Gambar hanyalah pemanis tampilan
ketakketikmuatopa.com. Ibu, dalam hidup ini, ada cinta yang tak pernah meminta balasan, tak menuntut pengakuan, dan tak berharap diingat. Cinta itu bernama ibu.
Jauh sebelum kita mengenal dunia, sebelum kita tahu apa itu siang dan malam, engkau telah lebih dulu berjaga. Sembilan bulan kita dikandung dalam rahimmu, dalam ruang sempit yang hangat oleh doa dan harapan. Setiap lelah, mual, dan nyeri kau simpan sendiri, seakan rasa sakit itu tak pantas dibagi dengan siapa pun. Bahkan ketika kita belum mampu mengenal wajahmu, engkau telah mengenal kita dengan cinta yang utuh.
Saat tangis pertama kita pecah, dunia mungkin menyambut dengan bising, tetapi engkau menyambut dengan pelukan. Pelukan yang menenangkan, yang mengabarkan bahwa hidup—sekeras apa pun kelak—akan selalu memiliki tempat untuk pulang. Air susumu adalah kasih sayang pertama yang mengalir dalam tubuh kami, menjadi saksi bahwa cinta sejati tidak selalu diucapkan, melainkan diberikan tanpa hitung-hitungan.
Malam-malam panjang menjadi saksi ketulusanmu. Saat kami terbangun oleh tangis, engkau terjaga tanpa keluhan. Dalam timanganmu, sholawat dilantunkan lirih, mengalun bersama ayunan tangan dan degup jantungmu. Kami tertidur dengan damai, sementara engkau kembali terjaga, memastikan napas kecil ini tetap teratur. Barangkali saat itu kami belum mengerti, tetapi sholawat itulah yang tumbuh bersama kami, menjadi pelindung di langkah-langkah kehidupan.
Ibu adalah guru pertama, bahkan sebelum kami mengenal bangku sekolah. Dari bibirmu kami belajar berbicara dengan bahasa yang halus, mengenal sopan santun, memahami mana yang baik dan mana yang harus dijauhi. Engkau mengajarkan doa-doa sederhana: doa makan, doa belajar, doa masuk masjid. Doa-doa itu kau ulang tanpa lelah, hingga akhirnya melekat dalam ingatan dan hati kami, menjadi bekal yang tak pernah habis.
Ketika masa sekolah tiba, engkau kembali menjadi orang pertama yang bangun paling pagi dan orang terakhir yang beristirahat. Tubuh kecil ini engkau mandikan, kau rapikan, kau baluri bedak hingga wangi. Tanganmu menggenggam tangan kami menuju sekolah, seakan berkata, “Melangkahlah, Nak, ibu ada di belakangmu.” Engkau menunggu di luar kelas, bersama ibu-ibu lain, menahan rindu, cemas, dan harap dalam satu waktu yang sama.
Memasuki sekolah dasar dan madrasah, peranmu tak pernah berkurang. Sepatu, baju, buku, dan tas selalu kau siapkan dengan penuh perhatian. Engkau memastikan semuanya lengkap, seolah kelengkapan itu akan menjaga kami dari segala kekurangan hidup. Di rumah, engkau masih menjadi tempat bertanya, tempat mengadu, tempat menangis tanpa takut dihakimi.
Waktu berjalan cepat, terlalu cepat. Anak yang dulu digendong kini telah mondok di pesantren, menimba ilmu sambil kuliah di STID Al-Biruni. Jarak memisahkan raga, tetapi tidak pernah memisahkan doamu. Kini engkau tak lagi menunggu di gerbang sekolah, tetapi engkau menunggu dalam sujud panjang di sepertiga malam, menyebut nama kami dengan air mata yang jatuh diam-diam.
Mungkin kami sering lupa meneleponmu, Mungkin kami terlalu sibuk dengan dunia kami sendiri. Namun engkau tak pernah lupa mendoakan.
Doamu mengiringi setiap langkah kami: saat kami belajar, saat kami lelah, saat kami jatuh dan bangkit kembali. Doamu mungkin akan terus mengalir hingga kami berkeluarga, hingga kami memiliki anak dan cucu, hingga rambutmu memutih dan langkahmu mulai melambat.
Ibu, jika kelak kami tak mampu membalas semua pengorbananmu, izinkan kami setidaknya berusaha mencintaimu dengan sepenuh hati, menghormatimu dengan segenap jiwa, dan membahagiakanmu meski dengan cara-cara sederhana.
Terima kasih atas cinta yang tak pernah meminta apa-apa, selain melihat kami menjadi manusia yang baik.
"Selamat Hari Ibu"
Wallohu a'lam

Tidak ada komentar:
Posting Komentar