Refleksi Menyambut Hari Anak Nasional 2025
Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah pengingat moral bagi kita semua: bahwa di balik tawa anak-anak Indonesia, ada tanggung jawab besar yang menanti. Bahwa masa depan bangsa ini sedang bertumbuh—di rumah, di sekolah, di pesantren, di pelukan ibu, di pundak ayah, dan di tengah riuhnya zaman digital yang terus bergerak tanpa menunggu kedewasaan mereka.
Tahun 2025 ini, peringatan Hari Anak Nasional hadir dalam suasana yang semakin kompleks. Dunia semakin canggih, tetapi tantangan membesarkan anak justru semakin pelik. Di tengah segala kemajuan teknologi, kemudahan informasi, dan mobilitas sosial, ada satu hal yang sering terabaikan: kedekatan emosional dan pendampingan mendalam terhadap anak.
Tumbuh Itu Tak Sama dengan Dibesarkan
Kita terlalu sering mengira bahwa selama anak diberi makan, diberi sekolah, dan dibelikan gawai, maka kewajiban kita sebagai orang tua atau pendidik telah tuntas. Padahal, tumbuh itu tak sama dengan dibesarkan. Banyak anak yang secara fisik tumbuh dengan baik, tapi secara emosional keropos. Banyak anak yang lulus dengan nilai bagus, tapi rapuh dalam mengambil keputusan hidup. Banyak pula yang terampil dengan teknologi, tapi tak mengenal nilai-nilai adab, akhlak, dan empati.
Anak-anak tidak cukup hanya diberi kurikulum. Mereka butuh cinta, pelukan, dan keteladanan. Mereka butuh diajari bagaimana mengelola emosi, bagaimana memperlakukan orang lain, bagaimana menyikapi kegagalan, dan bagaimana mengenali potensi dirinya sendiri.
Anak yang dibesarkan hanya dengan perintah tanpa pelukan, akan tumbuh dalam ketakutan. Anak yang selalu dibandingkan, akan kehilangan harga dirinya. Anak yang terlalu sering ditinggal, akan belajar bahwa dirinya tidak penting. Dan anak yang tumbuh sendiri, akan mencari ‘keluarga’ di tempat yang mungkin salah.
Orang Tua dan Guru: Garda Terdepan Pembentuk Peradaban
Jika ingin melihat wajah Indonesia 20 tahun ke depan, lihatlah bagaimana cara kita memperlakukan anak-anak hari ini. Mereka adalah cermin masa depan. Maka mendidik anak bukan hanya tugas rumah tangga, melainkan proyek peradaban.
Sekolah memang tempat belajar, tetapi rumah adalah madrasah pertama. Guru adalah teladan, tapi orang tua adalah contoh utama. Tidak bisa keduanya saling melempar tanggung jawab. Sinergi antara rumah, sekolah, dan lingkungan sosial harus berjalan harmonis.
Kita tidak bisa menyerahkan semuanya kepada guru di sekolah, apalagi berharap pada layar gawai. Keluarga tetap fondasi utama. Di sanalah anak pertama kali mengenal kasih sayang, mengenal batasan, mengenal tanggung jawab, dan mengenal siapa dirinya. Maka orang tua tak cukup hanya hadir secara fisik, tetapi harus hadir secara batin—menemani, mendengarkan, mengarahkan, dan memberi ruang untuk anak menjadi dirinya sendiri.
Anak Mandiri Bukan Hasil Instan
Dalam setiap anak, ada potensi besar yang jika didampingi dengan cinta dan disiplin akan menjadi kekuatan luar biasa. Tapi, kemandirian tidak lahir dari keterpaksaan. Ia lahir dari kepercayaan dan proses belajar. Maka, sejak dini, anak perlu diajak berdiskusi, dilibatkan dalam pengambilan keputusan kecil, dan diajarkan untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Mengajarkan anak membereskan mainan sendiri, mencuci piring bekas makannya, menabung dari uang jajannya, atau mengelola emosi saat kecewa—itu semua adalah latihan hidup yang jauh lebih penting daripada sekadar nilai ujian. Anak-anak yang terbiasa dilayani tidak akan mampu melayani. Mereka yang terbiasa disiapkan segalanya akan kesulitan saat harus berdiri di atas kakinya sendiri.
Hari Anak Nasional 2025 harus menjadi titik balik—bukan hanya untuk merayakan anak, tapi untuk mengoreksi cara kita membesarkan mereka. Jangan biarkan anak tumbuh sendiri, karena anak-anak yang dibesarkan tanpa kehangatan akan mencari kehangatan itu di tempat yang salah. Anak-anak yang dibiarkan menavigasi dunia sendirian, akan mudah tersesat oleh arus budaya instan, hedonistik, dan individualistik.
Menjaga Amanah Langit
Anak adalah titipan Tuhan, bukan milik kita seutuhnya. Mereka hadir bukan untuk memuaskan ambisi orang tua, tetapi untuk kita arahkan agar menjadi versi terbaik dari dirinya. Mendidik anak adalah menjaga amanah langit—ia perlu ilmu, cinta, waktu, dan teladan.
Maka mari kita sambut Hari Anak Nasional 2025 ini bukan hanya dengan ucapan dan baliho bertuliskan “Selamat Hari Anak,” tapi dengan langkah nyata: hadir sepenuh hati dalam kehidupan anak-anak kita. Dampingi mereka, dengarkan mereka, percayai mereka, dan tuntun mereka untuk menjadi manusia yang mandiri, berakhlak mulia, dan berdaya.
Jangan biarkan mereka tumbuh sendiri. Sebab masa depan mereka adalah tanggung jawab kita hari ini.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar