Cerpen Ramadhan Hari Ke-22
ketakketikmustopa.com, Langit senja menapaki cakrawala Cirebon, membalut STID Al-Biruni dalam jubah emasnya yang gemerlap. Di sudut perpustakaan sunyi, Khoerul Huda bersemayam dalam lamunan, tatapannya melayang, menembus batas kaca jendela, menuju cakrawala mimpi yang dihuni satu nama: Sabyan.
Cinta itu, sekuntum melati putih yang mekar di taman hatinya, harum namun terkurung pagar rindu yang tinggi. Sabyan, yang telah dijodohkan takdir dengan seorang putra keluarga kenamaan, menjadi misteri yang mengunci detak jantungnya.
"Bukan rupa, bukan harta, bukan pula kecerdasan yang menjadi penghalang… Mengapa cintaku terhempas ombak takdir?"
Desah Huda, lirih bagai bisikan angin senja.
Hari-hari berlalu, menorehkan luka dalam di lubuk kalbu. Mata yang dulu berbinar kini redup seperti bintang yang terhalang awan. Senyum yang dahulu mekar seindah bunga kembang kini layu, seperti bunga yang kehilangan embun pagi.
Bapak Nurohman, sang ayah, melihat kesedihan putranya. Suatu malam, di beranda rumah, ia menepuk lembut pundak Huda.
"Anakku, mari kita menuju Baitullah. Umrohlah kita, mencari kedamaian di pangkuan Sang Pencipta. Kembalikanlah hatimu kepada-Nya, bukan kepada bayangan manusia."
Tanpa bantahan, Huda mengangguk. Ia lelah berlari mengejar bayangan, lelah berjuang melawan takdir.
Di Masjidil Haram, suasana syahdu menyelimuti jiwa. Ka'bah, singgasana hati yang maha agung, menarik juta pandangan yang bersimpuh dalam tawadhu'. Huda melangkah dengan langkah yang lembut, menjelajahi lingkaran thawaf, air mata mengalir membasahi pipi.
Di hadapan Ka'bah, ia mengadakan munajat, lirih namun mengucap rasa yang dalam:
"Ya Allah, Engkau Yang Maha Membolak-balik hati. Jika Sabyan bukan untukku, hapuslah rasa ini, kuatkanlah aku. Namun, jika ia adalah jodohku, dekatkanlah kami dengan jalan yang Engkau ridhoi."
Air mata mengalir lagi, mencuci jiwa yang berdebu. Kedamaian menyeruak di dalam hati.
Di tempat yang sama, namun di sisi yang berbeda, Sabyan juga bermunajat.
"Ya Rabb, tenangkanlah hatiku. Aku ingin ridha pada keputusan keluarga, namun aku juga menginginkan jodoh terbaik dari-Mu. Jika tunanganku memang baik, lancarkanlah. Jika tidak, tunjukkanlah jalan yang lebih baik."
Dua hati yang gelisah, bermunajat di tempat yang sama, dalam bisikan yang tak saling mendengar.
Setelah umroh, Huda menemukan kedamaian. Ia telah menyerahkan segalanya kepada Allah. Tak ada lagi kekecewaan, hanya keikhlasan yang menghiasi jiwanya.
Namun, takdir memiliki jalan sendiri.
Kabar mengejutkan mencapai telinga Sabyan. Tunangannya terjerat hukum penggelapan uang. Perjodohan akhirnya batal.
Di kampus Biru, takdir kembali mempertemukan mereka. Di antara suara buku yang terbuka dan tawa teman, Huda melihat Sabyan.
"Sabyan…"
Gadis itu menoleh, sedikit terkejut.
"Bolehkah aku berkata jujur?"
Sabyan mengangguk.
"Aku mencintaimu. Dulu, aku putus asa. Namun setelah aku berserah, kita bertemu kembali. Bolehkah aku berharap?"
Sabyan tersenyum, air mata mengalir.
"Huda, doamu telah sampai. Aku pun berdoa di depan Ka'bah. Dan kini, jawaban-Nya ada di hadapan kita."
Di bawah langit senja, dua hati yang bermunajat akhirnya bersatu dalam ikatan takdir.
Beberapa bulan kemudian, janji suci terucap. Cinta mereka, sebuah maha karya takdir yang indah.
Di bawah bintang, Huda berbisik:
"Kau tahu? Aku pernah berbisik pada Ka'bah. Dan kini, jawabannya ada di sisiku."
Sabyan tersenyum.
"Karena cinta yang tulus selalu menemukan jalannya menuju takdir terbaik."
-Tamat-
"Karena cinta yang tulus selalu menemukan jalannya menuju takdir terbaik." OuWoooooo~
BalasHapus