Menulis Demi Royalti atau Reputasi


Dunia penerbitan di Indonesia, dalam satu dekade terakhir, mengalami dinamika yang kian kompleks. Jika sebelumnya jalur utama seorang penulis untuk menerbitkan karya hanyalah melalui penerbit besar (mayor), kini muncul alternatif yang tak bisa diabaikan: penerbit indie dan self-publishing. Fenomena ini tidak hanya memperluas peluang bagi para penulis, tetapi juga memicu perdebatan hangat tentang motivasi utama dalam menulis: apakah demi royalti atau demi reputasi?

Penerbit mayor selama ini dianggap sebagai jalan utama untuk mencapai “pengakuan.” Nama besar penerbit menjadi jaminan kualitas—dalam penyuntingan, desain, distribusi, hingga positioning buku di mata pasar. Tak heran jika banyak penulis, terutama pemula, mendambakan karya mereka dilirik oleh penerbit-penerbit besar. Apalagi jika berhasil menembus rak toko buku nasional, mendapatkan liputan media, dan hadir di festival sastra atau diskusi buku.

Namun di balik gemerlap itu, ada kenyataan yang tak bisa ditutupi. Proses seleksi yang panjang, ketat, dan kerap tidak transparan membuat banyak naskah tersisih, bukan karena buruk, tetapi karena dianggap “tidak menjual”. Penulis harus bersabar berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hanya untuk mendapatkan satu surat balasan. Jika pun diterima, royalti yang diterima hanya berkisar 10-15% dari harga jual buku—angka yang jauh dari sepadan jika dihitung dari waktu, riset, dan tenaga yang dicurahkan penulis. Sementara itu, pihak penerbit dan distributor mendapat porsi yang lebih besar dari penjualan.

Di sinilah penerbit indie tampil menggoda. Dengan sistem terbuka dan fleksibel, penulis bisa menerbitkan karya mereka secara mandiri, mengatur isi, desain, bahkan harga jual. Royalti bisa mencapai 100% jika buku dijual langsung oleh penulis. Proses terbit pun lebih cepat, hanya beberapa minggu atau bulan. Model ini menawarkan otonomi penuh bagi penulis—terutama bagi mereka yang memiliki komunitas pembaca sendiri atau kemampuan memasarkan karyanya di media sosial. Namun, tantangannya juga nyata: tidak semua orang mampu menjadi penulis sekaligus editor, desainer, dan pemasar dalam satu waktu. Ditambah lagi, stigma “indie kurang bergengsi” masih melekat di sebagian kalangan, terutama dalam dunia akademik atau lembaga formal.

Royalti vs Reputasi: Dilema Seorang Penulis

Perdebatan antara dua kutub ini sejatinya menggambarkan konflik batin yang lebih dalam: apa tujuan utama seorang penulis berkarya? Apakah ingin dikenal luas dan dihormati sebagai intelektual publik, ataukah ingin mandiri secara finansial melalui penjualan buku? Tentu, tak ada jawaban tunggal yang berlaku bagi semua.

Sebagian penulis menganggap royalti hanyalah bonus. Mereka menulis karena panggilan jiwa, demi menyampaikan ide, memperjuangkan nilai, atau meninggalkan warisan pemikiran. Kalangan ini cenderung mencari penerbit mayor karena mempertimbangkan aspek kredibilitas, pengaruh, dan posisi tawar dalam jaringan keilmuan atau sosial. Di sisi lain, muncul penulis-penulis muda yang menjadikan kepenulisan sebagai sumber penghasilan utama. Mereka sadar akan potensi pasar digital, pemasaran daring, dan pentingnya memiliki kontrol penuh terhadap karya dan pendapatan mereka. Bagi mereka, menulis adalah profesi, bukan sekadar ekspresi.

Namun sering kali, dua jalan ini bersilangan. Penulis mayor merasa tidak dihargai secara finansial, sementara penulis indie merasa sulit menembus “panggung utama” literasi nasional. Keduanya sama-sama bekerja keras, sama-sama mencintai dunia menulis, tetapi menghadapi sistem yang belum sepenuhnya adil dan merangkul keberagaman model penerbitan.

Yang menarik, pertarungan ini tidak berlangsung secara terbuka. Tak ada pernyataan permusuhan antar penerbit. Tak ada debat panas di televisi. Tetapi dalam senyap, terjadi saling pandang dan saling ukur. Sebagian penulis indie merasa diremehkan, sementara penulis mayor merasa “dipotong jalur” oleh mereka yang memilih jalur cepat.

Ada penerbit mayor yang masih memandang remeh kualitas karya indie, bahkan enggan menyentuhnya. Ada pula penerbit indie yang mengejar kuantitas terbitan tanpa proses kurasi yang cukup, sehingga menimbulkan kesan “asal terbit”. Hal ini makin memperlebar jurang ketidakpercayaan antara dua kubu.

Sementara itu, pembaca—sebagai pihak yang sesungguhnya paling berhak menentukan nilai sebuah karya—sering kali tidak peduli siapa penerbitnya. Yang mereka cari adalah isi yang menggugah, cerita yang menyentuh, atau pemikiran yang menggugah logika.

Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Alih-alih mempertajam dikotomi, seharusnya dunia penerbitan Indonesia bergerak menuju kolaborasi dan integrasi. Penerbit mayor perlu membuka diri terhadap kreativitas dan dinamika pasar dari dunia indie. Sebaliknya, penerbit indie harus meningkatkan standar kualitas dan profesionalisme agar tidak hanya produktif, tetapi juga bermutu.

Penulis pun perlu lebih reflektif. Menulis tidak harus menjadi pilihan antara idealisme dan komersialisme. Keduanya bisa berjalan seiring, jika diarahkan dengan visi dan strategi yang tepat. Karena dalam dunia literasi yang terus berubah ini, keberhasilan seorang penulis tidak lagi ditentukan oleh satu jalur saja, melainkan oleh sejauh mana ia bisa menjaga integritas, membangun jejaring, dan menyapa pembaca dengan tulus.

Penutup: Dunia Menulis Tak Lagi Hitam-Putih

Dalam era digital dan pasca-pandemi ini, batas antara penerbit mayor dan indie semakin kabur. Banyak penulis besar kini memilih menerbitkan sebagian karyanya secara mandiri. Banyak pula penerbit indie yang berkembang menjadi penerbit profesional dan layak bersaing secara nasional.

Royalti dan reputasi bukanlah dua hal yang saling meniadakan. Seorang penulis bisa memiliki keduanya—jika ia cermat memilih jalan, tekun menjaga kualitas, dan tidak tergoda oleh popularitas semu.

Menulis adalah seni berpikir yang dituangkan dalam bahasa. Royalti bisa habis, reputasi bisa pudar, tapi ide yang lahir dari hati dan disampaikan dengan jujur akan selalu menemukan jalannya. Karena sesungguhnya, buku yang baik tidak tergantung pada siapa yang menerbitkan, tetapi seberapa dalam ia menyentuh dan mengubah pembacanya.

Wallohu a'lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar