ketakketikmustopa.com, Nahdlatul Ulama (NU) adalah rumah besar umat, tempat bernaungnya ribuan pesantren, ribuan masjid, serta puluhan juta jamaah yang menjadikan organisasi ini bukan sekadar struktur, tetapi denyut kehidupan keagamaan masyarakat di akar rumput. Karena itu, setiap riak di tubuh PBNU selalu menjadi perhatian khalayak.
Belakangan, kabar pemecatan KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari jabatan Ketua Umum PBNU oleh Rais Aam Syuriah KH. Miftachul Akhyar, dengan tenggang waktu tiga hari untuk pemberhentian tersebut. Tidak berhenti di situ, langkah balasan dilakukan: Ketua Umum PBNU kemudian menyatakan bahwa Risalah yang disampaikannkepadanya tidak syah, langkah berikutnya Gus Yahya memberhentikan Saefullah Yusuf (Gus Ipul) dari posisi Sekretaris Jenderal.
Peristiwa ini menimbulkan friksi, silang pendapat, bahkan kegelisahan internal. Ada suara lantang meminta para pemimpin yang bersangkutan mundur bersama sebagai solusi paling elegan. Ada pula dorongan Musyawarah Luar Biasa sebagai jalan konstitusional organisasi. Tidak sedikit juga suara yang mengharapkan islah, perdamaian, duduk bersama, dan mengembalikan persoalan besar ini ke rel keikhlasan.
Dalam pusaran polemik ini, islah adalah kata yang kembali digaungkan. Sebab, sejarah membuktikan: organisasi sebesar dan setua NU tidak mungkin tumbuh hanya dengan kekuasaan struktural, melainkan berkat adab, tabarruk, ta’dzim, dan kelapangan dada dalam menyelesaikan konflik.
Al-Qur’an memerintahkan secara jelas:
“Fa-aslihu baina akhawaikum.”
Maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu (QS. Al-Hujurat: 10).
Ayat ini tidak menyebutkan siapa yang harus mengalah lebih dulu, siapa benar, siapa salah, siapa kuat atau siapa lemah. Sebab, ketika konflik merambat panjang, yang kalah adalah umat. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal bagi dua Muslim saling menjauh lebih dari tiga hari...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika perselisihan dua individu saja dilarang berlarut lebih dari tiga hari, maka bagaimana mungkin kita rela konflik di organisasi besar ini berjalan tanpa kepastian, tanpa pelukan, tanpa ujung yang jelas?
Islah bukan sekadar solusi administratif—ia adalah perintah langit, karakter pesantren, dan darah damai yang mengalir dalam tradisi para ulama pendiri NU.
Secara faktual, konflik itu ada di atas — namun kehidupan keagamaan di bawah tetap berdenyut:
1. Tahlilan tetap bergema, dari pelosok desa hingga gang perkotaan.
2. Maulidan masih semarak, shalawat semakin ramai berkumandang.
3. Haulan para ulama tetap padat, tempat bertabur doa dan barokah.
4. Dan lain-lain
Tidak ada jamaah yang batal tahlil karena Ketum dan Rais Aam berbeda sikap. Tidak ada shalawat yang tertunda karena perbedaan administrasi. Nahdliyyin di bawah tetap berjalan sebagaimana adanya karena yang mereka tuju bukan gedung organisasi, melainkan keberkahan para pendiri.
Namun, tetap disayangkan bila konflik ini berlarut. Bukan karena jamaah terbengkalai hari ini, tetapi karena nama besar NU tidak seharusnya menjadi konsumsi publik dalam bentuk pertengkaran berkepanjangan.
Dan tentu — jangan sampai tetangga sebelah bertanya sinis:
“Kapan ngurusi umatnya? kalau masih sibuk ribut sendiri?”
Penutup: NU Milik Umat, Bukan Milik Perorangan.
Jika para kiai yang sedang berselisih memilih duduk bersama, menahan ego, mengutamakan jamaah — maka sejarah akan mencatatnya sebagai kemenangan ukhuwah, bukan sekadar kemenangan jabatan.
Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat kecil hanya bisa berharap, Semoga para pemimpin tertinggi NU mampu memberi contoh tertinggi dalam kedewasaan sikap, sebagaimana selama ini NU selalu memberi keteduhan bagi umat.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar