan KDM Menjadi Magnet Desa Wisata Yang Mempesona

Gambar: rombongan keluarga berfose di depan tugu Taman Bunisora Kampung Pakuan


Perbincangan hangat hari-hari in tentang Lembur Pakuan Kampungnya Pak KDM. Nama ini kini tak lagi asing di telinga banyak orang. Ia disebut-sebut di pasar-pasar, didiskusikan di warung kopi, bahkan jadi bahan konten para influencer dan vloger perjalanan.

Kampung yang dulunya mungkin hanya dikenal oleh warga kampung saja, kini menjelma menjadi ikon wisata baru Jawa Barat, Semua ini tidak lepas dari peran besar Kang Dedi Mulyadi (KDM)—tokoh budaya Sunda yang kini kembali menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Belum genap 100 hari menjabat, berbagai gebrakannya sudah mengguncang publik. Mulai dari membebaskan pajak kendaraan mati yang justru menyumbang pendapatan daerah ratusan miliar, hingga ide barak pendidikan bergaya militer untuk anak-anak bermasalah. Program-programnya unik, menyentuh akar, dan terkesan “gila”—dalam arti positif.

Namun yang paling kentara adalah bagaimana ia memoles kampung kelahirannya menjadi cermin percontohan yang membanggakan. Kampung Pakuan kini tampil mempesona. Sawah-sawah terbentang luas seperti permadani hijau, dihiasi galengan yang bersih dan jalan desa yang sudah di-hotmix. Irigasi tak hanya berfungsi, tapi juga indah dipandang. Warga setempat menyambut ramah, lingkungan terjaga, dan nilai-nilai budaya Sunda dihidupkan kembali dalam bentuk yang relevan dengan zaman.

Kami dan keluarga membuktikannya sendiri. Sore hari menjelang Maghrib (15 Juni 2025), kami tiba di sana dengan tiga mobil. Sepanjang jalan penuh kendaraan. Tempat parkir nyaris tak tersisa. Suasana ramai tapi damai. Tua, muda, anak-anak, semua larut dalam kebahagiaan yang sederhana: menikmati kampung yang "bercerita".

Kami sempat mengabadikan momen di Tugu Bunisora—simbol kebanggaan lembur Pakuwan yang berdiri kokoh. Sayangnya, karena waktu terbatas, kami belum sempat menyusuri sawah-sawah atau mampir ke rumah sang tuan rumah, KDM. Tapi sore kami tetap ditutup sempurna dengan menyantap sate Maranggi khas Pakuan.

Yang mengejutkan, salah satu penjual sate mengaku bisa meraup omset harian hingga Rp100 juta. Angka fantastis untuk skala pedesaan. Bayangkan total perputaran uang yang terjadi tiap akhir pekan di sana—warung kopi, kerajinan lokal, jajanan khas, oleh-oleh—semua hidup. Semua bergerak.

Kampung Pakuan bukan hanya tempat liburan, tapi juga laboratorium sosial. Ia membuktikan bahwa desa bisa menjadi pusat ekonomi, pusat budaya, dan pusat pembelajaran. Bahwa pembangunan tak selalu harus dengan bantuan pemerintah pusat, tapi cukup dengan nilai-nilai yang membumi: kebersihan, keteraturan, keramahan, dan cinta pada akar budaya.

Di tengah krisis identitas dan alienasi budaya, Kampung Pakuan memberi pelajaran penting: jika desa dirawat dengan hati, maka ia bisa menjadi cahaya yang menerangi banyak kota.

Wallohu a'lam

Kemajuan Peradaban Islam di Indonesia


Sejarah Islam pernah mencatat masa keemasan yang luar biasa. Pada abad ke-8 hingga ke-13 M, Baghdad—di bawah Dinasti Abbasiyah—menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, kedokteran, matematika, hingga astronomi. Kota ini dikenal dengan Bayt al-Hikmah (House of Wisdom), tempat para ilmuwan dari berbagai latar belakang mengembangkan ilmu secara lintas budaya dan bahasa.

Gambar: Prof. Dr. Phill. H. Syahiron, MA. Sedang menggunting pita tanda diresmikannya STAI NU Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon.

Setelah Baghdad, peradaban Islam terus menyala, kali ini berpindah ke Mesir, dengan Universitas Al-Azhar sebagai pusat kajian Islam dunia yang berdiri sejak abad ke-10. Al-Azhar menjadi simbol keilmuan Islam yang kokoh, moderat, dan tahan zaman. Keduanya menjadi bukti bahwa peradaban Islam bisa tumbuh besar saat berpijak pada ilmu dan nilai-nilai kebajikan.

Namun sejarah tidak berhenti di sana.

Kini, dunia menatap ke Timur jauh, ke sebuah negeri maritim yang luas dan kaya budaya: Indonesia. Bukan tanpa alasan, harapan besar tentang kebangkitan peradaban Islam di masa depan tertuju pada Indonesia. Dalam sambutannya pada acara Launching STAI NU Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon (12 Juni 2025), Prof. Dr. Phill.  Sahiron, M.A., Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama RI, mengutip pemikiran intelektual Muslim modern, Fazlur Rahman. Menurut Rahman, terdapat dua prasyarat utama untuk membangun sebuah peradaban Islam yang maju: tradisi kecintaan menuntut ilmu dan sikap moderat.

1. Kecintaan Menuntut Ilmu: Warisan yang Terus Tumbuh

Indonesia dikenal sebagai negeri yang mencintai ilmu. Dari masa ke masa, semangat belajar masyarakat Muslim Indonesia tidak pernah padam. Pesantren—lembaga pendidikan khas Nusantara—telah berabad-abad menjadi pusat pengembangan ilmu agama dan nilai-nilai kehidupan. Ulama-ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama; KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; hingga cendekiawan progresif seperti: KH. Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdullah Amin dll. telah membentuk wajah Islam Indonesia yang intelektual, humanis, dan terbuka.

Tradisi ini berlanjut dalam bentuk perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta, seperti UIN, IAIN, STAI, hingga universitas berbasis pesantren. Bahkan, Indonesia kini mulai aktif dalam percakapan global mengenai Islam wasathiyah (moderat), baik dalam bidang akademik, dakwah, maupun sosial kemasyarakatan. Kegemaran menuntut ilmu telah menjadi budaya, bukan hanya kewajiban.

2. Sikap Moderat: Warisan Para Wali yang Tetap Hidup

Peradaban besar hanya bisa berdiri di atas fondasi stabil: harmoni sosial. Indonesia memiliki modal besar dalam hal ini. Watak masyarakat Muslim Indonesia, yang diwarisi dari dakwah para Walisongo pada abad ke-15, adalah watak moderat, santun, dan akomodatif terhadap budaya lokal.

Para Walisongo menyebarkan Islam bukan dengan kekerasan, tapi dengan budaya, seni, dan pendidikan. Spirit inilah yang dihidupkan oleh organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), yang kini memiliki basis massa sekitar 65% dari umat Islam Indonesia. NU menjadi simbol nyata dari Islam rahmatan lil alamin, yang tidak hanya menjaga tradisi keilmuan dan keagamaan, tetapi juga merawat kebhinekaan dan toleransi.

Sikap moderat ini adalah kekuatan moral dan kultural Indonesia. Di tengah meningkatnya ekstremisme global, Indonesia justru tampil sebagai model keberagamaan yang sejuk dan damai. Dunia kini mencari teladan baru, dan Indonesia punya peluang besar untuk menyediakannya.

3. Infrastruktur Sosial-Religius: Tanah Subur untuk Peradaban

Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki infrastruktur sosial dan religius yang luas. Ribuan pesantren, lembaga zakat dan wakaf, masjid, madrasah, dan kampus Islam telah tersebar merata dari kota hingga desa. Jika dikelola secara profesional dan visioner, jaringan ini bisa menjadi sistem pendukung bagi tumbuhnya peradaban Islam kontemporer.

Lebih dari itu, Indonesia telah masuk dalam percaturan intelektual global. Buku-buku karya cendekiawan Muslim Indonesia mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa. Delegasi Indonesia di forum internasional tentang Islam kerap mendapat apresiasi karena membawa gagasan segar yang tidak ekstrem, tapi progresif dan solutif.

Indonesia, Cahaya Baru Peradaban Islam

Kita tak lagi sekadar mengenang keemasan Baghdad dan Al-Azhar sebagai lambang kejayaan peradaban Islam. Kini, kita mesti menyiapkan diri untuk menjadi bagian dari sejarah baru itu. Indonesia memiliki semua syarat untuk menjadi pusat peradaban Islam masa depan: ilmu pengetahuan, toleransi, kekuatan sosial, dan semangat kebersamaan.

Dr. Asyrofi, M.Pd atas nama panitia launcing membacakan SK No: 056/SK/K.YKP/VI/2025 Tentang: Pengangkatan Jabatan Struktural STAI NU Assalafie.

Adapun Susunan Struktural Pejabat STAI NU Assalafie sbb:

Ketua : Dr. H. Amin Maulana,MA

Wk.1 : Dr. Asyrofi, M.Pd.I

Wk.2 : M.Nurrarrouf,M.H

Wk.3 : H.Ibnu Muzaki,Lc,M.H

Kabiro Umum : Himawan, M.Pd.I

LP3M : Rohmatulloh, M.Pd.I

LPM : Shoimin,M.Hum

Kaprodi MPI : Sukron Ma'mun,M.Pd.I

Kaprodi Ekosy : H.Fauzan,LC,M.A

Struktur Yayasan Kebajikan Pesantren sbb:

Pembina : KH.Azka Hamam Syaerozi 

Pengawas : KH.Yasyif Maemun Syaerozi 

Ketua : Dr.KH.Arwani Syaerozi


Ketua STAI NU Assalafie yang baru saja dikukuhkan mengatakan: "Masih banyak tantangan yang harus dihadapi:  kemiskinan, ketimpangan akses pendidikan, hingga globalisasi budaya yang kadang menggerus nilai-nilai luhur. Namun, jika seluruh elemen bangsa—ulama, intelektual, pemerintah, dan masyarakat—bersatu dalam visi yang sama, maka Indonesia akan mampu mengangkat Islam ke panggung tertinggi peradaban dunia."

"Mari kita tidak hanya menjadi pewaris kejayaan, tetapi juga pembangun masa depan. Karena suatu hari nanti, bukan tidak mungkin orakng-orang akan berkata: Dulu Baghdad dan Mesir, kini cahaya peradaban Islam datang dari Indonesia."

Wallahu a'lam

Menapaki Tangga Ilmu: Jalan Panjang Menuju Profesor


Bagi banyak insan akademik, menyandang gelar Profesor atau Guru Besar adalah impian puncak dalam perjalanan karier intelektual. Gelar ini bukan sekadar kebanggaan pribadi, melainkan simbol dari ketekunan, dedikasi, dan kontribusi nyata dalam ranah keilmuan. Tidak mengherankan jika dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia, seorang rektor dan wakil rektor bahkan disyaratkan telah menyandang gelar ini.




Namun siapa sangka, dalam pengalaman penulis, momen yang mengubah hidup itu datang secara mengejutkan. Pada tanggal 15 November 2024, penulis mendapati status Jabatan Fungsional saya tertulis sebagai “Profesor,” lengkap dengan angka kredit 850. Yang lebih mengejutkan: jabatan itu telah berlaku sejak 1 Januari 2024—hampir setahun sebelumnya.

Padahal, saya belum pernah secara formal mengajukan diri untuk menjadi Guru Besar. Bahkan secara administratif, saya masih bergelar S2. Maka muncul pertanyaan besar: bagaimana mungkin jabfung Profesor bisa muncul begitu saja?

Jawabannya ada dalam rekam jejak panjang aktivitas akademik yang penulis jalani, yang diam-diam tercatat, terdokumentasi, dan terakumulasi.

Buku-Buku dan Bukti Cinta pada Ilmu

Sejak awal saya berkiprah di STID Al-Biruni Babakan Ciwaringin, menulis adalah napas  dalam aktivitas saya. Hingga hari ini, saya telah:

1. Menulis lebih dari 90 Chapter Book ber-ISBN

2. Menyusun 3 buku bahan ajar untuk mata kuliah

3. Menulis 7 buku ber-HKI

4. Menyusun 2 buku profil desa

4. Menerbitkan 3 buku puisi

5. Menulis 9 artikel jurnal ilmiah

6. Menulis buku biografi Bupati Cirebon

7. Menulis 7 buku novel islami

8. Aktif dalam penulisan profil desa dan dokumentasi akademik lainnya

Menulis bukan hanya kewajiban, tapi panggilan jiwa. Ia adalah wujud cinta pada ilmu, bangsa, dan generasi mendatang.

Penghargaan dan Kiprah Global

Dedikasi tersebut tidak berlalu begitu saja. Saya pernah mendapat:

1. Mendapatkan penghargaan Albiruni Award 2022 sebagai “Dosen Penulis Buku Terbanyak”

2. Mendapatkan Penghargaan atas Apresiasi untuk partisipasi dalam 3 jam baca puisi, membacakan buku karya sendiri: "Antologi Puisi Cinta untuk Baginda Nabi Muhammad SAW" tahun 2023.

3. Kesempatan mengikuti short course di Tiongkok tahun 2009

Dan masih banyak aktivitas lain yang tercatat dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) sebagai bentuk nyata dari Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Profesor: Bukan Sekadar Gelar, Tapi Amanah

Masih banyak yang mengira gelar profesor adalah gelar kehormatan. Padahal, ia adalah jabatan fungsional akademik tertinggi yang diperoleh dari akumulasi kerja ilmiah yang terukur dan terdokumentasi. Setiap aktivitas dosen memiliki bobot angka kredit (KUM), seperti:

Mengajar 2 SKS = 2 KUM

Menulis 1 buku ISBN = 20 KUM

Memberi khutbah Jumat rutin selama 1 tahun = 1 KUM

Dengan semangat kontribusi, seorang dosen bisa mengumpulkan puluhan hingga ratusan KUM per tahun. Hingga akhirnya:

Asisten Ahli: 150 KUM

Lektor: 200–300 KUM

Lektor Kepala: 400–850 KUM

Guru Besar / Profesor: 850–1.000 KUM

Saat saya menelusuri data PDDIKTI, ternyata akumulasi KUM saya telah mencapai angka 850. Inilah pintu menuju jabfung Profesor yang terbuka—tanpa saya mengajukannya lebih dulu.

Lebih dari SK: Peran Intelektual dan Sosial

Profesor bukan hanya soal SK atau tunjangan. Ini adalah tanggung jawab besar. Ia harus menjadi:

1. Pengajar yang mencerahkan

2. Peneliti yang menggugah

3. Pengabdi masyarakat yang menginspirasi

Setiap tulisan, khutbah, pelatihan masyarakat, hingga kontribusi di forum ilmiah adalah bentuk ibadah intelektual. Tidak jarang, rezeki dosen datang bukan dari gaji, tetapi dari keberkahan ilmunya. Seperti kata seorang kiai: “Kalau jadi dosen, rezekinya sering tidak terduga. Ilmu yang dibagi dengan ikhlas akan kembali dalam bentuk penghormatan dan keberkahan.”

Membangun Masa Depan Akademik Lewat Jabfung

Mengapa jabfung penting?

Karena ia tidak hanya menentukan nasib pribadi dosen, tapi juga masa depan institusi. Misalnya:

Untuk menjadi institut, sebuah kampus harus memiliki minimal 2 dosen Lektor Kepala atau Doktor

Untuk membuka program S2, kampus wajib memiliki minimal 1 Profesor dan 2 Doktor

Maka, dukungan institusi terhadap peningkatan jabatan fungsional dosen adalah investasi strategis. Administrasi harus dipermudah, pelatihan diperbanyak, dan budaya akademik diperkuat.

Penutup: Mari Menapaki Tangga Ilmu dengan Gairah dan Iman

Profesor bukanlah puncak keangkuhan, tapi titik kulminasi dari pelayanan ilmiah. Ia adalah amanah besar yang hanya bisa dipikul oleh mereka yang bersedia melayani ilmu dan masyarakat dengan sepenuh hati.

Mari kita:

1. Mengajar dengan dedikasi

2. Meneliti untuk solusi

3. Mengabdi dengan ketulusan

4. Mendokumentasikan semua kontribusi kita

Jabatan fungsional bukan tujuan akhir, tetapi jalan panjang yang mulia. Maka, mari kita tempuh jalan itu dengan tekad yang lurus, niat yang benar, dan semangat yang menyala—demi Indonesia yang lebih cerdas, mandiri, dan bermartabat.

Wallohu a'lam 

Bersembunyi di Tempat Terang: Obrolan Reoni Tipis-Tipis di Tegalgubug

Gambar dari Kanan ke Kiri: R. Asep Sohibul Saefillah, Mustopa, Siad Kaskay, Ahmad Fikriyan


Tidak ada hujan, tak ada angin, rumah Mustopa di Tegalgubug mendadak kedatangan tamu-tamu spesial: sahabat-sahabat lama Banser Tempo Doeloe. Ada Kang Fikriyan yang tenang namun penuh daya juang, Kang R. Asep Sohibul Saefillah si pengamat peta politik NU dan PKB Cirebon, dan tentu saja, tak ketinggalan, Kang Siad Kaskay—jurus lidahnya masih tajam, arah pembicaraannya seperti sungai yang tampak tenang tapi berarus deras.

Tuan rumah, Mustopa, datang agak telat, membawa lima bungkus bubur sop ayam. Sebuah kejutan yang sederhana tapi hangat, seperti suasana malam itu. Bubur ayam yang mengepul disantap dengan tawa kecil, ditutup dengan kesegaran es orson yang menggoda. Dan setelah itu, dimulailah dunia persilatan lidah, seperti masa-masa ketika mereka masih aktif di Ansor Banser Kabupaten Cirebon: menjaga, mengawal, bahkan terkadang hanya duduk bersila di teras rumah Mustopa sambil memikirkan arah gerakan ke depan.

Obrolan ringan pun bergulir. Namun seperti biasa, dari obrolan ringan itulah seringkali muncul gagasan besar.

Kang Siad Kaskay membuka tema malam itu: “Bersembunyi di Tempat Terang.” Judul yang terdengar filosofis, tapi justru sangat membumi. Menurutnya, sebagai orang NU, tidak elok jika terlalu grasah-grusuh ingin memimpin. “Pemimpin itu bukan tentang ambisi, tapi kesiapan. Kapanpun para sepuh memanggil, kita harus siap,” kata Kang Siad, sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Candaan pun mengiringi, saat Mustopa menyela, “Kang Siad, bukan Kang Said, ya.”

Kang R Asep Sohibul Saefillah, si ‘raden’ pemikir, tak kalah tajam. Ia memetakan bagaimana hubungan NU dan PKB di Cirebon sudah sedemikian lekat—bahkan kadang terlalu lekat, hingga NU nyaris kehilangan otonominya sebagai gerakan. Tapi Kang Asep tidak melulu mengkritik; ia menyampaikan harapan, bahwa NU perlu mempertegas kembali garis juangnya, agar tak larut sebagai bayangan partai dan kental politiknya.

Berbeda dari keduanya, Kang Ahmad Fikriyan datang dengan energi yang khas: tenang, ulet, dan sangat terorganisir. Di tangannyalah banyak dokumentasi kegiatan NU dan Banser tersimpan rapi. Ia bukan hanya saksi sejarah, tapi juga penjaga memori gerakan. Sosok semacam ini langka: tak banyak bicara, tapi gerakannya mencerminkan konsistensi dan ketulusan.


Semangat menyala Ansor Banser dari orang-orang lugu angkatan 1985 hingga sekarang.


Reoni malam ini memang "tipis-tipis", tapi justru di situlah maknanya. Dari percakapan ringan seperti ini, muncul kesadaran bahwa menjadi bagian dari NU, dari Banser, adalah tentang kesetiaan dalam keheningan. Tentang perjuangan yang tidak selalu tampak. Tentang pilihan untuk tetap bersembunyi di tempat terang—karena dalam terang itulah, seseorang kadang harus belajar menahan diri, tidak tampil, namun tetap bekerja dan siap sedia ketika dipanggil.

Diskusi pun ditutup dengan video call hangat bersama sesepuh Banser dari Losari, KH. Muhari Joko Poleng. Suaranya bergetar tapi tegas, mengingatkan bahwa perjuangan belum usai, dan generasi kini harus melanjutkan estafet itu tanpa saling menyingkirkan, tanpa tergoda panggung yang gemerlap.

Malam ini, di rumah sederhana Mustopa, tidak ada panggung, tidak ada mikrofon, hanya teras rumah dan gelas plastik berisi es orson. Tapi dari tempat itulah, semangat itu kembali menyala. Reoni kecil ini hanyalah awal. Sebuah awalan menuju Reoni Besar Ansor Banser Tempo Doeloe. Dan mungkin, dari ruang-ruang kecil seperti ini, sejarah besar kembali digerakkan—dengan cara yang sunyi, tapi tak pernah sepi makna.

Wallohu a'lam 

Tahallul, Rangkaian Terakhir Ibadah Haji: Antara Syariat, Sunah dan Simbol Transformasi


Setiap musim haji, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci, menyatu dalam pakaian ihram yang sama, melafalkan niat yang sama, dan menapaki manasik yang sama. Namun, dari seluruh rangkaian ibadah haji yang penuh makna itu, terdapat satu ritual yang justru terkesan paling sederhana secara fisik, tetapi menyimpan makna terdalam secara spiritual: tahallul. Ia adalah simbol berakhirnya larangan-larangan ihram dan penanda bahwa seorang haji telah menyelesaikan satu fase besar perjalanan ibadahnya.

Secara terminologis, tahallul berasal dari kata hallala–yuhallilu–tahallulan yang berarti "menjadi halal" atau "bolehnya kembali melakukan hal-hal yang sebelumnya diharamkan selama ihram"[1]. Dalam konteks ibadah haji, tahallul merujuk pada prosesi mencukur atau memotong rambut sebagai bentuk penyelesaian sebagian besar rangkaian manasik haji. Ulama membagi tahallul menjadi dua: tahallul awal (pertama), yang terjadi setelah melempar jumrah, menyembelih hewan kurban, dan mencukur rambut; serta tahallul tsani (kedua), yang dilakukan setelah thawaf ifadhah dan sa’i, menandai kembalinya seluruh kehalalan yang sebelumnya dilarang[2].

Syari’at yang Sarat Makna

Dari sisi hukum Islam, tahallul memiliki kedudukan penting. Menurut mayoritas ulama, tahallul merupakan wajib haji, bahkan menurut sebagian madzhab seperti Hanafi dan Maliki, termasuk dalam rukun haji yang jika ditinggalkan, ibadah hajinya tidak sah[3]. Rasulullah ﷺ sendiri mempraktikkan tahallul pada Haji Wada’ dengan mencukur seluruh rambutnya setelah menyelesaikan manasik[4]. Beliau juga mendoakan tiga kali lipat kebaikan bagi orang yang mencukur rambut dibandingkan mereka yang hanya memotong sebagian rambut (taqsir)[5].

Dari sini kita memahami bahwa tahallul bukanlah sekadar tindakan simbolik, melainkan bagian dari struktur ibadah haji yang memiliki dimensi hukum dan spiritual. Ia menandai titik balik—bahwa setelah semua rukun dan wajib haji dijalani, seseorang kini diperbolehkan kembali ke dalam kehidupan normalnya, namun dalam kondisi ruhani yang telah dimurnikan oleh ibadah.

Sunah Nabi dan Keteladanan Kesederhanaan

Menarik untuk dicermati bahwa Rasulullah ﷺ tidak hanya menetapkan tahallul sebagai syariat, tetapi juga memberi keteladanan dalam pelaksanaannya. Dalam hadits riwayat Muslim, disebutkan bahwa saat Haji Wada’, Rasulullah ﷺ mencukur rambutnya, bukan sekadar memotongnya, padahal mencukur rambut secara total (halq) tidak diwajibkan, hanya disunnahkan. Namun hal ini menunjukkan bahwa beliau ingin mengajarkan nilai keikhlasan dan ketundukan penuh dalam menyempurnakan ibadah.

Rasulullah ﷺ bahkan tiga kali mendoakan mereka yang mencukur rambut, sebelum kemudian baru mendoakan mereka yang hanya memendekkan rambut[6]. Dalam perspektif ini, mencukur habis rambut menjadi simbol "penyucian total", melepaskan semua sisa-sisa keangkuhan, kecantikan, dan kebanggaan duniawi. Ia menjadi latihan kerendahan hati di hadapan Allah, setelah seorang hamba mendekatkan diri-Nya melalui wukuf, thawaf, sa’i, dan melontar jumrah.

Simbol Transformasi Diri

Dalam makna yang lebih mendalam, tahallul mengandung nilai simbolik sebagai transformasi spiritual. Ia adalah penanda bahwa seseorang telah selesai menempuh satu fase besar perjalanan hidupnya—bertemu Allah di Arafah, mengikis dosa di Muzdalifah, melempar godaan setan di Mina, dan kini, dengan kepala tunduk, bersedia mencukur identitas lamanya demi lahir sebagai manusia baru.

Proses tahallul tidak hanya memotong rambut, tetapi juga seharusnya memotong keinginan duniawi yang melalaikan, memotong ambisi egoistik yang membutakan, dan memotong kedekatan kita dengan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ia adalah bentuk “spiritual detox” yang membawa pesan penting: pulang dari haji bukan berarti kembali menjadi manusia biasa, tetapi kembali menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.

Sayyid Quthb dalam tafsirnya menulis bahwa ibadah-ibadah besar seperti haji tidak hanya berhenti pada tataran amal lahiriah, melainkan bertujuan membentuk pribadi mukmin yang tangguh, tunduk total kepada Allah, dan siap kembali ke masyarakat dengan misi perbaikan[7]. Maka, tahallul adalah momen di mana seorang hamba secara simbolis dan konkret menanggalkan semua kepalsuan hidup, dan memulai hidup baru dengan kesadaran tauhid yang lebih murni.

Penutup: Dari Ritual ke Realitas

Tahallul adalah ujung dari manasik, tapi seharusnya menjadi awal dari sebuah babak baru kehidupan. Ia mengajarkan kita bahwa transformasi sejati harus diawali dengan keberanian untuk meninggalkan yang lama dan membangun yang baru. Seorang haji yang pulang dari Tanah Suci dengan kepala bersih bukan hanya membawa gelar, tetapi membawa tanggung jawab—bahwa perubahan tidak cukup dirasakan di Mekah, tetapi harus dijalankan di rumah dan di tengah masyarakat.

Jika setelah tahallul, kita masih kembali pada sikap buruk, kesombongan, dan kemaksiatan yang lama, maka barangkali yang tercukur hanyalah rambut, bukan hawa nafsu. Maka mari kita hayati tahallul bukan sekadar syariat atau sunah, tapi simbol perubahan total, a point of no return menuju diri yang lebih suci dan lebih berarti.

Wallohu a'lam 

Daftar Footnote:

[1] Al-Munawwir, A.W., Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 285.

[2] Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 108–110.

[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hlm. 502.

[4] HR. Muslim no. 1305.

[5] HR. Muslim, no. 1303: "Ya Allah, rahmatilah mereka yang mencukur rambut mereka," diulang tiga kali, lalu setelah itu baru mendoakan yang memotong rambut.

[6] Ibid.

[7] Sayyid Quthb, Fi Zilal al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Shuruq, 2001), tafsir Surah Al-Hajj ayat 27–29.

Bermalam di Mina: Simbol Tunduk dan Patuh Kepada Allah SWT


Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berangkat menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, sebuah perjalanan spiritual yang merupakan rukun Islam kelima. Di antara rangkaian ritual yang dilakukan, salah satu yang tampak "sederhana" namun sarat makna adalah bermalam di Mina (mabit), yaitu menginap pada malam hari tasyrik di lembah Mina, tepatnya setelah wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah[1].

Bagi sebagian orang yang memandang ibadah haji hanya sebagai aktivitas fisik atau ritual simbolik, bermalam di Mina bisa jadi dianggap hal kecil atau bahkan tidak terlalu penting. Namun jika kita selami lebih dalam, mabit di Mina sejatinya adalah simbol nyata dari tunduk dan patuhnya seorang hamba kepada perintah Allah SWT, bahkan dalam bentuk yang tampak sederhana dan tidak selalu dipahami logikanya secara langsung[2].

Tunduk Tanpa Banyak Tanya

Ketika Allah SWT memerintahkan sesuatu, tidak selalu disertai penjelasan rasional atau argumen logis. Begitu pula dalam perintah mabit di Mina. Umat Islam diperintahkan untuk menetap di sana pada malam-malam hari tasyrik, tidur di bawah tenda atau bahkan di tanah beralas sajadah, dengan segala keterbatasan fasilitas yang tersedia[3]. Mengapa? Jawabannya bukan karena kenyamanan, bukan karena efisiensi, tapi karena ketaatan.

Di sinilah letak kekuatan maknawi dari mabit di Mina: ujian ketaatan dalam hal yang tampaknya sepele. Tidak ada ibadah yang sia-sia dalam Islam, bahkan jika hanya duduk di dalam tenda dan tidur pun dapat bernilai tinggi di sisi Allah jika dilakukan dengan niat taat[4].

Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail

Bermalam di Mina tidak bisa dilepaskan dari rangkaian makna besar yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Kisah keduanya mengajarkan kepada kita tentang makna penyerahan diri secara total kepada kehendak Allah. Ketika perintah menyembelih anak datang, Ibrahim tidak membantah. Ismail pun tidak menolak. Keduanya pasrah dengan yakin dan tenang[5].

Demikian pula para jamaah haji yang bermalam di Mina. Di balik tenda-tenda sederhana, tersimpan semangat Ibrahim: tunduk tanpa syarat, patuh tanpa ragu, dan yakin bahwa semua perintah Allah mengandung hikmah meski belum tampak saat ini[6].

Simbol Kesederhanaan dan Kesetaraan

Di Mina, tidak ada kamar hotel berbintang, tidak ada sofa empuk, tidak ada sekat sosial. Semua manusia berkumpul dalam tenda-tenda yang sama, mengenakan pakaian ihram yang seragam, tidur beralaskan tikar atau karpet tipis. Di sinilah letak keindahan mabit: ia mengikis perbedaan sosial, membumikan kesetaraan antar sesama muslim, dan menyatukan hati dalam satu frekuensi ibadah[7].

Tafakur dan Kesadaran Batin

Tak sedikit jamaah yang merasakan bahwa justru di Mina, mereka mendapatkan momen paling dalam dalam ibadah hajinya. Di sanalah mereka merasa menjadi manusia biasa, merasa kecil di hadapan kebesaran Allah, dan merasa sangat dekat dengan rahmat-Nya. Di tengah keheningan malam dan keterbatasan fasilitas, hadir keintiman spiritual yang sulit ditemukan dalam hiruk pikuk dunia modern[8].

Menjadikan Mina Sebagai Metafora Hidup

Bermalam di Mina adalah pelajaran hidup. Bahwa dalam hidup ini, kita tidak selalu harus mencari kenyamanan. Yang lebih penting adalah bagaimana kita tetap patuh pada prinsip, teguh pada keimanan, dan sabar dalam proses. Mina adalah gambaran kehidupan yang penuh kesederhanaan namun bermakna, kehidupan yang lebih menekankan nilai ruhani dibandingkan materi[9].

Penutup

Mabit di Mina bukan sekadar bermalam. Ia adalah pernyataan keimanan, simbol ketaatan, dan pengingat akan hakikat kehambaan. Dalam sunyi tenda-tenda Mina, seorang hamba sedang menyatakan, “Aku patuh, ya Allah, meski aku tidak selalu mengerti. Aku tunduk, ya Rabb, meski lelah dan terbatas.”

Wallahu a'lam 

Catatan Kaki:

[1]: QS. Al-Baqarah (2): 203 – “Dan berdzikirlah kepada Allah dalam beberapa hari yang tertentu (hari-hari tasyrik)...” 

[2]: Ibn Qudamah, Al-Mughni, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997, Jilid 3, hlm. 237.

[3]: Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1992, Jilid 8, hlm. 243–244. 

[4]: HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 3146 – “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya...” 

[5]: QS. Ash-Shaffat (37): 102 – “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” 

[6]: Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Kairo: Dar al-Shuruq, 2001, Jilid 6, tafsir QS. Ash-Shaffat. 

[7]: Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sirah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1995, hlm. 309. 

[8]: Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Ibadat, Kairo: Dar al-Wafa’, 2003, hlm. 222. 

[9]: Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Juz II, tafsir QS. Al-Baqarah: 203.

Tiga Jumrah Tiga Perlawanan: Ego, Dunia, dan Syahwat



Di tengah terik matahari Mina, jutaan jiwa bergerak serentak. Mereka menggenggam batu-batu kecil dengan tangan yang penuh harap dan dada yang bergetar. Bagi sebagian orang, ini hanya ritual. Tapi bagi yang menyelami maknanya, melempar Jumrah bukan sekadar gerak fisik, melainkan simbol perang abadi melawan musuh-musuh yang tersembunyi di balik daging dan darah.

Tiga Jumrah—Ula, Wustha, dan Aqabah—adalah pengingat bahwa hidup manusia bukan sekadar perjalanan mencari kenyamanan, tapi medan perjuangan spiritual. Setiap Jumrah yang dilempar, sejatinya adalah perlawanan terhadap sesuatu yang jauh lebih sulit dari iblis: nafsu diri sendiri.

Jumrah Ula: Melawan Ego, Musuh dari Dalam

Ego bukanlah sekadar rasa percaya diri, tetapi bagian dari diri yang merasa paling benar, menolak nasihat, dan enggan tunduk kepada Sang Pencipta. Ia hadir saat manusia lebih sibuk membela harga diri daripada mencari kebenaran. Ia tumbuh subur dalam pujian, jabatan, dan popularitas.

Ketika kita melempar Jumrah Ula, sesungguhnya kita sedang menantang dan menaklukkan ego yang meraja. Ia mengajarkan bahwa penghancuran diri bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan membangun keikhlasan sejati. Nabi Ibrahim tak akan mampu meninggalkan Hajar dan Ismail jika ia tak berhasil menaklukkan egonya. Nabi Muhammad tak akan bisa menjadi rahmat bagi semesta jika ia tak menundukkan ambisi pribadi demi wahyu yang dibawa.

Di era digital, ego semakin halus menyusup. Ia hadir dalam postingan, komentar, jumlah pengikut, hingga obsesi untuk selalu terlihat benar. Maka, melempar Jumrah Ula adalah pernyataan bahwa aku tidak ingin diperbudak oleh pencitraan. Aku ingin tunduk kepada Allah, bukan kepada bayangan tentang diriku sendiri.

Jumrah Wustha: Melawan Dunia, Fatamorgana yang Menipu

Dunia sering dipuja, dikejar, bahkan dipertaruhkan dengan segala cara. Tapi dunia pula yang paling cepat berpaling. Harta, jabatan, popularitas, semuanya fana. Ketika dilemparkan batu ke Jumrah Wustha, seorang hamba sedang berkata: "Aku rela melepaskan apa yang tak kekal, demi yang abadi."

Perlawanan terhadap dunia bukan berarti menjadi anti kemajuan, anti teknologi, atau hidup dalam kemiskinan. Dunia bukan untuk ditinggalkan, tetapi untuk dikendalikan. Dunia ibarat air laut: semakin diminum, semakin haus. Maka, melempar Jumrah Wustha adalah refleksi bahwa kita sadar dunia bukan tujuan, melainkan sarana. Ketika dunia dibiarkan masuk ke hati, saat itulah ia mulai merusak. Tapi bila tetap di tangan, dunia justru bisa menjadi ladang pahala.

Nabi Sulaiman menguasai dunia, tetapi hatinya tetap terikat pada Allah. Sebaliknya, Qarun tenggelam bersama kekayaannya karena cinta dunia yang membutakan.

Jumrah Aqabah: Melawan Syahwat, Perang yang Paling Sulit

Syahwat adalah energi. Ia bisa menjadi kekuatan atau bencana. Ia bisa menjadi penyebab lahirnya generasi atau hancurnya kehormatan. Dalam sejarah manusia, banyak tokoh besar jatuh bukan karena musuh, tetapi karena syahwatnya sendiri.

Melempar Jumrah Aqabah adalah perang melawan syahwat yang menjerat: syahwat mata yang tak terjaga, lidah yang tak terkendali, hati yang memelihara dendam, dan tubuh yang tak lagi mengenal batas halal-haram. Di era modern, syahwat tidak hanya datang lewat ruang-ruang privat, tapi hadir di layar gawai, film, iklan, dan bahkan mimpi.

Mengendalikan syahwat bukan mengekangnya secara ekstrem, tapi menuntunnya pada jalan yang diridhai. Islam tidak menghilangkan naluri, tetapi menatanya agar tidak merusak. Maka, Jumrah Aqabah adalah simbol jihad terhadap bisikan-bisikan batin yang paling menggoda.

Mina, Medan Pendidikan Jiwa

Lemparan tiga Jumrah bukan akhir dari perjuangan, tapi awal dari kesadaran. Ia bukan hanya rangkaian ibadah haji, tetapi peta perjalanan spiritual. Bahwa sepanjang hidup, kita akan terus menghadapi tiga musuh ini dalam berbagai bentuk dan rupa.

Ego tak mati hanya karena satu lemparan. Dunia tak hancur karena sekali penolakan. Syahwat tak hilang dalam semalam. Tapi setidaknya, melempar Jumrah adalah pengakuan: bahwa aku menyadari keberadaan musuh itu dan siap melawannya dengan sabar, doa, dan keteguhan hati.

Dan yang terpenting, lemparan itu harus dilanjutkan dalam kehidupan nyata: di kampus, di media sosial, di ruang keluarga, di tempat kerja. Setiap keputusan, ucapan, dan sikap harus menjadi lemparan simbolik terhadap egoisme, hedonisme, dan nafsu yang menjerat.

Penutup: Membawa Mina Pulang ke Dalam Diri

Sepulang dari Mina, yang perlu dibawa bukan hanya air zamzam dan kurma, tapi kesadaran: bahwa ibadah sejati tidak selesai di Makkah, tetapi dimulai kembali di tanah air. Perang spiritual itu terus berlanjut—hingga napas terakhir.

Mina adalah pelatihan jiwa. Batu yang dilempar bukan hanya ditujukan ke dinding setan, tapi ke arah yang lebih dalam: diri kita sendiri. Karena sejatinya, musuh terbesar manusia bukan di luar dirinya, tetapi di dalam jiwanya.

Wallohu a'lam