Cerpen Dakwah
ketakketikmustopa.com, Di sudut perpustakaan STID Al-Biruni, seorang mahasiswa berkacamata duduk diam di balik tumpukan buku. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard laptop, menuliskan kata demi kata yang memenuhi pikirannya. Dialah Amaludin, seorang mahasiswa yang tidak banyak bicara, tapi memiliki dunia sendiri di antara lembaran kertas dan tinta.
Sejak kecil, Amaludin lebih nyaman dengan buku daripada dengan percakapan panjang. Ia kagum pada para ulama yang mampu berbicara dengan lantang di hadapan ribuan orang, tetapi ia tahu, dirinya bukan seperti itu. Jika harus berbicara di depan umum, tubuhnya gemetar, suaranya bergetar. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu menggelora—keinginan untuk berdakwah.
"Tapi bagaimana caranya?" pikirnya.
Hingga suatu hari, Dr. Ali, dosen akademiknya, memanggilnya setelah membaca esai yang ia tulis untuk tugas kuliah.
“Amaludin, tulisanmu ini luar biasa,”
ujar Dr. Ali sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
“Kenapa kamu tidak menjadikan tulisan sebagai jalan dakwahmu?”
Amaludin tertegun.
“Tapi, Pak, dakwah itu kan biasanya disampaikan secara lisan. Saya tidak berani bicara di depan banyak orang.”
Dr. Ali tersenyum.
“Dakwah bukan hanya lewat lisan, Nak. Banyak ulama besar yang berdakwah melalui pena. Ibnul Jauzi, Imam Ghazali, bahkan Syekh Yusuf al-Qaradawi—mereka semua menulis, dan karya mereka tetap hidup hingga kini. Kata-kata yang dituliskan dengan niat yang ikhlas bisa menjangkau lebih banyak orang daripada suara yang hilang tertiup angin.”
Sejak saat itu, pikiran Amaludin berubah. Jika ia tidak bisa berdiri di atas mimbar, maka ia akan berdakwah melalui tulisan.
Malam-malamnya kini dipenuhi dengan menulis. Ia mulai mengisi blog kampus dengan artikel-artikel dakwah, menulis kisah-kisah inspiratif dari perjalanan para ulama, hingga menuangkan pemikirannya tentang Islam dalam kehidupan modern. Lambat laun, tulisannya mulai dikenal di kalangan mahasiswa.
Suatu hari, Farhan, Budi, dan Anton, teman-temannya yang aktif di organisasi dakwah, datang kepadanya.
“Mal, tulisanmu bagus banget! Bisa nggak kita jadikan buletin dakwah kampus?” Farhan bertanya antusias.
“Bahkan, kalau bisa, kita bikin jurnal ilmiah untuk mahasiswa,” tambah Budi.
Anton menepuk bahunya.
“Lihat, kan? Ini jalan dakwahmu. Bukan di atas mimbar, tapi di dalam tulisan.”
Hati Amaludin bergetar. Ia dulu merasa sunyi, merasa bahwa dakwah hanya milik mereka yang lantang berbicara. Tapi kini ia tahu, ada jalan lain. Jalan yang mungkin tidak tampak, tapi memiliki kekuatan yang tak kalah dahsyat.
Beberapa bulan kemudian, dengan dukungan teman-temannya, buletin dakwah kampus pertama pun terbit—dengan artikel utama berjudul "Menulis, Jalan Sunyi Para Da'i."
Saat ia melihat namanya tercetak di halaman pertama, ia tersenyum.
Kini, ia tidak lagi merasa sunyi.
Karena dalam tulisan-tulisannya, ia menemukan suaranya.
-The End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar