ketakketikmuatopa.com, Beberapa hari yang lalu (Selasa, 23/12/2025) kawasan Makbarok Gunung Jati menjadi tempat berkumpul 10.000 lebih Banser. Gunung Jati menjadi altar kebangsaan, ruang doa, dan saksi bisu pengabdian. Di pelataran Masjid Syarif Abdurrahman Gunung Jati, pusat spiritual para Wali dan denyut sejarah Cirebon, lebih dari 10.000—tepatnya 11.114 anggota Banser berdiri dalam satu barisan. Tegap, rapi, dan hening. Seragam loreng itu bukan hanya identitas, melainkan ikrar sunyi: kami hadir untuk negeri.
Apel Kebangsaan Banser dalam rangka pengamanan Natal dan Tahun Baru (Nataru) benar-benar mencatat sejarah. Kapolri hadir secara langsung, para Kyai sepuh se-Wilayah III Cirebon duduk dengan kewibawaan ilmu dan keteduhan doa, sementara Banser dari Jawa Barat dan Jawa Tengah menyatu dalam satu niat: menjaga Indonesia tetap aman, damai, dan manusiawi.
Suasana khidmat terasa sejak awal. Doa tidak dipimpin oleh Kyai sepuh, meskipun mereka hadir dalam jumlah banyak dan dengan keilmuan yang dalam. Doa justru dipimpin oleh Komandan Banser Jawa Barat pada masanya. Bukan karena mengabaikan para ulama—sama sekali tidak. Justru di situlah maknanya. Karena ini adalah apel Banser, apel khidmah. Kadang, doa paling jujur lahir dari mereka yang berada di garis depan, yang terbiasa berjaga di malam panjang, di jalan sunyi, di pos pengamanan, tanpa sorotan.
Dalam sambutannya, Kapolri menyampaikan amanah negara dengan tegas dan penuh kepercayaan. Banser secara resmi dilepas untuk ikut serta dalam pengamanan Natal dan Tahun Baru, bergandengan tangan dengan Polri dan seluruh unsur pengamanan. Negara memberi mandat, dan Banser menjawabnya bukan dengan kata-kata panjang, melainkan dengan kesiapan. Siap menjaga rumah ibadah. Siap mengamankan jalanan. Siap berdiri di antara perbedaan, demi keselamatan semua warga negara—apa pun agama dan latar belakangnya.
Pelepasan itu bukan seremoni biasa. Ia adalah simbol kepercayaan negara kepada kekuatan sipil berbasis keagamaan yang selama ini setia berdiri di sisi rakyat. Banser kembali menunjukkan jati dirinya: pengabdian tanpa syarat, pengorbanan tanpa pamrih.
Di tengah apel kebangsaan itu pula, dilakukan Penganugerahan Kemanusiaan Riyanto Award 2025. Sebuah penghormatan yang sunyi namun menggema. Nama Riyanto kembali disebut—anggota Banser yang gugur saat menjaga perayaan Natal, mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan orang lain. Penghargaan ini bukan sekadar trofi atau piagam. Ia adalah pengingat bahwa kemanusiaan sering kali lahir dari keberanian sederhana: berdiri, melindungi, dan rela menjadi tameng bagi sesama.
Riyanto Award adalah pesan moral bagi bangsa ini: bahwa toleransi bukan slogan, melainkan tindakan. Bahwa cinta tanah air kadang berwujud tubuh yang roboh demi keselamatan orang lain. Dan Banser mewarisi nilai itu—hari ini, esok, dan seterusnya.
Ada kebijakan kecil yang terasa besar maknanya. MC tidak menyebutkan jabatan-jabatan struktural NU. Bukan lalai, bukan pula abai, melainkan ikhtiar menjaga suasana tetap teduh di tengah dinamika PBNU yang belakangan cukup keras. Dalam situasi tertentu, menjaga persatuan justru dilakukan dengan menahan ego dan menyederhanakan simbol. Di situlah kedewasaan jam’iyah diuji.
Selesai acara, Ketua PP GP Ansor Pusat tidak langsung beranjak. Ia mendatangi para Kyai satu per satu. Dengan adab, dengan kerendahan hati, disampaikan permohonan maaf dan penjelasan atas situasi yang mengharuskan kehati-hatian. Bukan lewat podium, bukan lewat pernyataan media, melainkan lewat silaturahmi. Alhamdulillah, semuanya diterima dengan kelapangan dada. Tabayyun didahulukan. Persoalan pun selesai dengan sejuk. Beginilah tradisi NU: adab lebih tinggi dari jabatan, persaudaraan lebih utama dari segalanya.
Menjelang bubar, suasana mencair. Kepala Staf berseloroh kepada Ketua PP Ansor, “Jadi bagaimana ini, hujan sudah boleh turun?”
Dengan senyum dan suara sedikit terbata dijawab, “Jangan dulu, Bah… kita masih ada rapat khusus.”
Langit seakan mendengar. Awan menahan diri. Hujan pun menunggu.
Tak lama setelah Kepala Staf berpamitan pulang, hujan turun deras. Bukan gerimis, melainkan hujan besar. Hujan berkah. Bahkan di beberapa tempat, air meluap hingga menjadi banjir. Alam seolah memberi isyarat: doa-doa khidmah itu akhirnya dilepas juga. Setelah apel ditunaikan. Setelah amanah negara diterima. Setelah kemanusiaan dimuliakan.
Dari Gunung Jati, dari 10.000 Banser lebaran h, dari adab para Kyai, dan dari nama Riyanto yang tak pernah benar-benar pergi, kita belajar satu hal penting:
Jika pengabdian dijalankan dengan niat lurus, jika persatuan dijaga dengan adab, dan jika kemanusiaan ditempatkan di atas segalanya—maka langit pun tahu kapan waktunya menjawab.
Wallohu a‘lam.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar