Mahalnya Islah



ketakketikmustopa.com, Islah tidak pernah lahir dari sekadar slogan, apalagi sorakan tepuk tangan yang bergema di ruang hampa. Ia tidak tumbuh dari layar gawai, gambar spanduk, atau seruan emosional yang mudah dikutip namun cepat dilupakan. Islah tumbuh melalui sikap dewasa, kesediaan duduk bersama, dan keterbukaan hati untuk menerima bahwa tidak semua keputusan harus sesuai selera kita. Ia memerlukan kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan, kesiapan memenuhi prosedur organisasi yang telah disepakati, serta keikhlasan untuk menempatkan kepentingan jam’iyyah jauh melampaui kepentingan pribadi atau kelompok. Itulah sebabnya islah menjadi mahal—bukan karena berat diucapkan, tetapi karena menuntut pengorbanan dalam bentuk paling murni: menahan ego dan ambisi.

Lebih dari 20 lembaga dan Badan Otonom NU di tingkat pusat telah memberikan dukungan resmi terhadap proses islah. Gelombang yang sama datang dari Pengurus Cabang dan Pengurus Wilayah di berbagai daerah. Dukungan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bukti bahwa kesadaran kolektif mulai tumbuh: bahwa polemik internal hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang berada dalam struktur sah organisasi. Ini adalah langkah yang jelas—on the track—sebab persoalan yang terjadi di dalam rumah NU harus diselesaikan oleh mereka yang tinggal dan bertanggung jawab di dalamnya. Mereka yang memegang amanah struktural memahami beratnya beban yang dipikul, sehingga suara mereka memiliki legitimasi, bukan sekadar gema tanpa tanggung jawab.

Maka menjadi ironi ketika muncul seruan dukungan dari pihak-pihak yang secara struktural tidak memiliki kaitan dengan NU, atau dari tokoh-tokoh yang berdiri di luar garis organisatoris, namun bersuara paling nyaring seakan tahu segala yang terjadi di dalam. Pengasuh pesantren, perkumpulan ini, persatuan itu—dengan segala hormat—bukan representasi lembaga atau Banom resmi di bawah NU. Kehormatan personal tidak serta-merta bermakna keabsahan struktural. Terlebih ketika suara lantang itu berasal dari sosok yang bukan bagian dari PBNU, tidak memikul amanah organisasi, namun sibuk menyoraki dinamika internal seakan-akan dialah sutradara dari drama yang terjadi. Mungkin sorak itu muncul bukan karena tanggung jawab, tetapi karena keinginan diperhatikan; berharap dilihat dari dalam rumah dan diberi undangan serta peran.

Bandingkan dengan para tokoh yang hadir dalam foto yang beredar—mereka tidak perlu menaikkan volume suara untuk menegaskan ketokohannya. Diamnya saja membawa bobot moral. Kehadirannya menjadi legitimasi. KH Abdul Hakim Mahfudz (Yai Kikin), pengasuh Tebuireng sekaligus Ketua PWNU Jawa Timur yang keilmuannya diakui luas. KH Said Aqil Siradj, mantan Ketua Umum PBNU yang jejaknya dalam sejarah NU tak tergantikan. KH Anwar Mansyur dan KH Nurul Huda Jazuli, para kiai sepuh yang namanya menjadi jaminan integritas, kecintaan, dan konsistensi terhadap jam’iyyah. Mereka datang bukan dengan sorakan, bukan dengan pengeras suara. Mereka hadir dengan adab, duduk dengan wibawa, memikul amanah islah dengan musyawarah. Bahkan ketika usia sudah lebih dari 85 tahun dan aktivitas ngaji masih harus dijalani, mereka tetap menyempatkan diri rawuh. Karena cinta kepada NU bagi mereka bukan teori—ia adalah pengorbanan nyata.

Islah itu mahal, sebab ia tidak bisa dibayar dengan klaim dukungan palsu atau klaim suara publik yang belum tentu memahami duduk persoalan. Ia menuntut kesediaan menerima kritik, keikhlasan mengakui kesalahan, dan kesabaran melewati mekanisme organisasi yang mungkin tidak cepat tetapi pasti. Tidak semua orang sanggup membayar harga keikhlasan. Tidak semua mampu melunasi tanggung jawab moral. Tidak semua bersedia menghadiri pertemuan tanpa kamera, tanpa sorotan media, tanpa panggung dan tepuk tangan.

Pada akhirnya, islah bukan tentang siapa yang paling keras bersuara, tetapi siapa yang paling sanggup merendahkan suara diri demi keberlanjutan organisasi. Bukan siapa yang ingin masuk, tetapi siapa yang ingin menyatukan. Bukan siapa yang ingin diperhatikan, tetapi siapa yang bersedia bekerja dalam senyap untuk menjaga marwah jam’iyyah. Mereka yang benar-benar mencintai NU memahami bahwa persatuan lebih mulia daripada sorakan, musyawarah lebih luhur daripada manuver, dan NU terlalu besar untuk dijadikan panggung bagi ambisi pribadi.

Karena di akhir segala dinamika, sejarah tidak mencatat siapa yang paling keras berteriak—melainkan siapa yang paling ikhlas menjaga.

Wallohu a’lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar