Munajat Cinta di Malam Lailatul Qodar

 

Gambar hanyalah pemanis tampilan 

Cerpen Ramadhan Hari Ke-25

ketakketikmustopa.com, Malam itu, langit Cirebon begitu damai. Angin berembus lembut, membawa kesejukan yang merasuk hingga ke relung hati. 

Di dalam Masjid STID Al-Biruni, suara lantunan ayat-ayat suci menggema, menyatu dengan doa-doa yang dipanjatkan penuh harap. Malam ini adalah salah satu dari sepuluh malam terakhir Ramadhan, saat di mana para hamba berikhtiar menemukan Lailatul Qadar—malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Di sudut masjid, Halim bersimpuh dalam sujud panjang. Air matanya jatuh, bukan karena kesedihan, tetapi keharuan yang tak mampu ia tahan. Beberapa hari lalu, ia dihadapkan pada cobaan berat—UKT-nya hampir jatuh tempo, dan ia tak tahu harus mencari uang ke mana. Ia hanyalah seorang mahasiswa yatim piatu, hidup dari beasiswa dan kerja serabutan.

Namun, saat ia hendak menghadap bagian administrasi keuangan kampus untuk meminta perpanjangan waktu, ia terkejut. UKT-nya telah lunas ada yang bayarin.

"Ada seseorang yang telah membayar uang UKT-mu," 

Namun, sang petugas merahasiakan siapa yang telah membayarin uang UKT.

Sejak saat itu, Halim bertanya-tanya, siapa yang begitu dermawan menolongnya tanpa pamrih?

Dan malam ini, ketika Halim beranjak dari sujudnya, ia teringat wanita berparas lembut yang selalu menundukkan pandangan, namun memiliki cahaya yang mampu menyentuh hati siapa pun yang mengenalnya. 

Teringat percakapan mereka di WA beberapa hari lalu, saat Salsabila mengungkapkan perasaannya, Halim sempat menolak dengan lembut.

"Ga mungkin, Salsa. Kamu orang kaya, sedangkan aku sebatang kara," katanya saat itu.

Kata Halim membalas WA Salsabila.

Namun, Salsabila hanya tersenyum. 

"Mungkin saja, Halim. Cinta kan tidak mengenal harta, tahta, ataupun kasta."

Jawab Salsabila dalam WA,-nya.

Kini Halim menyadari, hanya satu orang yang memiliki ketulusan seperti itu—Salsabila.

Setelah shalat, Halim mengambil HP, jari jemarinya tangannya terus menggerak-gerakan jemari. 

"Salsa," 

Tulisnya dengan tangan gemetar.

Salsabila menatao layar android, senyum lembut menghiasi wajahnya.

Tampak tulisan WA begitu syahdu.

"Malam ini aku berdoa, dan aku mulai memahami sesuatu," kata Halim. 

Halim melanjutkan lagibtulisan WA-nya,

"Jika Allah menanamkan rasa ini di hati kita, mungkin ini bukan sekadar perasaan biasa."

Salsabila terdiam, menunggu kelanjutan rangkaian kata-kata di WA-nya.

"Aku tahu kau yang telah membayarkan UKT-ku. Aku ingin berterima kasih, tapi lebih dari itu, aku ingin bertanya... Mengapa engkau melakukan itu?"

Salsabila menghela napas, lalu tersenyum.

"Karena aku ingin menolong seseorang yang aku kagumi dalam diam. Aku tahu kau berjuang keras, Halim. Dan aku ingin menjadi bagian dari perjuangan itu, mumpung ini bulan Ramadhan, bulan penuh keberkahan."

Jawab Salsabila dalam WA-nya 

Halim terus menatap HP yang sedang di pegangnya. 

Malam ini bukan hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang bagaimana cinta yang suci bisa tumbuh dalam niat yang tulus.

"Jika kau bersedia, aku ingin berjalan bersamamu," tulis Halim,

"Bukan sekadar sebagai seorang pria miskin yang mencintai wanita kaya, tetapi sebagai seseorang yang ingin meraih ridha-Nya bersamamu."

Salsabila meneteskan air mata. 

"Aku juga berdoa malam ini, Halim. Dan aku percaya, doa yang dipanjatkan di malam Lailatul Qadar 10 hari terakhir tidak akan sia-sia."

Langit semakin sunyi. Di atas mereka, bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya. Seakan menjadi saksi, bahwa di malam penuh keberkahan ini, dua hati telah bertemu dalam doa yang sama—munajat cinta yang dititipkan kepada-Nya.


-Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar