Saat Gusdur Keluar dari Istana (Melawan Lupa Pemakzulan Presiden Tak Bersalah)

Catatan penting 23 Juli 2001

Sejarah adalah ruang ingatan yang seharusnya dijaga, bukan dilupakan. Dalam perjalanan bangsa Indonesia yang sarat gejolak reformasi, nama KH. Abdurrahman Wahid — atau yang akrab kita kenal sebagai Gus Dur — hadir sebagai salah satu pemimpin paling kontroversial sekaligus visioner. Ia dikenal tidak hanya sebagai presiden, tetapi juga sebagai guru bangsa, tokoh pluralisme, dan penjaga nurani kebangsaan. Namun, salah satu episode paling menyayat dari kisah hidupnya adalah ketika ia harus meninggalkan Istana Negara 24 tahun yang lalu tepatnya pada 23 Juli 2001 melalui sebuah pemakzulan yang sarat kepentingan politik.

Pemakzulan Gus Dur bukan sekadar pergantian kekuasaan. Ia adalah refleksi dari tarik-menarik antara idealisme dan realitas politik, antara kekuatan moral dan kekuatan formal. Tuduhan dalam kasus Buloggate dan Bruneigate yang disematkan padanya, hingga hari ini tidak pernah terbukti secara hukum. Tak ada keputusan pengadilan yang menyatakan Gus Dur bersalah. Namun, tekanan politik dan kompromi antar-elite dalam parlemen lebih kuat daripada kebenaran itu sendiri. Inilah yang membuat pemakzulan Gus Dur menjadi luka sejarah yang belum benar-benar sembuh.

Gus Dur keluar dari istana dengan senyum dan tangan yang melambai, bukan dengan marah-marah atau drama kekuasaan. Ia tidak melawan dengan kekuatan, tetapi dengan kebesaran jiwa. Ia tidak meminta rakyat turun ke jalan, meski memiliki basis massa yang luas dan militan. Di saat banyak orang berpikir untuk membalas atau mempertahankan jabatan, Gus Dur justru menunjukkan bahwa kekuasaan bukan segala-galanya. Demokrasi jauh lebih penting daripada ego pribadi.

Gusdur keluar dari istana justru memperlihatkan siapa dirinya yang sejati: negarawan yang lebih mencintai bangsa dan rakyat daripada kekuasaan. Bahkan dalam pengasingannya dari pusat kekuasaan, Gus Dur terus menjadi suara nurani bagi rakyat kecil, minoritas, dan mereka yang terpinggirkan. Ia memperjuangkan hak-hak Tionghoa, membela Ahmadiyah, merangkul semua golongan, dan menolak radikalisme. Gus Dur membayar harga yang mahal karena idealismenya — termasuk harga yang harus dibayar dengan lengsernya ia dari kursi presiden.

Sayangnya, bangsa ini mudah sekali melupakan. Kita terlalu sering dibutakan oleh retorika tanpa jejak sejarah yang utuh. Banyak generasi muda hari ini yang tidak tahu bahwa Gus Dur adalah presiden yang dipaksa turun di tengah jalan meski tanpa bukti kesalahan yang kuat. Mereka mengenalnya sebagai tokoh humoris, tetapi tidak mengenalnya sebagai pahlawan demokrasi yang berani menantang arus.

Narasi tentang pemakzulan Gus Dur harus terus diangkat. Bukan untuk membuka luka lama, melainkan untuk menjadi pengingat kolektif bahwa demokrasi bisa rapuh jika tidak dijaga oleh etika, akal sehat, dan nilai moral. Kita perlu melawan lupa — bukan demi Gus Dur semata, tetapi demi bangsa ini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Melupakan ketidakadilan adalah mengundang ketidakadilan berikutnya.

Kini, lebih dari dua dekade setelah kejatuhannya dari kursi presiden, Gus Dur justru dikenang lebih agung daripada banyak pemimpin lain yang pernah memegang kekuasaan lebih lama. Ia menang dalam sejarah meskipun kalah dalam kontestasi kekuasaan. Ia dicintai rakyat justru setelah tidak lagi berkuasa. Itulah ironinya: tokoh yang disingkirkan karena dianggap mengganggu tatanan elit, kini dikenang sebagai penjaga moral bangsa.

Tulisan ini hadir sebagai salah satu upaya sederhana untuk menjaga ingatan itu. Ia adalah dokumentasi nurani, sejumput perlawanan terhadap pelupaan kolektif bangsa yang terlalu sering disibukkan oleh isu-isu remeh dan melupakan akar sejarahnya. Kita harus terus menulis, membaca, dan mengingat — bahwa pernah ada seorang presiden bernama Gus Dur yang dimakzulkan tanpa bukti kesalahan, tetapi yang justru meninggalkan jejak kejujuran, keberanian, dan cinta tanah air yang tak tergantikan.

Gus Dur telah tiada. Tapi suaranya masih menggema. Ia mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak selalu menang di hadapan kekuasaan, tetapi ia selalu punya tempat di hati rakyat. Dan selama kita terus melawan lupa, Gus Dur tidak akan pernah benar-benar keluar dari istana. Ia tinggal di ruang paling luhur dari republik ini: hati nurani rakyat.

Wallohu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar