Abstrak
Ilmu pengetahuan adalah instrumen fundamental dalam membangun peradaban manusia. Dalam pandangan Islam, ilmu tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga harus memberikan kemaslahatan (manfaat) bagi kehidupan. Artikel ini membahas posisi strategis ilmu dalam membentuk kemajuan dan kemaslahatan manusia dengan pendekatan multidisipliner—filosofis, etis, dan sosial. Dengan merujuk kepada pemikiran tokoh-tokoh klasik dan kontemporer serta telaah tekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, artikel ini menekankan perlunya orientasi nilai dalam pengembangan ilmu agar tidak menyimpang dari tujuan kemanusiaan dan keilahian.
Kata Kunci: Ilmu, kemajuan, kemaslahatan, Islam, etika, peradaban.
Pendahuluan
Ilmu memiliki posisi sentral dalam kehidupan umat manusia. Peradaban besar selalu bertumpu pada pengembangan ilmu yang berpadu dengan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. Islam sebagai agama yang menekankan pentingnya ilmu sejak wahyu pertama (“Iqra!”) menjadikan pengetahuan sebagai alat pembebasan, pencerahan, dan transformasi sosial.[1]
Namun, dalam konteks modern, tantangan baru muncul ketika ilmu dikembangkan secara sekuler dan kehilangan orientasi moralnya. Dalam situasi inilah penting untuk menegaskan kembali peran ilmu dalam membentuk kemajuan yang maslahat, bukan merusak.
1. Perspektif Epistemologis: Ilmu dalam Tradisi Islam
Islam memandang ilmu sebagai bagian dari iman. Ibn Rusyd dan Al-Ghazali sama-sama menekankan bahwa pencarian ilmu harus selaras dengan syariat dan akal. Ilmu tidak dibedakan antara "agama" dan "umum", sebab seluruh ilmu sejatinya berasal dari Allah.[2]
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menulis bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang mendekatkan manusia kepada Allah dan memberi manfaat bagi sesama.[3] Ilmu yang tidak bermanfaat disebut sebagai 'ilmun la yanfa’, yakni ilmu yang hanya menambah kebingungan dan kesombongan.
2. Ilmu sebagai Instrumen Kemajuan Peradaban
Peradaban Islam pada masa keemasan (Abad ke-8 hingga 14 M) menunjukkan bahwa ilmu dapat menjadi instrumen utama kemajuan. Kota Baghdad, Kairo, dan Andalusia menjadi pusat ilmu pengetahuan, di mana filsafat, matematika, astronomi, dan kedokteran berkembang pesat berkat keterbukaan dan dorongan religius dalam pencarian ilmu.[4]
Ilmuwan seperti Al-Khwarizmi, Ibn Sina, dan Ibn al-Haytham menunjukkan bahwa integrasi antara sains dan etika dapat menghasilkan peradaban yang unggul secara moral dan intelektual.[5]
3. Dimensi Etis Ilmu: Antara Manfaat dan Mudarat
Tanpa nilai, ilmu dapat disalahgunakan. Hal ini terlihat dalam perkembangan senjata biologis, manipulasi genetika, dan eksploitasi sumber daya alam yang merusak ekosistem. Seyyed Hossein Nasr mengkritik keras "sains modern" yang mengabaikan nilai-nilai spiritual, dan menyerukan kembali pada sacred science yang menghargai keseimbangan dan tauhid.[^6]
4. Ilmu dan Kemaslahatan Sosial
Ilmu yang dikembangkan harus menjawab kebutuhan masyarakat, memperkecil kesenjangan sosial, dan membangun kesadaran kritis. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyerukan bahwa pendidikan (ilmu) seharusnya membebaskan, bukan menindas.[7]
Dalam konteks Islam, maqashid al-syari’ah menekankan bahwa seluruh aktivitas, termasuk pencarian dan penggunaan ilmu, harus mengarah pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[8]
5. Implikasi Kebijakan: Membangun Masyarakat Ilmiah dan Etis
Pemerintah dan institusi pendidikan harus mendorong pengembangan ilmu berbasis nilai, bukan hanya mengejar publikasi atau industrialisasi. Model pendidikan yang menyeimbangkan aspek kognitif, afektif, dan spiritual diperlukan untuk melahirkan ilmuwan berakhlak.
Kesimpulan
Ilmu adalah anugerah sekaligus amanah. Ia bisa menjadi sumber keberkahan bila diarahkan kepada kemajuan yang maslahat, atau sebaliknya menjadi bencana jika terlepas dari nilai-nilai etik dan spiritual. Pengembangan ilmu dalam Islam harus bersifat integral—menggabungkan iman, akal, dan amal—agar kemajuan yang dicapai benar-benar mencerminkan kehendak Ilahi dan maslahat manusia.
Wallohu a'lam
Footnote:
[1]: Al-Qur’an, Surah Al-‘Alaq: 1-5
[2]: Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press, 1968.
[3]: Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Juz I. Dar al-Fikr, 2005.
[4]: Rosenthal, Franz. Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Leiden: Brill, 1970.
[5]: Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition. Brill, 2001.
[6]: Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. SUNY Press, 1989.
[7]: Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Continuum, 1970.
[8]: Al-Shatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar