ketakketikmustopa.com, Tragedi besar dalam sejarah bukan hanya menyisakan kerusakan dan air mata; ia sering meninggalkan pesan yang lebih dalam. Tahun 971 Hijriyah menjadi salah satu di antaranya — ketika Mesir dan Istanbul sama-sama mengalami ujian berat yang menggugah kesadaran banyak pihak.
Mesir dalam Ketakutan dan Kekacauan
Di Mesir, rasa aman seakan lenyap dalam sekejap. Perampokan dan penjarahan terjadi hampir setiap hari. Gerombolan bersenjata memasuki permukiman secara terang-terangan, mendobrak pintu rumah warga, menjarah harta, bahkan merampas perhiasan dari telinga perempuan¹. Ketidakpastian sosial makin terasa setelah wafatnya hakim Mesir, Abdul Baqi bin al-‘Arabi, yang disalatkan secara ghaib di tengah situasi yang tidak menentu.
Kondisi ini menggambarkan krisis multidimensi — ekonomi, sosial, dan keamanan — yang harus ditanggung oleh rakyat kecil yang sudah kesulitan bertahan hidup.
Istanbul Dilanda Banjir Besar
Di pusat pemerintahan Turki Utsmani, Istanbul, bencana lebih dahsyat sedang terjadi. Hujan deras sepanjang malam menyebabkan banjir meluas, menghancurkan bangunan dan pasar, serta menyeret harta dan manusia ke Laut Marmara². Menara Masjid Sultan Sulaiman yang megah ikut tersambar petir.
Bahkan Sultan Sulaiman sendiri hampir hanyut bersama kudanya jika tidak diselamatkan seorang penjaga istana bernama al-Bustanji yang dengan berani melompat ke arus deras demi menolong sang Sultan². Peristiwa ini menyadarkan banyak orang bahwa bencana tidak mengenal derajat sosial — istana dan gubuk rakyat sama-sama diterjang.
Saat Musibah Menjadi Suara Peringatan
Pasca bencana, Sultan memanggil para ulama, mufti, dan qadhi. Ia bertanya dengan nada penuh kegelisahan:
“Tidakkah kalian melihat musibah besar yang belum pernah terjadi sebelumnya ini?'³
Para ulama menjawab tegas bahwa fenomena tersebut adalah peringatan, agar Sultan meninjau kembali kezaliman yang dilakukan sebagian pejabat terhadap rakyat.
Menindaklanjuti hal itu, Sultan memerintahkan penyelidikan melalui laporan dari setiap wilayah. Namun ketika laporan disusun di Mesir, sebagian ulama menolak menandatanganinya karena enggan menyatakan kondisi makmur sementara rakyat menderita⁴. Imam Syamsuddin ar-Ramli menjawab,
“Aku hanyalah ahli fikih. Aku tidak mencampuri urusan negeri dan rakyat.”
Tetapi sebagian lainnya memilih diam, menuliskan laporan yang menyenangkan istana demi keselamatan jabatan dan fasilitas yang mereka nikmati⁵.
Pelajaran untuk Bangsa Masa Kini
Peristiwa sejarah ini memberi peringatan yang relevan bagi zaman sekarang. Musibah bukan hanya peristiwa alam — ia bisa menjadi panggilan kesadaran, khususnya bagi pemimpin yang diamanahi kekuasaan, serta ulama yang memiliki kredibilitas moral sebagai penjaga kebenaran.
Allah mengingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah menimpakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali.” *(QS. Ar-Rum: 41)*⁶
Sejarah menunjukkan — jika kejujuran dikalahkan demi kepentingan, jika kebenaran ditutup dengan laporan indah, maka musibah dapat menjadi bahasa langit untuk mengingatkan manusia.
Bangsa yang belajar dari sejarah akan semakin matang. Bangsa yang mengabaikannya akan kembali mengulangi kesalahan yang sama — dengan luka yang sama atau bahkan lebih dalam.
Wallohu a'lam
Catatan kaki:
- Abdul Qodir bin Muhammad al-Anshari al-Hanbali, Ad-Durar Al-Faroid Al-Munadzomah, Juz 1, 1133–1134.
- Ibid., 1135.
- Ibid., 1136.
- Ibid., 1137.
- Ibid., 1138.
- Al-Qur’an, Surah Ar-Rum ayat 41

Tidak ada komentar:
Posting Komentar