Ishlah PBNU di Lirboyo: Menjaga Marwah NU



ketakketikmuatopa.com, Ada kalanya perbedaan tidak lahir dari niat buruk, melainkan dari cinta yang sama-sama besar terhadap jam’iyyah. Ada saat ketika perbedaan pandangan bukan tanda kebencian, tetapi justru ekspresi kegelisahan para khadim yang takut melihat rumah besar bernama Nahdlatul Ulama retak dari dalam. Dalam bingkai inilah dinamika internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa waktu terakhir patut dibaca—dengan kacamata jernih dan hati yang lapang.

Konflik internal yang sempat mengeras telah menimbulkan kegelisahan luas di kalangan warga Nahdliyin. Bukan karena NU rapuh, tetapi justru karena NU terlalu dicintai. Para kiai, santri, dan warga jam’iyyah di akar rumput menahan napas, khawatir jika perbedaan di pucuk pimpinan menjalar menjadi luka panjang yang menggerogoti persatuan. NU, yang selama ini dikenal sebagai rumah besar penuh keteduhan, seolah diuji oleh sejarahnya sendiri.

Namun, NU bukan organisasi yang miskin hikmah. Ketika kegelisahan memuncak, para sesepuh menunjukkan watak sejati jam’iyyah ini: menyelesaikan masalah dengan adab, bukan amarah; dengan musyawarah, bukan saling meniadakan. Dari Ploso, Tebuireng, hingga Lirboyo, para kiai sepuh menggelar pertemuan demi pertemuan. Tidak dengan suara keras, melainkan dengan keteduhan, air mata keprihatinan, dan doa-doa panjang di sepertiga malam.

Puncaknya adalah Rapat Konsultasi Syuriyah PBNU bersama Mustasyar PBNU di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pesantren tua ini kembali menjadi saksi sejarah—bukan sekadar tempat pertemuan formal, tetapi ruang batin tempat para kiai memanggil kembali kesadaran kolektif. Di sinilah ishlah menemukan maknanya yang paling dalam: bukan meniadakan perbedaan, melainkan memeluknya dalam kebijaksanaan.

Momentum di Lirboyo terasa seperti pecah telur. Rais ‘Aam PBNU, KH. Miftachul Akhyar, dan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, akhirnya mencapai kesepakatan untuk menempuh jalan damai. Ketegangan yang sempat mengeras perlahan mencair. Tidak ada yang merasa menang, tidak ada yang dipermalukan. Yang ada hanyalah kesadaran bersama bahwa NU jauh lebih besar daripada siapa pun, dan persatuan lebih utama daripada pembenaran diri.

Kesepakatan tersebut melahirkan keputusan penting dan strategis: Muktamar Ke-35 Nahdlatul Ulama akan digelar bersama sebagai jalan konstitusional dan bermartabat untuk menyelesaikan perbedaan dan sengketa kepengurusan yang terjadi. Muktamar bukan sekadar forum organisatoris, melainkan tradisi luhur NU—ruang musyawarah tertinggi tempat akal, adab, dan hikmah bertemu.

Kehadiran tokoh-tokoh sentral NU, termasuk Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, memberikan bobot moral yang kuat terhadap proses islah ini. Dukungan para sesepuh menjadi peneguhan bahwa jalan damai adalah jalan yang diwariskan oleh para muassis NU. Bahwa konflik boleh ada, tetapi perpecahan tidak pernah menjadi pilihan.

Dalam semangat menjaga stabilitas jam’iyyah, ditegaskan pula bahwa kepemimpinan PBNU tetap berjalan di bawah Rais ‘Aam KH. Miftachul Akhyar dan Ketua Umum Gus Yahya hingga Muktamar mendatang. Roda organisasi tidak boleh berhenti, dan khidmah NU kepada umat, bangsa, dan negara harus terus berlanjut tanpa terganggu dinamika internal.

Sebagai tindak lanjut konkret, segera dibentuk panitia bersama untuk mempersiapkan pelaksanaan Muktamar Ke-35 NU. Langkah ini bukan hanya teknis, tetapi simbolik—bahwa perbedaan bisa dikelola dalam kerja kolektif, dan bahwa NU selalu memiliki mekanisme dewasa untuk kembali pada rel yang benar.

Lebih dari sekadar penyelesaian konflik internal, ishlah PBNU di Lirboyo adalah pesan moral bagi publik dan bangsa. Di tengah iklim sosial-politik yang kerap gaduh dan penuh polarisasi, NU kembali memberi teladan: bahwa konflik bisa diselesaikan tanpa caci maki, tanpa saling meniadakan, dan tanpa kehilangan rasa hormat. Bahwa para pemimpin boleh berbeda pandangan, tetapi tetap berangkulan demi kemaslahatan yang lebih besar.

Bagi warga Nahdlatul Ulama, momen ini terasa seperti hujan setelah kemarau panjang. Ada rasa lega, ada harapan yang tumbuh kembali. Bahwa NU tetap utuh sebagai rumah besar yang teduh. Bahwa para kiai tidak pernah meninggalkan amanat sejarah: menjaga jam’iyyah dengan ilmu, adab, dan cinta.

Ishlah PBNU di Lirboyo bukanlah akhir dari sebuah konflik, melainkan peneguhan nilai-nilai NU itu sendiri—tasamuh, tawazun, tawassuth, dan i‘tidal. Selama nilai-nilai itu dijaga, NU akan selalu menemukan jalan pulang, betapapun berliku langkahnya.

Akhirnya, ketika para pimpinan berangkulan, sesungguhnya yang dipeluk bukan hanya satu sama lain, tetapi juga harapan jutaan warga Nahdliyin. Bahwa marwah NU tetap terjaga. Bahwa perbedaan bukan alasan untuk berpisah. Dan bahwa dalam NU, ishlah selalu menemukan jalannya.


Wallāhu a‘lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar