ketakketikmustopa.cim, Ramadhan adalah bulan tarbiyah. Ia mengajarkan kesabaran, pengendalian diri, keikhlasan, hingga solidaritas sosial dalam bingkai ibadah yang intens. Namun, seringkali euforia ibadah Ramadhan meredup seiring bergantinya bulan. Masjid kembali sepi, mushaf Al-Qur’an kembali terlipat, bahkan semangat berbagi pun perlahan menghilang. Maka, penting untuk menegaskan: Ramadhan boleh berlalu, tapi semangat dakwah tidak boleh meredup.
Dalam pendekatan teologi, dakwah bukan sekadar aktivitas lisan menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga manifestasi ketaatan kepada Allah. Nabi Muhammad saw. adalah uswah hasanah dalam berdakwah sepanjang hayatnya, bukan hanya pada waktu-waktu khusus (QS. Al-Ahzab: 21). Semangat ini diperkuat oleh firman Allah, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik" (QS. An-Nahl: 125). Artinya, pasca Ramadhan seharusnya menjadi ladang lanjutan untuk memperkuat semangat dakwah, bukan masa jeda spiritual.
Dalam perspektif sosiologi, Ramadhan seringkali menjadi momen rekonsiliasi sosial. Silaturahim, zakat fitrah, buka puasa bersama—semuanya menciptakan kohesi sosial. Namun, tanpa kesinambungan dakwah, masyarakat bisa kembali ke pola relasi individualistik. Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial harus terus diperbarui agar masyarakat tidak jatuh ke dalam disintegrasi.[1] Di sinilah dakwah sebagai aktivitas sosial hadir untuk merawat kebersamaan umat.
Dalam konteks psikologi sosial, Ramadhan meningkatkan collective efficacy—keyakinan bersama bahwa umat bisa melakukan perubahan positif. Momentum spiritual ini menciptakan emotional contagion yang menggerakkan jamaah untuk berbuat baik. Namun, jika tidak ditindaklanjuti, efeknya bisa cepat pudar. Bandura menyebutkan bahwa efikasi kolektif dapat dipelihara melalui narasi publik, keteladanan, dan penguatan sosial.[2] Maka, dakwah pasca Ramadhan adalah media strategis menjaga semangat tersebut tetap hidup.
Dalam kajian pendidikan, Ramadhan adalah ruang transformasi nilai. Peserta didik diajarkan disiplin, kejujuran, serta empati melalui puasa. Tapi pendidikan nilai membutuhkan kesinambungan. Dakwah setelah Ramadhan berperan dalam value internalization, di mana nilai-nilai tidak hanya diketahui, tetapi dijadikan prinsip hidup.[3] Guru, dai, dan tokoh masyarakat berperan besar dalam proses ini.
Di sisi ekonomi Islam, semangat berbagi di bulan Ramadhan adalah bentuk aplikasi dari maqashid syariah, khususnya hifz al-mal (menjaga harta). Namun jika semangat zakat dan sedekah berhenti hanya di bulan Ramadhan, maka esensi keadilan sosial tidak tercapai. Dakwah ekonomi yang berkelanjutan menjadi alat penting untuk memperkuat kesadaran kolektif akan distribusi kekayaan yang adil.[4]
Dakwah adalah nafas umat Islam. Ia tak dibatasi waktu. Ramadhan hanya momen penguatan, bukan satu-satunya ruang. Maka, setelah Ramadhan berlalu, mari kita jaga bara dakwah agar tetap menyala: lewat tulisan, media sosial, pendidikan, interaksi sosial, dan tentu—keteladanan pribadi.
"Orang terbaik di antara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain."
(HR. Ahmad, Thabrani)
Wallohu a'lam
Catatan Kaki
[1]: Durkheim, Emile. The Division of Labour in Society. New York: The Free Press, 1997.
[2]: Bandura, Albert. Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Prentice-Hall, 1986.
[3]: Thomas Lickona. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, 1991.
[4]: Chapra, M. Umer. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic Foundation, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar