Banjir dan Keserakahan Manusia

Gambar diambil dari newsdetik.com


ketakketikmustopa.com, Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar fenomena alam yang datang tanpa sebab. Ia adalah akumulasi panjang dari eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap alam. Hutan Sumatera yang dahulu menjadi benteng raksasa kini kehilangan jati dirinya. Penebangan liar, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan menjadi perpaduan yang membawa Sumatera pada krisis ekologis yang nyata.

Kerusakan ini bukan hanya menghilangkan pepohonan, tetapi juga menghapus mekanisme alami bumi dalam menyerap air. Ketika hujan deras turun, tanah tak lagi mampu menampung. Sungai meluap, desa tenggelam, dan kehidupan masyarakat berubah menjadi kecemasan kolektif.

Islam telah lama mengingatkan bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi. Allah berfirman:

 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini terasa relevan. Ketika alam rusak karena ulah manusia, maka manusia pula yang pertama merasakan akibatnya. Dan Allah menegaskan dalam janji-Nya:

 "Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya." (QS. Ali Imran: 9)

Bencana ini adalah tamparan realitas. Bahwa kemajuan tanpa moral adalah kemunduran. Bahwa pembangunan tanpa etika adalah kehancuran. Bukan hujan yang menjadi masalah utama—melainkan hilangnya akar moral dalam mengelola alam.

Kini, yang kita perlukan bukan sekadar bantuan logistik atau perbaikan infrastruktur pascabencana. Kita membutuhkan kesadaran baru, cara pandang baru, dan keberanian politik untuk menyadari bahwa alam bukan objek keserakahan, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sebab sebagaimana firman Allah:

“Barang siapa berbuat kebaikan sebesar zarrah akan melihat balasannya, dan barang siapa berbuat kejahatan sebesar zarrah akan melihat balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8)

Kita masih punya waktu untuk memperbaiki. Banjir hari ini bukan akhir, tetapi peringatan. Pertanyaannya: apakah kita akan kembali sebelum semuanya terlambat?

Jika manusia kembali menjaga bumi, bumi akan kembali menjaga manusia. Dan di situlah letak keadilan Tuhan—janji yang pasti, tak pernah meleset.

Wallohu a,'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar