ketakketikmustopa.com, Konflik internal PBNU yang kemudian melahirkan dua istilah baru—Kelompok Keramat dan Kelompok Sultan—bukan sekadar dinamika biasa dalam organisasi besar. Ia menjelma menjadi babak baru perebutan legitimasi, interpretasi AD/ART, dan posisi strategis yang menentukan arah masa depan jam’iyyah.
Kelompok Keramat, yang merujuk pada poros pertemuan para Mustasyar di wilayah Kramat Raya, berdiri di atas keyakinan bahwa pemecatan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, tidak sah karena tidak melalui mekanisme organisasi yang dianggap final dan mengikat. Mereka memandang bahwa NU bukan sekadar organisasi dengan aturan formal, tetapi juga tradisi yang bertumpu pada musyawarah para kiai sepuh dan adab keilmuan. Bagi kelompok ini, setiap keputusan strategis yang menyangkut keberlanjutan jam’iyyah harus menyertakan restu, kebijaksanaan, dan konsensus para sesepuh.
Sementara itu, Kelompok Sultan, yang merujuk pada rapat pleno di Hotel Sultan yang memutuskan pemberhentian Gus Yahya dan mengangkat KH. Zulfa Mustofa sebagai Ketua Umum sampai akhir masa jabatan, menganggap bahwa roda organisasi tidak boleh mandek. Prinsip mereka jelas: keputusan yang ada adalah sah, dan situasi menuntut kecepatan serta ketegasan. Dalam narasi kelompok Sultan, legalitas administratif dan urgensi keberlanjutan organisasi adalah prioritas utama.
Pada titik inilah perbedaan itu membesar:
1. Keramat membawa narasi legitimasi moral dan tradisi syura.
2. Sultan membawa narasi legitimasi struktural dan keberlanjutan program.
Pertarungan pemikiran ini jauh lebih kompleks dari sekadar siapa mendukung siapa. Ia melibatkan persepsi historis tentang bagaimana NU dikelola, nilai apa yang dipegang, dan siapa yang berhak berbicara atas nama jam’iyyah. Konflik ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah NU sedang bergerak menuju model organisasi modern yang terpusat dan prosedural, atau menjaga pola kolektif tradisional berbasis kewibawaan kiai sepuh?
Di titik krusial ini, NU seolah berada di persimpangan:
Keramat mengingatkan tentang akar,
Sultan menuntut langkah ke depan.
Jika keduanya tidak bertemu, organisasi justru berisiko kehilangan keduanya—akar sejarah yang menghidupi, dan momentum modernisasi yang dibutuhkan.
Pada akhirnya, NU tidak sedang diuji oleh siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi oleh bagaimana perbedaan diinternalisasi menjadi kedewasaan, bukan menjadi jurang yang menelan kebesaran jam’iyyah. Karena sejarah NU selalu membuktikan satu hal: ketika konflik dihadapi dengan syura dan kelapangan jiwa, NU tumbuh; tetapi ketika perpecahan dibiarkan tanpa islah, umatlah yang paling merasakan akibatnya.
Wallohu a'lam

Tidak ada komentar:
Posting Komentar