Diam Adalah Kemenangan (Belajar dari Harimau dan Keledai)


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjebak dalam keinginan untuk selalu membuktikan diri benar. Entah di lingkungan kerja, dunia akademik, media sosial, atau bahkan dalam ruang-ruang keluarga dan pertemanan. Kebenaran menjadi semacam “ajang tanding,” bukan lagi nilai luhur yang hendak diraih bersama dengan cara-cara yang sehat. Perdebatan pun menjelma menjadi pertempuran ego, bukan lagi dialektika untuk mencari pemahaman bersama.

Sebuah kisah bijak berikut ini mengilustrasikan dengan sangat indah dan tajam bagaimana kita harus menyikapi orang-orang yang hanya ingin menang berdebat, bukan menang dalam akal sehat:

Kisah Harimau, Keledai, dan Singa

Keledai suatu hari berkata kepada harimau,

“Rumput itu biru.”

Harimau menjawab dengan tenang,

“Tidak, rumput itu hijau.”

Percakapan itu berubah menjadi perdebatan sengit. Karena tidak menemukan titik temu, mereka sepakat menghadap singa, raja hutan, untuk memutuskan kebenarannya.


Ketika mereka tiba, bahkan sebelum harimau sempat berkata apa-apa, keledai berteriak,


> “Yang Mulia, bukankah rumput itu biru?”

Singa, tenang dan bijak, menjawab:

“Benar, rumput itu biru.”

Keledai bersorak girang, dan melanjutkan,

“Lihatlah! Harimau menentangku, menyalahkanku, dan membuatku kesal. Dia perlu dihukum!”

Mendengar itu, sang singa berkata:

“Baik. Harimau akan dihukum lima tahun diam.”

Keledai melompat kegirangan, dan pergi sambil berseru,

“Rumputnya biru! Rumputnya biru!”

Harimau, menerima hukuman dengan kepala tegak, tetap memberanikan diri bertanya kepada raja,

“Yang Mulia, bukankah kita semua tahu bahwa rumput itu hijau?”

Singa menjawab,

“Benar, rumput itu hijau.”

Harimau makin heran.

“Kalau begitu, mengapa aku dihukum?”

Singa menjawab dengan kalimat yang sangat tajam,

“Kau dihukum bukan karena kau salah. Kau dihukum karena makhluk cerdas sepertimu tidak semestinya membuang waktunya berdebat dengan keledai, dan lebih dari itu, kau datang menggangguku dengan persoalan remeh yang tak layak dipersoalkan.”

Makna yang Mendalam

Kisah ini bukan sekadar dongeng fabel. Ia menyimpan pelajaran luar biasa bagi siapa pun yang terlibat dalam dunia berpikir, dunia pendidikan, dunia dakwah, bahkan dunia media sosial yang riuh rendah.

Pertama, tidak semua orang layak untuk diajak berdialog panjang. Ada orang yang sesungguhnya tidak sedang mencari kebenaran, tetapi hanya ingin mengalahkan lawan bicara, membuktikan bahwa dia “lebih pintar,” atau sekadar ingin mempertahankan harga dirinya meskipun ia tahu dirinya keliru.

Kedua, orang-orang seperti itu—dalam bahasa kisah ini: keledai—tidak tersentuh oleh logika dan data. Mereka tidak membutuhkan penjelasan, tetapi pengakuan. Mereka lebih suka menang daripada mengerti. Mereka bukan pencari ilmu, tapi pencari pembenaran.

Ketiga, kadang orang-orang cerdas seperti harimau malah terseret ke dalam debat tidak sehat karena dorongan emosional atau naluri untuk membela kebenaran. Padahal, kebenaran tidak selalu harus dibela dengan kata-kata—kadang cukup dengan diam dan melangkah pergi. Seperti kata pepatah Arab:

 السكوت على الجاهل جواب – Diam adalah jawaban paling tepat bagi orang bodoh.

Keempat, pemimpin bijak seperti singa dalam cerita ini tahu kapan sebuah masalah pantas diurus, dan kapan ia cukup diabaikan. Orang-orang besar tidak terganggu oleh perkara kecil. Mereka memilih fokus pada urusan besar, bukan urusan rumput.

Refleksi Sosial dan Spiritualitas

Di zaman ini, banyak perdebatan yang lahir bukan dari niat baik, tetapi dari ego, kebencian, atau hasrat viralitas. Di media sosial, kita melihat betapa cepat orang menghakimi, menyerang, dan saling menjatuhkan hanya karena perbedaan pendapat yang sebenarnya sepele. Bukti dan fakta tak lagi penting jika hati sudah dibutakan oleh rasa ingin menang sendiri.

Di sinilah pentingnya kecerdasan emosional dan spiritual. Kita harus tahu kapan menyuarakan, kapan menjelaskan, dan kapan justru diam. Sebab kadang, diam bukan tanda kalah, tapi bentuk kemenangan yang anggun.

Seperti petuah bijak yang layak kita ingat:

“Jangan bertempur dalam medan yang tidak akan memberikanmu kemenangan, hanya kelelahan.”

Kisah harimau dan keledai mengajarkan kita bahwa dalam hidup ini, tidak semua pertarungan harus dilawan. Tidak semua komentar perlu ditanggapi. Tidak semua pernyataan layak dijawab. Kita tidak sedang berlomba jadi yang paling benar di mata manusia, tetapi paling bijak di hadapan Tuhan dan nurani kita.

Maka, bila suatu hari kamu menghadapi seseorang yang bersikukuh menyebut “rumput itu biru” meski jelas-jelas hijau, ingatlah harimau. Diam dan tinggalkan. Simpan energimu untuk kebaikan yang lebih besar. Karena...

“Ketika ketidaktahuan menjerit, diam adalah tanda kematangan jiwa.”

“Ketika ego menggelegak, tenanglah dan jaga harga dirimu.”

Hiduplah bijak seperti harimau. Dan jangan pernah buang waktumu untuk meyakinkan seekor keledai.

Wallohu a'lam 

Menulis Demi Royalti atau Reputasi


Dunia penerbitan di Indonesia, dalam satu dekade terakhir, mengalami dinamika yang kian kompleks. Jika sebelumnya jalur utama seorang penulis untuk menerbitkan karya hanyalah melalui penerbit besar (mayor), kini muncul alternatif yang tak bisa diabaikan: penerbit indie dan self-publishing. Fenomena ini tidak hanya memperluas peluang bagi para penulis, tetapi juga memicu perdebatan hangat tentang motivasi utama dalam menulis: apakah demi royalti atau demi reputasi?

Penerbit mayor selama ini dianggap sebagai jalan utama untuk mencapai “pengakuan.” Nama besar penerbit menjadi jaminan kualitas—dalam penyuntingan, desain, distribusi, hingga positioning buku di mata pasar. Tak heran jika banyak penulis, terutama pemula, mendambakan karya mereka dilirik oleh penerbit-penerbit besar. Apalagi jika berhasil menembus rak toko buku nasional, mendapatkan liputan media, dan hadir di festival sastra atau diskusi buku.

Namun di balik gemerlap itu, ada kenyataan yang tak bisa ditutupi. Proses seleksi yang panjang, ketat, dan kerap tidak transparan membuat banyak naskah tersisih, bukan karena buruk, tetapi karena dianggap “tidak menjual”. Penulis harus bersabar berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hanya untuk mendapatkan satu surat balasan. Jika pun diterima, royalti yang diterima hanya berkisar 10-15% dari harga jual buku—angka yang jauh dari sepadan jika dihitung dari waktu, riset, dan tenaga yang dicurahkan penulis. Sementara itu, pihak penerbit dan distributor mendapat porsi yang lebih besar dari penjualan.

Di sinilah penerbit indie tampil menggoda. Dengan sistem terbuka dan fleksibel, penulis bisa menerbitkan karya mereka secara mandiri, mengatur isi, desain, bahkan harga jual. Royalti bisa mencapai 100% jika buku dijual langsung oleh penulis. Proses terbit pun lebih cepat, hanya beberapa minggu atau bulan. Model ini menawarkan otonomi penuh bagi penulis—terutama bagi mereka yang memiliki komunitas pembaca sendiri atau kemampuan memasarkan karyanya di media sosial. Namun, tantangannya juga nyata: tidak semua orang mampu menjadi penulis sekaligus editor, desainer, dan pemasar dalam satu waktu. Ditambah lagi, stigma “indie kurang bergengsi” masih melekat di sebagian kalangan, terutama dalam dunia akademik atau lembaga formal.

Royalti vs Reputasi: Dilema Seorang Penulis

Perdebatan antara dua kutub ini sejatinya menggambarkan konflik batin yang lebih dalam: apa tujuan utama seorang penulis berkarya? Apakah ingin dikenal luas dan dihormati sebagai intelektual publik, ataukah ingin mandiri secara finansial melalui penjualan buku? Tentu, tak ada jawaban tunggal yang berlaku bagi semua.

Sebagian penulis menganggap royalti hanyalah bonus. Mereka menulis karena panggilan jiwa, demi menyampaikan ide, memperjuangkan nilai, atau meninggalkan warisan pemikiran. Kalangan ini cenderung mencari penerbit mayor karena mempertimbangkan aspek kredibilitas, pengaruh, dan posisi tawar dalam jaringan keilmuan atau sosial. Di sisi lain, muncul penulis-penulis muda yang menjadikan kepenulisan sebagai sumber penghasilan utama. Mereka sadar akan potensi pasar digital, pemasaran daring, dan pentingnya memiliki kontrol penuh terhadap karya dan pendapatan mereka. Bagi mereka, menulis adalah profesi, bukan sekadar ekspresi.

Namun sering kali, dua jalan ini bersilangan. Penulis mayor merasa tidak dihargai secara finansial, sementara penulis indie merasa sulit menembus “panggung utama” literasi nasional. Keduanya sama-sama bekerja keras, sama-sama mencintai dunia menulis, tetapi menghadapi sistem yang belum sepenuhnya adil dan merangkul keberagaman model penerbitan.

Yang menarik, pertarungan ini tidak berlangsung secara terbuka. Tak ada pernyataan permusuhan antar penerbit. Tak ada debat panas di televisi. Tetapi dalam senyap, terjadi saling pandang dan saling ukur. Sebagian penulis indie merasa diremehkan, sementara penulis mayor merasa “dipotong jalur” oleh mereka yang memilih jalur cepat.

Ada penerbit mayor yang masih memandang remeh kualitas karya indie, bahkan enggan menyentuhnya. Ada pula penerbit indie yang mengejar kuantitas terbitan tanpa proses kurasi yang cukup, sehingga menimbulkan kesan “asal terbit”. Hal ini makin memperlebar jurang ketidakpercayaan antara dua kubu.

Sementara itu, pembaca—sebagai pihak yang sesungguhnya paling berhak menentukan nilai sebuah karya—sering kali tidak peduli siapa penerbitnya. Yang mereka cari adalah isi yang menggugah, cerita yang menyentuh, atau pemikiran yang menggugah logika.

Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Alih-alih mempertajam dikotomi, seharusnya dunia penerbitan Indonesia bergerak menuju kolaborasi dan integrasi. Penerbit mayor perlu membuka diri terhadap kreativitas dan dinamika pasar dari dunia indie. Sebaliknya, penerbit indie harus meningkatkan standar kualitas dan profesionalisme agar tidak hanya produktif, tetapi juga bermutu.

Penulis pun perlu lebih reflektif. Menulis tidak harus menjadi pilihan antara idealisme dan komersialisme. Keduanya bisa berjalan seiring, jika diarahkan dengan visi dan strategi yang tepat. Karena dalam dunia literasi yang terus berubah ini, keberhasilan seorang penulis tidak lagi ditentukan oleh satu jalur saja, melainkan oleh sejauh mana ia bisa menjaga integritas, membangun jejaring, dan menyapa pembaca dengan tulus.

Penutup: Dunia Menulis Tak Lagi Hitam-Putih

Dalam era digital dan pasca-pandemi ini, batas antara penerbit mayor dan indie semakin kabur. Banyak penulis besar kini memilih menerbitkan sebagian karyanya secara mandiri. Banyak pula penerbit indie yang berkembang menjadi penerbit profesional dan layak bersaing secara nasional.

Royalti dan reputasi bukanlah dua hal yang saling meniadakan. Seorang penulis bisa memiliki keduanya—jika ia cermat memilih jalan, tekun menjaga kualitas, dan tidak tergoda oleh popularitas semu.

Menulis adalah seni berpikir yang dituangkan dalam bahasa. Royalti bisa habis, reputasi bisa pudar, tapi ide yang lahir dari hati dan disampaikan dengan jujur akan selalu menemukan jalannya. Karena sesungguhnya, buku yang baik tidak tergantung pada siapa yang menerbitkan, tetapi seberapa dalam ia menyentuh dan mengubah pembacanya.

Wallohu a'lam 

Serangga Hidup Berdampingan dengan Manusia



Sering kali kita berpikir bahwa makhluk kecil seperti serangga hanyalah gangguan: mengusik kenyamanan, menyebarkan penyakit, bahkan menimbulkan rasa takut. Padahal, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tak semua serangga adalah hama. Bahkan, banyak serangga justru menjadi sahabat tersembunyi yang memberikan manfaat besar bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Mereka hidup berdampingan dengan manusia, bukan hanya secara fisik, tapi juga fungsional dalam menopang ekosistem¹.

Minggu lalu, kami bersama para mahasiswa pecinta alam Mapalangit Biru dari Kampus STID Al-Biruni Babakan Ciwaringin Cirebon melakukan kegiatan eksploratif dan penelitian kecil-kecilan di sekitar lingkungan kampus. Fokus kami tertuju pada keberadaan dan peran serangga dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hasilnya cukup mengejutkan: kami mendata setidaknya sepuluh jenis serangga yang terbukti memiliki manfaat besar terhadap lingkungan manusia.

Sepuluh Serangga dan Manfaatnya

1. Kumbang Tentara (Soldier Beetle)

Kumbang tentara adalah pemangsa alami hama pertanian seperti kutu daun dan ulat. Selain itu, ia berperan dalam penyerbukan karena tertarik pada bunga².

Manfaat:

Mengurangi penggunaan pestisida kimia

Membantu penyerbukan tanaman

Menjaga ekosistem pertanian alami³

2. Lebah

Lebah adalah penyerbuk utama dalam ekosistem. Sekitar 75% tanaman pangan dunia bergantung pada penyerbukan, dan lebah berperan besar di dalamnya⁴.

Manfaat:

Menghasilkan madu, propolis, royal jelly

Menyerbuki tanaman buah dan sayur

Menjadi indikator kualitas lingkungan

3. Kepik (Ladybug)

Kepik dikenal sebagai predator kutu daun. Dalam satu musim, seekor kepik bisa memangsa ribuan hama⁵.

Manfaat:

Mengurangi hama tanaman

Alternatif alami pengendalian hayati

Tidak berbahaya bagi manusia

4. Lalat Jala Hijau (Green Lacewing)

Serangga ini memiliki larva yang dikenal sebagai “singa kutu daun” karena keganasannya dalam memangsa⁶.

Manfaat:

Mengendalikan kutu daun dan lalat putih

Menjaga hasil panen hortikultura

Menjadi indikator keanekaragaman hayati

5. Lalat Bunga (Syrphid Fly)

Meski mirip lebah, lalat bunga adalah penyerbuk dan pengendali hama pada tahap larvanya.

Manfaat:

Menyerbuki tanaman

Mengurangi kutu daun secara alami

Mempercantik taman

6. Capung

Seekor capung dewasa bisa memangsa 30–100 nyamuk per hari⁷. Nimfanya juga memangsa jentik nyamuk di air.

Manfaat:

Mengendalikan nyamuk (penyebab DBD, malaria)

Indikator kualitas air

Tidak berbahaya bagi manusia

7. Kupu-Kupu

Selain keindahannya, kupu-kupu membantu proses penyerbukan, terutama pada bunga yang berwarna terang⁸.

Manfaat:

Menyerbuki tanaman berbunga

Indikator lingkungan yang sehat

Meningkatkan nilai estetika taman

8. Belalang Sembah (Mantis)

Sebagai predator, belalang sembah memangsa lalat, ulat, hingga jangkrik yang merusak tanaman⁹.

Manfaat:

Mengurangi populasi hama pertanian

Menjaga keseimbangan ekosistem

Tidak merusak tanaman seperti belalang biasa

9. Serangga Bermata Besar (Big-Eyed Bug)

Serangga ini efektif memangsa kutu daun, ulat kecil, dan tungau tanaman, terutama di kebun herbal¹⁰.

Manfaat:

Pengendali hayati serangga kecil

Adaptif dan mudah berkembang biak)

Efektif untuk pertanian organik


10. Tawon

Tawon membantu menyerbuki bunga dan memangsa larva hama tanaman. Beberapa jenisnya bahkan dipelihara untuk biokontrol¹¹.

Manfaat:

Menyerbuki tanaman bunga tertentu

Mengendalikan hama seperti ulat dan larva kumbang

Digunakan dalam bioteknologi pertanian

Kesimpulan: Belajar dari Makhluk Kecil

Dari sepuluh jenis serangga tersebut, kita belajar bahwa alam tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Serangga, yang tampak kecil dan kadang menakutkan, ternyata adalah pekerja ekosistem yang sangat berjasa. Mereka menjaga keseimbangan lingkungan, membantu manusia tanpa pamrih, dan menunjukkan bahwa kehidupan di bumi saling terkait satu sama lain¹².

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Serangga bukan musuh, melainkan mitra. Kita tak bisa hidup sehat di bumi ini jika makhluk-makhluk kecil yang menopang sistem ekologis terusir dari habitatnya. Jangan sembarangan menyemprot racun, jangan musnahkan semak dan bunga liar di pekarangan. Ajak anak-anak mengenal serangga, bukan takut pada mereka. Karena dengan mengenal akan tumbuh rasa cinta, dan dengan cinta kita akan menjaga.

Serangga hidup berdampingan dengan manusia—bukan sebagai hama, tetapi sebagai sahabat.

Wallohu A'lam 

Catatan Kaki / Footnote:

1. Wilson, E. O. The Diversity of Life. Harvard University Press, 1992.

2. Isaacs, Rufus et al. “Role of Soldier Beetles in Pest Management.” Michigan State University Extension, 2019.

3. Capinera, John L. Insects and Wildlife: Arthropods and their Relationships with Wild Vertebrate Animals. Wiley-Blackwell, 2010.

4. Klein, A.M. et al. “Importance of pollinators in changing landscapes for world crops.” Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 2007.

5. Hodek, Ivo and Honěk, Alois. Ecology of Coccinellidae. Springer, 1996.

6. McEwen, P. K., New, T. R., & Whittington, A. E. Lacewings in the Crop Environment. Cambridge University Press, 2001.

7. Corbet, Philip S. Dragonflies: Behavior and Ecology of Odonata. Cornell University Press, 1999.

8. Boggs, Carol L., Watt, Ward B., & Ehrlich, Paul R. Butterflies: Ecology and Evolution Taking Flight. University of Chicago Press, 2003.

9. Prete, Fred R. The Praying Mantids. Johns Hopkins University Press, 1999.

10. Shepard, M., et al. “The Big-Eyed Bug.” Entomology Today, 2018.

11. Quicke, Donald L.J. The Braconid and Ichneumonid Parasitoid Wasps: Biology, Systematics, Evolution and Ecology. Wiley-Blackwell, 2015.

12. Leopold, Aldo. A Sand County Almanac. Oxford University Press, 1949.

Saat Gusdur Keluar dari Istana (Melawan Lupa Pemakzulan Presiden Tak Bersalah)

Catatan penting 23 Juli 2001

Sejarah adalah ruang ingatan yang seharusnya dijaga, bukan dilupakan. Dalam perjalanan bangsa Indonesia yang sarat gejolak reformasi, nama KH. Abdurrahman Wahid — atau yang akrab kita kenal sebagai Gus Dur — hadir sebagai salah satu pemimpin paling kontroversial sekaligus visioner. Ia dikenal tidak hanya sebagai presiden, tetapi juga sebagai guru bangsa, tokoh pluralisme, dan penjaga nurani kebangsaan. Namun, salah satu episode paling menyayat dari kisah hidupnya adalah ketika ia harus meninggalkan Istana Negara 24 tahun yang lalu tepatnya pada 23 Juli 2001 melalui sebuah pemakzulan yang sarat kepentingan politik.

Pemakzulan Gus Dur bukan sekadar pergantian kekuasaan. Ia adalah refleksi dari tarik-menarik antara idealisme dan realitas politik, antara kekuatan moral dan kekuatan formal. Tuduhan dalam kasus Buloggate dan Bruneigate yang disematkan padanya, hingga hari ini tidak pernah terbukti secara hukum. Tak ada keputusan pengadilan yang menyatakan Gus Dur bersalah. Namun, tekanan politik dan kompromi antar-elite dalam parlemen lebih kuat daripada kebenaran itu sendiri. Inilah yang membuat pemakzulan Gus Dur menjadi luka sejarah yang belum benar-benar sembuh.

Gus Dur keluar dari istana dengan senyum dan tangan yang melambai, bukan dengan marah-marah atau drama kekuasaan. Ia tidak melawan dengan kekuatan, tetapi dengan kebesaran jiwa. Ia tidak meminta rakyat turun ke jalan, meski memiliki basis massa yang luas dan militan. Di saat banyak orang berpikir untuk membalas atau mempertahankan jabatan, Gus Dur justru menunjukkan bahwa kekuasaan bukan segala-galanya. Demokrasi jauh lebih penting daripada ego pribadi.

Gusdur keluar dari istana justru memperlihatkan siapa dirinya yang sejati: negarawan yang lebih mencintai bangsa dan rakyat daripada kekuasaan. Bahkan dalam pengasingannya dari pusat kekuasaan, Gus Dur terus menjadi suara nurani bagi rakyat kecil, minoritas, dan mereka yang terpinggirkan. Ia memperjuangkan hak-hak Tionghoa, membela Ahmadiyah, merangkul semua golongan, dan menolak radikalisme. Gus Dur membayar harga yang mahal karena idealismenya — termasuk harga yang harus dibayar dengan lengsernya ia dari kursi presiden.

Sayangnya, bangsa ini mudah sekali melupakan. Kita terlalu sering dibutakan oleh retorika tanpa jejak sejarah yang utuh. Banyak generasi muda hari ini yang tidak tahu bahwa Gus Dur adalah presiden yang dipaksa turun di tengah jalan meski tanpa bukti kesalahan yang kuat. Mereka mengenalnya sebagai tokoh humoris, tetapi tidak mengenalnya sebagai pahlawan demokrasi yang berani menantang arus.

Narasi tentang pemakzulan Gus Dur harus terus diangkat. Bukan untuk membuka luka lama, melainkan untuk menjadi pengingat kolektif bahwa demokrasi bisa rapuh jika tidak dijaga oleh etika, akal sehat, dan nilai moral. Kita perlu melawan lupa — bukan demi Gus Dur semata, tetapi demi bangsa ini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Melupakan ketidakadilan adalah mengundang ketidakadilan berikutnya.

Kini, lebih dari dua dekade setelah kejatuhannya dari kursi presiden, Gus Dur justru dikenang lebih agung daripada banyak pemimpin lain yang pernah memegang kekuasaan lebih lama. Ia menang dalam sejarah meskipun kalah dalam kontestasi kekuasaan. Ia dicintai rakyat justru setelah tidak lagi berkuasa. Itulah ironinya: tokoh yang disingkirkan karena dianggap mengganggu tatanan elit, kini dikenang sebagai penjaga moral bangsa.

Tulisan ini hadir sebagai salah satu upaya sederhana untuk menjaga ingatan itu. Ia adalah dokumentasi nurani, sejumput perlawanan terhadap pelupaan kolektif bangsa yang terlalu sering disibukkan oleh isu-isu remeh dan melupakan akar sejarahnya. Kita harus terus menulis, membaca, dan mengingat — bahwa pernah ada seorang presiden bernama Gus Dur yang dimakzulkan tanpa bukti kesalahan, tetapi yang justru meninggalkan jejak kejujuran, keberanian, dan cinta tanah air yang tak tergantikan.

Gus Dur telah tiada. Tapi suaranya masih menggema. Ia mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak selalu menang di hadapan kekuasaan, tetapi ia selalu punya tempat di hati rakyat. Dan selama kita terus melawan lupa, Gus Dur tidak akan pernah benar-benar keluar dari istana. Ia tinggal di ruang paling luhur dari republik ini: hati nurani rakyat.

Wallohu a'lam

Jangan Biarkan Anak Tumbuh Sendiri



Refleksi Menyambut Hari Anak Nasional 2025

Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah pengingat moral bagi kita semua: bahwa di balik tawa anak-anak Indonesia, ada tanggung jawab besar yang menanti. Bahwa masa depan bangsa ini sedang bertumbuh—di rumah, di sekolah, di pesantren, di pelukan ibu, di pundak ayah, dan di tengah riuhnya zaman digital yang terus bergerak tanpa menunggu kedewasaan mereka.

Tahun 2025 ini, peringatan Hari Anak Nasional hadir dalam suasana yang semakin kompleks. Dunia semakin canggih, tetapi tantangan membesarkan anak justru semakin pelik. Di tengah segala kemajuan teknologi, kemudahan informasi, dan mobilitas sosial, ada satu hal yang sering terabaikan: kedekatan emosional dan pendampingan mendalam terhadap anak.

Tumbuh Itu Tak Sama dengan Dibesarkan

Kita terlalu sering mengira bahwa selama anak diberi makan, diberi sekolah, dan dibelikan gawai, maka kewajiban kita sebagai orang tua atau pendidik telah tuntas. Padahal, tumbuh itu tak sama dengan dibesarkan. Banyak anak yang secara fisik tumbuh dengan baik, tapi secara emosional keropos. Banyak anak yang lulus dengan nilai bagus, tapi rapuh dalam mengambil keputusan hidup. Banyak pula yang terampil dengan teknologi, tapi tak mengenal nilai-nilai adab, akhlak, dan empati.

Anak-anak tidak cukup hanya diberi kurikulum. Mereka butuh cinta, pelukan, dan keteladanan. Mereka butuh diajari bagaimana mengelola emosi, bagaimana memperlakukan orang lain, bagaimana menyikapi kegagalan, dan bagaimana mengenali potensi dirinya sendiri.

Anak yang dibesarkan hanya dengan perintah tanpa pelukan, akan tumbuh dalam ketakutan. Anak yang selalu dibandingkan, akan kehilangan harga dirinya. Anak yang terlalu sering ditinggal, akan belajar bahwa dirinya tidak penting. Dan anak yang tumbuh sendiri, akan mencari ‘keluarga’ di tempat yang mungkin salah.

Orang Tua dan Guru: Garda Terdepan Pembentuk Peradaban

Jika ingin melihat wajah Indonesia 20 tahun ke depan, lihatlah bagaimana cara kita memperlakukan anak-anak hari ini. Mereka adalah cermin masa depan. Maka mendidik anak bukan hanya tugas rumah tangga, melainkan proyek peradaban.

Sekolah memang tempat belajar, tetapi rumah adalah madrasah pertama. Guru adalah teladan, tapi orang tua adalah contoh utama. Tidak bisa keduanya saling melempar tanggung jawab. Sinergi antara rumah, sekolah, dan lingkungan sosial harus berjalan harmonis.

Kita tidak bisa menyerahkan semuanya kepada guru di sekolah, apalagi berharap pada layar gawai. Keluarga tetap fondasi utama. Di sanalah anak pertama kali mengenal kasih sayang, mengenal batasan, mengenal tanggung jawab, dan mengenal siapa dirinya. Maka orang tua tak cukup hanya hadir secara fisik, tetapi harus hadir secara batin—menemani, mendengarkan, mengarahkan, dan memberi ruang untuk anak menjadi dirinya sendiri.

Anak Mandiri Bukan Hasil Instan

Dalam setiap anak, ada potensi besar yang jika didampingi dengan cinta dan disiplin akan menjadi kekuatan luar biasa. Tapi, kemandirian tidak lahir dari keterpaksaan. Ia lahir dari kepercayaan dan proses belajar. Maka, sejak dini, anak perlu diajak berdiskusi, dilibatkan dalam pengambilan keputusan kecil, dan diajarkan untuk bertanggung jawab atas tindakannya.

Mengajarkan anak membereskan mainan sendiri, mencuci piring bekas makannya, menabung dari uang jajannya, atau mengelola emosi saat kecewa—itu semua adalah latihan hidup yang jauh lebih penting daripada sekadar nilai ujian. Anak-anak yang terbiasa dilayani tidak akan mampu melayani. Mereka yang terbiasa disiapkan segalanya akan kesulitan saat harus berdiri di atas kakinya sendiri.

Hari Anak Nasional 2025 harus menjadi titik balik—bukan hanya untuk merayakan anak, tapi untuk mengoreksi cara kita membesarkan mereka. Jangan biarkan anak tumbuh sendiri, karena anak-anak yang dibesarkan tanpa kehangatan akan mencari kehangatan itu di tempat yang salah. Anak-anak yang dibiarkan menavigasi dunia sendirian, akan mudah tersesat oleh arus budaya instan, hedonistik, dan individualistik.

Menjaga Amanah Langit

Anak adalah titipan Tuhan, bukan milik kita seutuhnya. Mereka hadir bukan untuk memuaskan ambisi orang tua, tetapi untuk kita arahkan agar menjadi versi terbaik dari dirinya. Mendidik anak adalah menjaga amanah langit—ia perlu ilmu, cinta, waktu, dan teladan.

Maka mari kita sambut Hari Anak Nasional 2025 ini bukan hanya dengan ucapan dan baliho bertuliskan “Selamat Hari Anak,” tapi dengan langkah nyata: hadir sepenuh hati dalam kehidupan anak-anak kita. Dampingi mereka, dengarkan mereka, percayai mereka, dan tuntun mereka untuk menjadi manusia yang mandiri, berakhlak mulia, dan berdaya.

Jangan biarkan mereka tumbuh sendiri. Sebab masa depan mereka adalah tanggung jawab kita hari ini.

Wallohu a'lam 

Sekolah Swasta Kelimpungan (Dampak Regulasi Yang Kurang Bijak)



Pendidikan adalah pondasi bangsa. Di atasnya berdiri masa depan generasi muda, dan dengan itu pula berdiri harapan akan peradaban yang lebih baik. Namun, di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur pendidikan, sebuah kenyataan getir sedang terjadi: sekolah swasta kecil dan menengah di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Jawa Barat, tengah sekarat. Bahkan tak sedikit yang hanya menerima satu siswa baru, dan sisanya terancam gulung tikar. Ini bukan sekadar cerita pinggiran. Ini adalah krisis nasional yang perlu kita sadari dan sikapi secara kolektif.

Satu Siswa, Satu Sekolah, dan Ancaman Penutupan

Mungkin terasa ironis dan memilukan—di satu sisi kita membicarakan digitalisasi pendidikan dan Merdeka Belajar, di sisi lain ada sekolah yang hanya mampu menerima satu siswa karena pendaftar nyaris tak ada. Ini terjadi di banyak sekolah swasta, terutama yang tidak berada di bawah naungan yayasan besar atau lembaga ternama. Sekolah yang dikelola oleh guru-guru idealis, dengan semangat pengabdian, kini berada di ujung tanduk.

Bukan karena mereka tidak berkualitas. Bukan pula karena mereka tidak inovatif. Tapi karena sistem—dan beberapa kebijakan—membuat mereka tersingkir secara perlahan.

Kebijakan Kuota 50 Siswa per Kelas: Siapa yang Diuntungkan?

Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat KDM, yang menetapkan jumlah siswa di sekolah negeri mencapai 50 orang per kelas. Tujuannya mungkin baik: memberi ruang lebih luas bagi masyarakat agar bisa mengakses pendidikan negeri. Tapi dalam praktiknya, ini menciptakan ketimpangan serius.

Dengan menampung lebih banyak siswa, sekolah negeri mendominasi pendaftaran, bahkan lebih dari kapasitas ideal. Imbasnya? Sekolah swasta tidak kebagian murid. Orang tua lebih memilih sekolah negeri yang murah bahkan gratis, tanpa mempertimbangkan kelebihan sekolah swasta dari sisi pendekatan personal, lingkungan belajar yang lebih tenang, serta kedekatan dengan komunitas yang kondusif.

Bayangkan saja, jika satu SMA negeri di salah satu daerah bisa menerima lebih dari 500 siswa baru hanya dalam satu angkatan, maka secara otomatis ratusan calon siswa yang biasa tersebar di sekolah swasta akan tersedot ke sana. Kebijakan ini membuat sekolah swasta kelimpungan, kehilangan pangsa, dan kehilangan harapan.

Di Mana Peran Negara?

Pendidikan bukan hanya soal jumlah dan kuantitas. Ia adalah soal kualitas, keberlanjutan, dan keadilan. Sayangnya, perhatian pemerintah masih terlalu berat sebelah. Dana BOS lebih besar dialokasikan untuk sekolah negeri, sementara sekolah swasta harus berjuang dengan dana minim dan beban operasional tinggi.

Belum lagi peraturan yang cenderung tidak berpihak. Alih-alih mendistribusikan murid secara merata melalui sistem zonasi ganda (negeri dan swasta), kebijakan saat ini justru membuat sekolah negeri menjadi magnet besar, tanpa memperhitungkan kapasitas pengelolaan yang ideal. Di sisi lain, sekolah swasta yang telah puluhan tahun berdiri melayani masyarakat, perlahan tenggelam dan ditinggalkan.

Apakah ini adil? Apakah negara bisa berpangku tangan ketika lembaga pendidikan non-pemerintah yang sah dan terakreditasi mulai bertumbangan?

Solusi: Bukan Menyalahkan, Tapi Menyelaraskan

Yang dibutuhkan bukanlah saling menyalahkan, tapi menyelaraskan peran antara negara dan lembaga pendidikan swasta. Pemerintah provinsi seperti Jawa Barat perlu meninjau kembali regulasi kuota kelas besar yang merugikan ekosistem pendidikan secara keseluruhan. Jika sekolah negeri terus diperbesar tanpa batas, maka yang terjadi adalah kanibalisasi murid, di mana sekolah swasta tidak punya ruang bertahan.

Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:

1. Menurunkan kembali kuota per kelas di sekolah negeri ke angka ideal (30–36 siswa), sesuai standar mutu pendidikan dan efektivitas pengajaran.

2. Menerapkan zonasi ganda dan afirmatif, di mana siswa diarahkan ke sekolah swasta mitra pemerintah jika daya tampung sekolah negeri terpenuhi.

3. Menyalurkan bantuan operasional yang adil dan proporsional ke sekolah swasta, terutama yang sudah memiliki izin dan akreditasi baik.

4. Membangun kolaborasi strategis antara dinas pendidikan dengan sekolah swasta, seperti pelatihan guru, pengadaan fasilitas bersama, atau pengangkatan guru swasta sebagai PPPK.

5. Sosialisasi publik oleh pemerintah bahwa sekolah swasta bukan "opsi darurat", tapi mitra pendidikan yang sah dan penting.

Masyarakat Juga Punya Peran

Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga perlu membuka mata. Sekolah swasta, dengan segala keterbatasannya, kerap menjadi tempat lahirnya karakter, bukan sekadar pencapaian akademik. Mereka lebih fleksibel dalam kurikulum, lebih dekat dengan murid, dan seringkali lebih responsif terhadap kondisi sosial sekitar.

Orang tua perlu diberi pemahaman bahwa pendidikan yang baik tidak selalu identik dengan fasilitas megah atau status negeri. Sekolah swasta juga berjuang, bahkan lebih keras, agar anak-anak bangsa tetap mendapatkan hak yang sama untuk belajar, berkembang, dan bermimpi.

Akhirnya, Ini Soal Masa Depan

Jika kita membiarkan sekolah swasta tutup satu per satu, maka kita sedang menggali lubang ketimpangan pendidikan yang lebih dalam. Negara kehilangan mitra strategis. Masyarakat kehilangan pilihan. Dan anak-anak kita kehilangan keberagaman pengalaman belajar.

Mari jadikan isu ini sebagai perhatian bersama. Revisi kebijakan yang merugikan, hadirkan afirmasi yang adil, dan kembalikan ruh gotong royong dalam dunia pendidikan. Karena menyelamatkan sekolah swasta, sama dengan menjaga pluralisme pendidikan dan memperkuat fondasi masa depan Indonesia.

Wallohu a'lam 

Dosenku Suamiku: Kisah Cinta di Kampus Al-Biruni


Kebetulan pagi itu, mentari begitu cerah menyambut kedatangan para mahasiswa, di depan gerbang Kampus STID Al-Biruni. Dr. Arya Pratama, dosen Manajemen Dakwah dan Psikologi Dakwah yang dikenal intelek dan produktif, dengan segudang karya buku keislaman, sosial, budaya, sastra, dan novel-novelnya, datang mengayuh sepeda kesayangannya. 

Namun, tepat di tikungan jalan menuju gerbang kampus, sebuah lubang kecil membuatnya oleng dan… bruk! Sepedanya terjatuh, buku-buku serta berkas-berkas pentingnya berserakan di aspal.

Di saat Arya meringis kesakitan sambil berusaha mengumpulkan buku-buku yang berantakan, seorang mahasiswi cantik berhijab, dengan mata bulat yang memancarkan cahaya, bergegas menghampirinya. Dialah Naila, mahasiswi Komunikasi Penyiaran Dakwah (KPI) semester akhir yang tak pernah absen dari kuliah-kuliah pak Arya dan telah lama diam-diam mengaguminya.

"Bapak tidak apa-apa?" 

tanya Naila khawatir sambil membantu memungut buku-buku.

Tangan mereka sempat bersentuhan saat meraih sebuah novel karya Arya sendiri. Ada sengatan kecil yang tak bisa dijelaskan, sebuah percikan yang terasa singkat namun membekas. Pandangan pertama itu, di tengah berserakan buku dan debu jalanan, menjadi awal dari sebuah kisah yang tak terduga.

Sejak insiden itu, interaksi antara pak Arya dan Naila menjadi lebih intens. Naila semakin bersemangat mengikuti kuliah pak Arya, selalu mengajukan pertanyaan cerdas, dan terlibat dalam diskusi yang mendalam. Arya pun sebagai dosen muda tak bisa memungkiri bahwa ia terkesan dengan pemikiran dan semangat Naila. Kedekatan mereka mulai menimbulkan bibit-bibit cinta yang diam-diam tumbuh di hati keduanya.

Datangnya Cemburu Buta

Namun, kebahagiaan mereka terusik dengan kehadiran Melati, seorang mahasiswi dari jurusan lain yang juga menaruh hati pada pak Arya. Namanya Melati, dia tak kalah cantik dengan Naila dan berusaha menarik perhatian sang dosen dengan berbagai cara. Ia seringkali mencari alasan untuk bertemu Arya, bahkan terang-terangan menunjukkan kekagumannya. 

Kehadiran Melati ini sontak membuat Naila merasakan cemburu yang amat sangat. Hatinya bergejolak setiap kali melihat Melati mendekati Arya, atau saat mendengar Melati membicarakan Arya dengan nada posesif.

Persaingan tak terhindarkan. Suatu siang, di lorong kampus, terjadi konfrontasi sengit antara Naila dan Melati. Kata-kata tajam terlontar, tuduhan demi tuduhan mewarnai suasana. Kesalahpahaman memuncak hingga nyaris terjadi adu fisik. Untungnya, Bu Dosen Nurul, seorang dosen senior yang bijaksana, segera melerai keributan tersebut. Ia menasihati kedua mahasiswinya tentang pentingnya menjaga etika dan menghormati satu sama lain.

Badai gosip di kampus semakin kencang. 

Hubungan Arya dan Naila menjadi buah bibir, bahkan sampai ke telinga petinggi kampus. Akibatnya, Naila harus menghadapi konsekuensi yang berat. Predikat Cumlaude  yang sudah di depan mata sempat ditangguhkan. Pihak kampus melakukan investigasi internal, dan Naila harus berjuang keras membuktikan bahwa kedekatannya dengan Arya murni didasari oleh diskusi akademik dan bukan penyalahgunaan wewenang. Naila merasa terpukul, namun Arya tak tinggal diam. Ia membela Naila, menjelaskan situasi sebenarnya, dan menegaskan bahwa Naila adalah mahasiswi berprestasi murni karena kemampuannya.

Di tengah tekanan kampus dan bisikan-bisikan sinis, Arya menunjukkan ketegasannya. Ia tidak menyangkal kedekatannya dengan Naila, namun ia juga tidak memberikan harapan palsu. Ia menghargai Naila sebagai individu yang cerdas dan berpotensi. 

Sementara itu, Naila terus menunjukkan kualitas dirinya. Ia membuktikan bahwa prestasinya di akademik bukan semata-mata karena kedekatannya dengan dosen, melainkan hasil kerja keras dan pemikirannya yang tajam, yang semakin mengukuhkan posisinya sebagai mahasiswi berprestasi di STID Al-Biruni.

Mengukir Takdir Cinta

Suatu malam, setelah acara diskusi di kampus, Arya mengajak Naila ke sebuah kedai kopi sederhana di dekat Kampus STID Al-Biruni. Di bawah rembulan yang bersinar samar, Arya menatap Naila dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya. 

"Naila," ucapnya pelan, 

"kamu adalah mahasiswi yang luar biasa. Pemikiranmu, semangatmu, membuat saya terinspirasi. Tapi, hubungan kita..."

Naila menahan napas, menunggu kelanjutan kalimat Arya.

"...telah melampaui batas antara dosen dan mahasiswa. Saya menyadari, saya tidak bisa lagi menyangkal perasaan ini."

Pengakuan Arya bagai oase di tengah gurun pasir. Naila merasakan kebahagiaan yang meluap-luap. Namun, ia juga sadar, perjuangan mereka baru saja dimulai. Mereka harus menghadapi berbagai rintangan, membuktikan bahwa cinta mereka bukan sekadar hubungan yang tidak pantas, tetapi didasari oleh kesamaan visi, intelektualitas, dan rasa saling menghargai yang mendalam.

Perjalanan cinta Arya dan Naila menghadapi persaingan di kampus. 

Ketika Arya memberanikan diri mengenalkan Naila kepada keluarganya, sambutan yang diterimanya jauh dari harapan. Orang tua Arya memiliki pandangan konservatif dan meragukan keseriusan hubungan putranya dengan seorang mahasiswi yang jauh lebih muda. Mereka khawatir dengan perbedaan latar belakang dan masa depan Arya sebagai seorang pendidik dan penulis.

Naila merasa terpukul, namun Arya tak menyerah. Dengan kesabaran dan ketulusan, mereka berdua berusaha meyakinkan kedua orang tua Arya. Naila menunjukkan kecerdasannya, sopan santunnya, dan cintanya yang tulus kepada Arya. 

Arya pun dengan penuh keyakinan menjelaskan bahwa Naila bukan hanya sekadar mahasiswinya, tetapi juga seorang wanita yang menginspirasinya dan memiliki visi yang sama dengannya.

Setelah melalui berbagai ujian dan rintangan, termasuk penangguhan predikat cumlaude Naila dan restu keluarga Arya yang sulit didapat, akhirnya hati kedua orang tua Arya luluh. 

Mereka melihat ketulusan cinta di mata Arya dan Naila, serta potensi besar yang dimiliki Naila. Restu pun diberikan. Arya dan Naila akhirnya mengikat janji suci pernikahan. Cinta yang bersemi di depan gerbang STID Al-Biruni itu, yang diawali dengan sepeda terjatuh dan pandangan pertama yang tak terlupakan, kini berlabuh dalam kebahagiaan abadi. 

Mereka terus berkarya dan menginspirasi, dengan cinta sebagai nahkoda dalam mengarungi kehidupan rumah tangga dan karir mereka di dunia dakwah dan literasi.