Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjebak dalam keinginan untuk selalu membuktikan diri benar. Entah di lingkungan kerja, dunia akademik, media sosial, atau bahkan dalam ruang-ruang keluarga dan pertemanan. Kebenaran menjadi semacam “ajang tanding,” bukan lagi nilai luhur yang hendak diraih bersama dengan cara-cara yang sehat. Perdebatan pun menjelma menjadi pertempuran ego, bukan lagi dialektika untuk mencari pemahaman bersama.
Sebuah kisah bijak berikut ini mengilustrasikan dengan sangat indah dan tajam bagaimana kita harus menyikapi orang-orang yang hanya ingin menang berdebat, bukan menang dalam akal sehat:
Kisah Harimau, Keledai, dan Singa
Keledai suatu hari berkata kepada harimau,
“Rumput itu biru.”
Harimau menjawab dengan tenang,
“Tidak, rumput itu hijau.”
Percakapan itu berubah menjadi perdebatan sengit. Karena tidak menemukan titik temu, mereka sepakat menghadap singa, raja hutan, untuk memutuskan kebenarannya.
Ketika mereka tiba, bahkan sebelum harimau sempat berkata apa-apa, keledai berteriak,
> “Yang Mulia, bukankah rumput itu biru?”
Singa, tenang dan bijak, menjawab:
“Benar, rumput itu biru.”
Keledai bersorak girang, dan melanjutkan,
“Lihatlah! Harimau menentangku, menyalahkanku, dan membuatku kesal. Dia perlu dihukum!”
Mendengar itu, sang singa berkata:
“Baik. Harimau akan dihukum lima tahun diam.”
Keledai melompat kegirangan, dan pergi sambil berseru,
“Rumputnya biru! Rumputnya biru!”
Harimau, menerima hukuman dengan kepala tegak, tetap memberanikan diri bertanya kepada raja,
“Yang Mulia, bukankah kita semua tahu bahwa rumput itu hijau?”
Singa menjawab,
“Benar, rumput itu hijau.”
Harimau makin heran.
“Kalau begitu, mengapa aku dihukum?”
Singa menjawab dengan kalimat yang sangat tajam,
“Kau dihukum bukan karena kau salah. Kau dihukum karena makhluk cerdas sepertimu tidak semestinya membuang waktunya berdebat dengan keledai, dan lebih dari itu, kau datang menggangguku dengan persoalan remeh yang tak layak dipersoalkan.”
Makna yang Mendalam
Kisah ini bukan sekadar dongeng fabel. Ia menyimpan pelajaran luar biasa bagi siapa pun yang terlibat dalam dunia berpikir, dunia pendidikan, dunia dakwah, bahkan dunia media sosial yang riuh rendah.
Pertama, tidak semua orang layak untuk diajak berdialog panjang. Ada orang yang sesungguhnya tidak sedang mencari kebenaran, tetapi hanya ingin mengalahkan lawan bicara, membuktikan bahwa dia “lebih pintar,” atau sekadar ingin mempertahankan harga dirinya meskipun ia tahu dirinya keliru.
Kedua, orang-orang seperti itu—dalam bahasa kisah ini: keledai—tidak tersentuh oleh logika dan data. Mereka tidak membutuhkan penjelasan, tetapi pengakuan. Mereka lebih suka menang daripada mengerti. Mereka bukan pencari ilmu, tapi pencari pembenaran.
Ketiga, kadang orang-orang cerdas seperti harimau malah terseret ke dalam debat tidak sehat karena dorongan emosional atau naluri untuk membela kebenaran. Padahal, kebenaran tidak selalu harus dibela dengan kata-kata—kadang cukup dengan diam dan melangkah pergi. Seperti kata pepatah Arab:
السكوت على الجاهل جواب – Diam adalah jawaban paling tepat bagi orang bodoh.
Keempat, pemimpin bijak seperti singa dalam cerita ini tahu kapan sebuah masalah pantas diurus, dan kapan ia cukup diabaikan. Orang-orang besar tidak terganggu oleh perkara kecil. Mereka memilih fokus pada urusan besar, bukan urusan rumput.
Refleksi Sosial dan Spiritualitas
Di zaman ini, banyak perdebatan yang lahir bukan dari niat baik, tetapi dari ego, kebencian, atau hasrat viralitas. Di media sosial, kita melihat betapa cepat orang menghakimi, menyerang, dan saling menjatuhkan hanya karena perbedaan pendapat yang sebenarnya sepele. Bukti dan fakta tak lagi penting jika hati sudah dibutakan oleh rasa ingin menang sendiri.
Di sinilah pentingnya kecerdasan emosional dan spiritual. Kita harus tahu kapan menyuarakan, kapan menjelaskan, dan kapan justru diam. Sebab kadang, diam bukan tanda kalah, tapi bentuk kemenangan yang anggun.
Seperti petuah bijak yang layak kita ingat:
“Jangan bertempur dalam medan yang tidak akan memberikanmu kemenangan, hanya kelelahan.”
Kisah harimau dan keledai mengajarkan kita bahwa dalam hidup ini, tidak semua pertarungan harus dilawan. Tidak semua komentar perlu ditanggapi. Tidak semua pernyataan layak dijawab. Kita tidak sedang berlomba jadi yang paling benar di mata manusia, tetapi paling bijak di hadapan Tuhan dan nurani kita.
Maka, bila suatu hari kamu menghadapi seseorang yang bersikukuh menyebut “rumput itu biru” meski jelas-jelas hijau, ingatlah harimau. Diam dan tinggalkan. Simpan energimu untuk kebaikan yang lebih besar. Karena...
“Ketika ketidaktahuan menjerit, diam adalah tanda kematangan jiwa.”
“Ketika ego menggelegak, tenanglah dan jaga harga dirimu.”
Hiduplah bijak seperti harimau. Dan jangan pernah buang waktumu untuk meyakinkan seekor keledai.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar