Idul Fitri dan Penguatan Identitas Budaya Islam di Perguruan Tinggi

Gambar hanyalah pemanis tampilan 

letakketikmustopa.com, Idul Fitri merupakan puncak dari proses spiritual Ramadan yang tidak hanya mengandung makna keagamaan, tetapi juga memperkuat dimensi sosial dan budaya umat Islam. Di lingkungan perguruan tinggi, perayaan Idul Fitri memiliki potensi strategis dalam memperkuat identitas budaya Islam di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang kerap mengikis akar tradisi dan nilai lokal.

Identitas budaya Islam tidak terbentuk secara instan, tetapi melalui proses internalisasi nilai dan pembiasaan praktik keagamaan yang konsisten. Di kampus, kegiatan seperti buka puasa bersama, kajian Ramadan, shalat Id berjamaah, serta halal bi halal usai lebaran menjadi bagian dari proses kulturalisasi nilai Islam yang mendalam¹. Budaya-budaya ini menciptakan ruang perjumpaan antara agama dan kehidupan sehari-hari mahasiswa.

Menurut Clifford Geertz, agama merupakan sistem simbol yang bertujuan untuk membentuk suasana hati dan motivasi yang kuat, mendalam, dan langgeng dalam diri manusia². Maka dari itu, Idul Fitri di perguruan tinggi bukan sekadar seremoni, tetapi menjadi sarana membentuk habitus religius yang melandasi cara berpikir dan bertindak mahasiswa dalam kehidupan sosialnya.

Dalam konteks pendidikan tinggi, momentum Idul Fitri dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai Islam wasathiyah, yakni Islam moderat yang menghargai keragaman dan menjunjung tinggi prinsip keadilan³. Melalui kegiatan reflektif di bulan Ramadan dan puncaknya pada Idul Fitri, mahasiswa diajak merenungi makna puasa, silaturahmi, dan empati sosial. Proses ini secara perlahan memperkuat integritas moral dan etika akademik sivitas kampus.

Nurcholish Madjid menyebut bahwa Islam tidak boleh berhenti hanya pada simbol formalistik, tetapi harus menjadi semangat pembaruan dan perubahan sosial yang membebaskan⁴. Dalam hal ini, budaya Islam yang hidup di kampus—terutama melalui momen Idul Fitri—membantu membentuk identitas kolektif mahasiswa sebagai agen perubahan yang religius sekaligus rasional.

Idul Fitri juga mempererat ukhuwah, tidak hanya sesama Muslim, tetapi juga antaragama dan antarsuku dalam bingkai kebinekaan. Dalam konteks ini, semangat Idul Fitri sejalan dengan semangat kebangsaan yang diusung oleh para pendiri bangsa, seperti yang tercermin dalam pemikiran Mohammad Natsir tentang pentingnya sinergi antara Islam dan Indonesia⁵.

Kampus sebagai miniatur masyarakat harus menjadi laboratorium sosial untuk membumikan nilai-nilai Islam yang ramah, bukan marah; membangun, bukan menghukum; dan menyatukan, bukan memecah belah⁶. Di sinilah pentingnya peran lembaga-lembaga kampus seperti LDK (Lembaga Dakwah Kampus), UKM keislaman, maupun dosen-dosen pembina rohani untuk menjadi penggerak kebudayaan Islam yang visioner dan inklusif.

Menurut Azyumardi Azra, sejarah pendidikan tinggi Islam di Indonesia selalu mengalami transformasi seiring perubahan zaman, dan saat ini tantangan terbesar adalah bagaimana menjadikan budaya Islam tetap relevan dengan konteks keilmuan modern⁷. Idul Fitri, sebagai bagian dari budaya Islam, bisa menjadi entry point untuk menanamkan nilai-nilai spiritual dalam ruang-ruang akademik.

Di era digital seperti sekarang, budaya Islam kampus juga perlu dikontekstualisasi melalui media sosial, platform digital, dan forum-forum daring. Kegiatan-kegiatan keislaman selama Ramadan dan Idul Fitri bisa diarsipkan dan disebarluaskan sebagai bentuk dakwah kultural kepada masyarakat luas, serta memperkuat citra perguruan tinggi sebagai pusat peradaban Islam yang dinamis dan adaptif⁸.

Dengan demikian, penguatan identitas budaya Islam melalui perayaan Idul Fitri di perguruan tinggi bukanlah tindakan simbolik semata, tetapi merupakan bagian dari strategi pendidikan karakter yang berkelanjutan. Mahasiswa tidak hanya belajar dalam konteks akademik, tetapi juga dalam konteks spiritualitas, budaya, dan kemanusiaan. Inilah peran penting kampus dalam membentuk generasi Muslim yang utuh: cerdas secara intelektual, kukuh secara moral, dan luas secara sosial.

Wallohu a'lam 

Catatan Kaki

1. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 143.

2. Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: University of Chicago Press, 1960), hlm. 87.

3. Mohammad Hashim Kamali, Moderation and Balance in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah (Oxford: Oxford University Press, 2015), hlm. 102.

4. Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 215.

5. Mohammad Natsir, Capita Selecta Jilid 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 56.

6. Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia (Bandung: Mizan, 2017), hlm. 78.

7. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 96.

8. Jajat Burhanuddin dan Din Wahid (ed.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh hingga Historiografi (Bandung: Mizan, 2019), hlm. 173.

9. Abdul Munir Mulkhan, Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Islam (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 34.

10. Syafiq A. Mughni, Islam dan Pluralisme (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar