Tiba-Tiba Kampung Pakuan KDM Menjadi Magnet Desa Wisata Yang Mempesona

Gambar: rombongan keluarga berfose di depan tugu Taman Bunisora Kampung Pakuan


Perbincangan hangat hari-hari in tentang Lembur Pakuan Kampungnya Pak KDM. Nama ini kini tak lagi asing di telinga banyak orang. Ia disebut-sebut di pasar-pasar, didiskusikan di warung kopi, bahkan jadi bahan konten para influencer dan vloger perjalanan.

Kampung yang dulunya mungkin hanya dikenal oleh warga kampung saja, kini menjelma menjadi ikon wisata baru Jawa Barat, Semua ini tidak lepas dari peran besar Kang Dedi Mulyadi (KDM)—tokoh budaya Sunda yang kini kembali menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Belum genap 100 hari menjabat, berbagai gebrakannya sudah mengguncang publik. Mulai dari membebaskan pajak kendaraan mati yang justru menyumbang pendapatan daerah ratusan miliar, hingga ide barak pendidikan bergaya militer untuk anak-anak bermasalah. Program-programnya unik, menyentuh akar, dan terkesan “gila”—dalam arti positif.

Namun yang paling kentara adalah bagaimana ia memoles kampung kelahirannya menjadi cermin percontohan yang membanggakan. Kampung Pakuan kini tampil mempesona. Sawah-sawah terbentang luas seperti permadani hijau, dihiasi galengan yang bersih dan jalan desa yang sudah di-hotmix. Irigasi tak hanya berfungsi, tapi juga indah dipandang. Warga setempat menyambut ramah, lingkungan terjaga, dan nilai-nilai budaya Sunda dihidupkan kembali dalam bentuk yang relevan dengan zaman.

Kami dan keluarga membuktikannya sendiri. Sore hari menjelang Maghrib (15 Juni 2025), kami tiba di sana dengan tiga mobil. Sepanjang jalan penuh kendaraan. Tempat parkir nyaris tak tersisa. Suasana ramai tapi damai. Tua, muda, anak-anak, semua larut dalam kebahagiaan yang sederhana: menikmati kampung yang "bercerita".

Kami sempat mengabadikan momen di Tugu Bunisora—simbol kebanggaan lembur Pakuwan yang berdiri kokoh. Sayangnya, karena waktu terbatas, kami belum sempat menyusuri sawah-sawah atau mampir ke rumah sang tuan rumah, KDM. Tapi sore kami tetap ditutup sempurna dengan menyantap sate Maranggi khas Pakuan.

Yang mengejutkan, salah satu penjual sate mengaku bisa meraup omset harian hingga Rp100 juta. Angka fantastis untuk skala pedesaan. Bayangkan total perputaran uang yang terjadi tiap akhir pekan di sana—warung kopi, kerajinan lokal, jajanan khas, oleh-oleh—semua hidup. Semua bergerak.

Kampung Pakuan bukan hanya tempat liburan, tapi juga laboratorium sosial. Ia membuktikan bahwa desa bisa menjadi pusat ekonomi, pusat budaya, dan pusat pembelajaran. Bahwa pembangunan tak selalu harus dengan bantuan pemerintah pusat, tapi cukup dengan nilai-nilai yang membumi: kebersihan, keteraturan, keramahan, dan cinta pada akar budaya.

Di tengah krisis identitas dan alienasi budaya, Kampung Pakuan memberi pelajaran penting: jika desa dirawat dengan hati, maka ia bisa menjadi cahaya yang menerangi banyak kota.

Wallohu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar