Cinta di Malam Nuzulul Qur'an

 

Gambar hanyalah pemanis tampilan 

 Cerpen Ramadhan Hari Ke-20

ketakketikmustopa.com, Di antara semilir angin Ramadhan yang berhembus syahdu, Hilmi, mahasiswa STID Al-Biruni Cirebon, merasakan beban yang begitu berat menyelimuti hatinya.  Bukan beban ujian semester, melainkan beban cinta yang terhalang perbedaan. Ia mencintai Alifa, putri seorang pengusaha kaya raya, yang juga berkuliah di kampus yang sama.  Bintang-bintang seakan menjadi saksi bisu perbedaan status sosial yang membentang bak jurang antara dirinya dan Alifa.  Ayahnya Alifa, dengan tatapan dingin yang menusuk kalbu, menolak hubungan mereka.  

"Kamu anak orang miskin, Hilmi. Apa yang bisa kau berikan untuk masa depan Alifa?"  

Kata-kata itu bergema di telinganya, menusuk relung hati yang sedang dimabuk cinta.

Alifa, dengan tekad yang membara seperti api, tak tinggal diam. Ia mencoba meyakinkan orang tuanya bahwa cinta bukanlah semata-mata materi, melainkan ikatan jiwa yang dijalin oleh ketulusan dan iman yang teguh.  Namun, semakin ia membela Hilmi, semakin kokoh tembok penolakan itu berdiri.

Malam Nuzulul Qur'an tiba, membalut bumi dengan cahaya ilahi.  Hilmi memilih menghabiskan malam suci itu di masjid kampus, bersujud panjang di hadapan Sang Khalik.  Air matanya membasahi sajadah, mengiringi untaian doa yang dipanjatkannya.  

"Ya Allah, jika Alifa bukanlah takdirku, berilah aku kekuatan untuk menerimanya.  Namun, jika ia memang jodohku, bukakanlah hati orang tuanya."  

Doa-doa itu bergema di langit malam, di antara syair-syair ayat suci yang turun pada malam yang penuh berkah ini.

Di kamarnya, Alifa juga bergulat dengan doa dan air mata.  Mushaf Al-Qur'an terbuka di hadapannya, dan matanya tertuju pada ayat yang seakan menjadi jawaban atas segala kerisauannya. 

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216).  

Ayat itu menyentuh kalbunya, membisikkan hikmah yang tersembunyi di balik cobaan yang tengah ia hadapi.

Di masjid, setelah bermunajat panjang, Hilmi merasakan kedamaian yang tak terkira.  Ia menerima takdir apa pun dengan hati yang lapang.  Cinta yang ia inginkan adalah cinta yang diridai Allah, bukan sekadar cinta duniawi yang fana.

Subuh menjelang, mentari pagi menyingsing.  Kejutan datang tak terduga.  Ayah Alifa memanggil Hilmi.  Semalam, sang ayah bermimpi melihat seorang lelaki berjubah putih, memancarkan cahaya terang benderang, membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.  Lelaki itu berkata, 

"Janganlah menilai manusia dari hartanya, melainkan dari ketakwaannya."

Mimpi itu telah meluluhkan hati sang ayah.  Ia merenung, bertanya-tanya apakah ia telah berlaku zalim.  Dengan suara berat, ia berkata, 

"Hilmi, jika kau mampu membimbing Alifa menuju kebaikan, aku akan merestui kalian."

Air mata Hilmi berlinang, membasahi pipinya yang penuh syukur.  Malam Nuzulul Qur'an telah menjadi saksi bisu bagaimana Allah SWT menunjukkan jalan bagi hamba-Nya yang tulus berserah diri.

Alifa dan Hilmi melanjutkan kisah cinta mereka dengan penuh syukur, meyakini bahwa cinta yang diridai Allah adalah cinta yang tumbuh bersama iman dan ketakwaan, di bawah naungan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

-Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar