Bulan Syawal dan Datangnya Musim Nikah

Gambar hanyalah pemanis tampilan 

ketakketikmustopa.com, Bulan Syawal sering disebut sebagai “musim nikah” di banyak daerah Muslim, termasuk di Indonesia. Tak sedikit undangan pernikahan berdatangan selepas Idul Fitri, dan tak jarang pula halaman-halaman rumah dipenuhi pelaminan serta tamu yang mengenakan pakaian terbaiknya. Fenomena ini bukanlah semata tradisi budaya, tapi juga memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam.

Syawal adalah bulan pertama setelah Ramadhan—bulan kemenangan, kelegaan, dan permulaan baru. Bagi sebagian besar umat Islam, bulan ini menjadi waktu yang tepat untuk mengikat tali cinta dan memulai rumah tangga. Tak hanya karena suasana hati yang bersih pasca-Ramadhan, namun juga karena Rasulullah SAW mencontohkan menikah di bulan ini.

Teladan dari Nabi: Pernikahan di Bulan Syawal

Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku pada bulan Syawal dan membangun rumah tangga denganku juga pada bulan Syawal. Maka istri-istri Rasulullah mana pun yang lebih beruntung di sisinya daripada aku?"

(HR. Muslim, No. 1423)

Hadits ini tidak hanya menunjukkan fakta historis, tetapi juga menyiratkan bahwa menikah di bulan Syawal adalah hal yang baik dan sesuai dengan sunnah. Aisyah bahkan menyampaikan pernyataan tersebut dengan nada bangga, seolah ingin mematahkan anggapan jahiliah bahwa bulan Syawal adalah bulan sial untuk menikah.

Pada masa jahiliah, masyarakat Arab menganggap bulan Syawal sebagai waktu yang tidak baik untuk pernikahan, karena secara etimologis kata “Syawal” bisa bermakna “mengangkat” atau “menurun”, yang kemudian secara salah ditafsirkan akan membawa keburukan dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah SAW secara tegas mematahkan keyakinan itu dengan menikahi Aisyah di bulan tersebut.

Al-Qur’an dan Perintah Menikah

Islam sangat menganjurkan pernikahan sebagai bagian dari ibadah dan penjagaan diri. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 32)

Ayat ini menjadi landasan bahwa pernikahan adalah bagian dari solusi sosial, spiritual, dan moral dalam masyarakat. Allah bahkan menjamin pertolongan bagi mereka yang menikah dengan niat baik, meskipun dalam keterbatasan ekonomi.

Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW bersabda:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna Simbolik Syawal: Kebangkitan dan Perubahan

Syawal berasal dari kata “syāla” yang bermakna “meninggikan” atau “mengangkat”. Ini bisa dimaknai sebagai bulan yang mengangkat derajat mereka yang kembali fitri setelah Ramadhan, sekaligus bulan untuk membangun kehidupan baru yang lebih baik.

Menikah di bulan ini seolah menjadi simbol transisi dari kesendirian menuju kebersamaan, dari pencarian menuju ketenangan, dan dari fitrah spiritual menuju fitrah sosial dalam bentuk keluarga.

Tradisi menikah di bulan Syawal ternyata bukan sekadar kebiasaan masyarakat, melainkan warisan dari sunnah Rasulullah SAW yang patut dilestarikan. Momentum Syawal adalah saat yang tepat untuk memulai lembaran baru dalam hidup, termasuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Menikah di bulan ini bukan hanya romantis, tetapi juga sarat makna spiritual—menghidupkan sunnah, membantah mitos, dan memulai langkah baru dalam terang iman.

Wallohu a'lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar