Sekolah Swasta Kelimpungan (Dampak Regulasi Yang Kurang Bijak)



Pendidikan adalah pondasi bangsa. Di atasnya berdiri masa depan generasi muda, dan dengan itu pula berdiri harapan akan peradaban yang lebih baik. Namun, di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur pendidikan, sebuah kenyataan getir sedang terjadi: sekolah swasta kecil dan menengah di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Jawa Barat, tengah sekarat. Bahkan tak sedikit yang hanya menerima satu siswa baru, dan sisanya terancam gulung tikar. Ini bukan sekadar cerita pinggiran. Ini adalah krisis nasional yang perlu kita sadari dan sikapi secara kolektif.

Satu Siswa, Satu Sekolah, dan Ancaman Penutupan

Mungkin terasa ironis dan memilukan—di satu sisi kita membicarakan digitalisasi pendidikan dan Merdeka Belajar, di sisi lain ada sekolah yang hanya mampu menerima satu siswa karena pendaftar nyaris tak ada. Ini terjadi di banyak sekolah swasta, terutama yang tidak berada di bawah naungan yayasan besar atau lembaga ternama. Sekolah yang dikelola oleh guru-guru idealis, dengan semangat pengabdian, kini berada di ujung tanduk.

Bukan karena mereka tidak berkualitas. Bukan pula karena mereka tidak inovatif. Tapi karena sistem—dan beberapa kebijakan—membuat mereka tersingkir secara perlahan.

Kebijakan Kuota 50 Siswa per Kelas: Siapa yang Diuntungkan?

Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat KDM, yang menetapkan jumlah siswa di sekolah negeri mencapai 50 orang per kelas. Tujuannya mungkin baik: memberi ruang lebih luas bagi masyarakat agar bisa mengakses pendidikan negeri. Tapi dalam praktiknya, ini menciptakan ketimpangan serius.

Dengan menampung lebih banyak siswa, sekolah negeri mendominasi pendaftaran, bahkan lebih dari kapasitas ideal. Imbasnya? Sekolah swasta tidak kebagian murid. Orang tua lebih memilih sekolah negeri yang murah bahkan gratis, tanpa mempertimbangkan kelebihan sekolah swasta dari sisi pendekatan personal, lingkungan belajar yang lebih tenang, serta kedekatan dengan komunitas yang kondusif.

Bayangkan saja, jika satu SMA negeri di salah satu daerah bisa menerima lebih dari 500 siswa baru hanya dalam satu angkatan, maka secara otomatis ratusan calon siswa yang biasa tersebar di sekolah swasta akan tersedot ke sana. Kebijakan ini membuat sekolah swasta kelimpungan, kehilangan pangsa, dan kehilangan harapan.

Di Mana Peran Negara?

Pendidikan bukan hanya soal jumlah dan kuantitas. Ia adalah soal kualitas, keberlanjutan, dan keadilan. Sayangnya, perhatian pemerintah masih terlalu berat sebelah. Dana BOS lebih besar dialokasikan untuk sekolah negeri, sementara sekolah swasta harus berjuang dengan dana minim dan beban operasional tinggi.

Belum lagi peraturan yang cenderung tidak berpihak. Alih-alih mendistribusikan murid secara merata melalui sistem zonasi ganda (negeri dan swasta), kebijakan saat ini justru membuat sekolah negeri menjadi magnet besar, tanpa memperhitungkan kapasitas pengelolaan yang ideal. Di sisi lain, sekolah swasta yang telah puluhan tahun berdiri melayani masyarakat, perlahan tenggelam dan ditinggalkan.

Apakah ini adil? Apakah negara bisa berpangku tangan ketika lembaga pendidikan non-pemerintah yang sah dan terakreditasi mulai bertumbangan?

Solusi: Bukan Menyalahkan, Tapi Menyelaraskan

Yang dibutuhkan bukanlah saling menyalahkan, tapi menyelaraskan peran antara negara dan lembaga pendidikan swasta. Pemerintah provinsi seperti Jawa Barat perlu meninjau kembali regulasi kuota kelas besar yang merugikan ekosistem pendidikan secara keseluruhan. Jika sekolah negeri terus diperbesar tanpa batas, maka yang terjadi adalah kanibalisasi murid, di mana sekolah swasta tidak punya ruang bertahan.

Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:

1. Menurunkan kembali kuota per kelas di sekolah negeri ke angka ideal (30–36 siswa), sesuai standar mutu pendidikan dan efektivitas pengajaran.

2. Menerapkan zonasi ganda dan afirmatif, di mana siswa diarahkan ke sekolah swasta mitra pemerintah jika daya tampung sekolah negeri terpenuhi.

3. Menyalurkan bantuan operasional yang adil dan proporsional ke sekolah swasta, terutama yang sudah memiliki izin dan akreditasi baik.

4. Membangun kolaborasi strategis antara dinas pendidikan dengan sekolah swasta, seperti pelatihan guru, pengadaan fasilitas bersama, atau pengangkatan guru swasta sebagai PPPK.

5. Sosialisasi publik oleh pemerintah bahwa sekolah swasta bukan "opsi darurat", tapi mitra pendidikan yang sah dan penting.

Masyarakat Juga Punya Peran

Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga perlu membuka mata. Sekolah swasta, dengan segala keterbatasannya, kerap menjadi tempat lahirnya karakter, bukan sekadar pencapaian akademik. Mereka lebih fleksibel dalam kurikulum, lebih dekat dengan murid, dan seringkali lebih responsif terhadap kondisi sosial sekitar.

Orang tua perlu diberi pemahaman bahwa pendidikan yang baik tidak selalu identik dengan fasilitas megah atau status negeri. Sekolah swasta juga berjuang, bahkan lebih keras, agar anak-anak bangsa tetap mendapatkan hak yang sama untuk belajar, berkembang, dan bermimpi.

Akhirnya, Ini Soal Masa Depan

Jika kita membiarkan sekolah swasta tutup satu per satu, maka kita sedang menggali lubang ketimpangan pendidikan yang lebih dalam. Negara kehilangan mitra strategis. Masyarakat kehilangan pilihan. Dan anak-anak kita kehilangan keberagaman pengalaman belajar.

Mari jadikan isu ini sebagai perhatian bersama. Revisi kebijakan yang merugikan, hadirkan afirmasi yang adil, dan kembalikan ruh gotong royong dalam dunia pendidikan. Karena menyelamatkan sekolah swasta, sama dengan menjaga pluralisme pendidikan dan memperkuat fondasi masa depan Indonesia.

Wallohu a'lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar