Biografi KH. Amin Sepuh dan KH. Muhammad Sanusi Babakan Ciwaringin: Pejuang, Ulama, dan Pengasuh Pesantren


Latar Belakang Pesantren Babakan Ciwaringin

Di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, berdiri sebuah pusat pendidikan Islam yang sangat berpengaruh: Pesantren Babakan Ciwaringin. Pesantren ini, dalam sejarahnya, menjadi saksi perjuangan ulama dan santri di masa kolonial dan revolusi kemerdekaan, dan kelak berkembang menjadi jaringan pondok yang besar. 

Dua tokoh yang sangat menonjol dalam sejarah Babakan Ciwaringin adalah KH Amin Sepuh dan KH Muhammad Sanusi. Mereka bukan hanya ulama yang mendidik santri, tetapi juga pejuang yang berani menentang penjajah dan mempertahankan pesantren sebagai pusat perlawanan spiritual dan fisik.

KH. Amin Sepuh: Ulama Pendekar dari Babakan

Asal-usul, Ilmu, dan Karakter

Kyai Amin bin Irsyad, yang lebih dikenal sebagai KH Amin Sepuh, lahir pada 24 Dzulhijjah 1330 H / 1879 M di Mijahan, Plumbon, Cirebon.  Menurut silsilah, beliau adalah keturunan Ahlul Bait melalui garis Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati), sehingga memiliki warisan spiritual dan keilmuan yang dalam. 

Sejak kecil, KH Amin Sepuh dikenal sebagai santri kelana. Ia menimba ilmu agama di pondok-pondok pesantren berbeda, belajar tidak hanya kitab kuning, tetapi juga ilmu bela diri dan kanuragan, membuatnya unik sebagai ulama-pendekar. 

Perjuangan Kemerdekaan

KH Amin Sepuh tidak hanya fokus berdakwah di pesantren. Ia turut aktif dalam perlawanan terhadap penjajahan. Dalam beberapa catatan, beliau tergabung dalam gerakan Hizbullah, bersama santri dan kiai lain untuk memperjuangkan kemerdekaan. 

Salah satu momen paling bersejarah adalah saat 10 November 1945 di Surabaya. KH Amin Sepuh disebut sebagai salah satu tokoh pejuang yang berkontribusi menyemangati perlawanan umat Islam dan santri.  Menurut kisahnya, ulama-ulama seperti KH Hasyim Asy’ari bahkan menunggu kabar dari Amin Sepuh sebelum mengeluarkan fatwa jihad dalam pertempuran. 

Peran sebagai Pengasuh Pesantren

Setelah masa revolusi, KH Amin Sepuh semakin fokus mengembangkan Pesantren Babakan Ciwaringin (khususnya Raudlatut Tholibin, yang biasa disebut “Pondok Gede Babakan”).  Di bawah pimpinannya, pondok itu berkembang pesat dan menjadi pusat pendidikan salaf yang sangat dihormati. 

Namun, perjuangan tidak berhenti setelah kemerdekaan. Pada Agresi Belanda II sekitar tahun 1952, pesantren Babakan diserang dan dikepung oleh pasukan Belanda.  Banyak kitab dan karya KH Amin Sepuh dibakar, dan para santri bersama kyai terpaksa mengungsi. 

Dua tahun kemudian, di tahun 1954, KH Amin Sepuh kembali ke Babakan, sedang santrinya mulai pulang.  Tahun berikutnya, 1955, beliau kembali secara resmi memimpin pondok dan mengajar santri dari berbagai daerah.  Dalam masa itu, jumlah santri terus meningkat, sampai pondok Raudlatut Tholibin tidak lagi cukup menampung semuanya. Banyak santri kemudian tinggal di rumah para ustadz, termasuk di rumah KH Sanusi. 

Warisan dan Wafat

KH Amin Sepuh wafat pada 20 Mei 1972 M (16 Rabi’ul Akhir 1392 H), usianya hampir seabad.  Ilmunya sangat luas, dan muridnya pun tersebar ke banyak kota di Indonesia: dari Cirebon, Makassar, hingga pesantren-pesantren lain. 

KH. Muhammad Sanusi: Penerus, Guru, dan Pejuang Pesantren

Asal-usul dan Karakter

KH Muhammad Sanusi, yang sering dipanggil Embah Sanusi, lahir di Winduhaji, Kabupaten Kuningan, pada malam 14 Rabi’ul Awwal 1322 H / 12 Januari 1904 M.  Ia dikenal sebagai sosok yang sangat disiplin, istiqomah, dan rendah hati (tawadhu’). 

Pada masa kecilnya, Sanusi mengikuti pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) dan secara bersamaan mengaji di pesantren.  Setelah itu ia melanjutkan pengajian di pesantren-pesantren salaf hingga akhirnya menjadi murid dekat KH Amin Sepuh. 

Peran dalam Pesantren dan Perjuangan

Sejak tahun 1922 M (sekitar tahun 1341 H), KH Sanusi mulai membantu KH Amin Sepuh dalam mengurus Pesantren Babakan Ciwaringin, menjadi pendamping utama dan co-pengasuh. 

Ketika pesantren diserang dalam agresi Belanda kedua (sekitar 1952), santri dan pengurus termasuk KH Sanusi harus mengungsi.  Setelah dua tahun pengungsian, Embah Sanusi-lah orang pertama yang berani kembali ke Babakan untuk membangun kembali pesantren yang hancur. 

Beliau merapikan bangunan pesantren, menyusun kembali koleksi kitab, dan secara perlahan mengundang kembali santri dari berbagai daerah.  Perannya sangat penting dalam fase pemulihan, karena tanpa stabilitas beliau, pondok Babakan mungkin tidak dapat berdiri kembali secepat itu dan berkembang besar seperti sekarang.

Warisan dan Kematian

KH Sanusi wafat pada 19 Juni 1974 M (9 Jumadil Ula 1392 H).  Kepemimpinannya sebagai co-pengasuh dan pembimbing santri terus dikenang; banyak santri yang kemudian menjadi pemimpin pesantren atau tokoh agama di berbagai wilayah. 

Warisan Bersama: Pesantren dan Transformasi Sosial

Kedua tokoh ini, KH Amin Sepuh dan KH Sanusi, memiliki sinergi yang sangat kuat. KH Amin Sepuh adalah fondasi: ulama besar, pakar kitab, pendekar perlawanan kemerdekaan, dan pengasuh pondok utama. Sementara KH Sanusi menjadi penerus setia, pembina, dan pemimpin yang stabil saat masa-masa paling sulit, seperti pengungsian dan rekonstruksi pesantren.

Berkat kerja sama mereka, Pesantren Babakan Ciwaringin tidak hanya bertahan, tetapi berkembang. Dari satu pondok saja (Raudlatut Tholibin), kini berkembang menjadi puluhan pesantren di lingkungan Babakan, menjadikan Babakan Ciwaringin sebagai “kampung santri”. 

Murid-murid mereka pun tersebar luas, menjadi pengasuh pesantren, pendidik, birokrat agama, dan pemimpin masyarakat. Warisan intelektual dan spiritual yang ditinggalkan sangat bernilai: kombinasi antara keilmuan agama, karakter kuat, kedisiplinan, dan keberanian.

Makna dan Inspirasi dari Kisah Mereka

1. Keteguhan dalam Keyakinan: KH Amin Sepuh menunjukkan bahwa ulama bisa berada di garis depan perjuangan nasional, bukan hanya sebagai penceramah, tetapi sebagai pejuang.

2. Keteladanan Pendidikan: Keduanya menciptakan model pesantren salaf yang kuat, yang mendidik santri tidak hanya ilmu agama, tetapi jiwa kemandirian dan keberanian.

3. Semangat Rekonstruksi: Ketika pesantren diserang, bukan menyerah. KH Sanusi memimpin rekonstruksi pesantren sebagai simbol harapan dan keberlanjutan.

4. Warisan yang Luar Biasa: Alumni dan murid mereka menjadi pemimpin agama dan sosial di berbagai daerah — menunjukkan bahwa fondasi yang baik akan melahirkan buah yang luas dan berkelanjutan.

Hari ini, Jum'at yang penuh barokah, tanggal 21 November insya Alloh acara Haul untuk KH Amin Sepuh yang ke-55 dan Haul KH. Muhammad Sanusi yang ke-53.

Lahuma Alfatihah...

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar