Dalam konteks masyarakat yang terus mengalami perubahan sosial, dakwah tidak lagi dapat dipahami hanya sebagai aktivitas penyampaian ajaran agama secara verbal. Dakwah kini harus dikaji secara lebih mendalam melalui pendekatan ilmu sosial, khususnya sosiologi. Sosiologi dakwah menjadi kerangka analisis penting dalam memahami interaksi antara ajaran Islam dengan struktur sosial, perubahan nilai, serta dinamika masyarakat modern.
Dakwah kontemporer dihadapkan pada kompleksitas sosial seperti urbanisasi, pluralitas budaya, sekularisasi, dan digitalisasi. Kondisi ini menuntut pendakwah untuk tidak hanya menguasai materi keislaman, tetapi juga memiliki sensitivitas sosial dan kemampuan membaca konteks. Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat memberikan alat analisis yang membantu dakwah agar lebih relevan, efektif, dan mampu menyentuh aspek kehidupan masyarakat secara holistik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Jalaluddin, dakwah dalam konteks sosiologis merupakan proses komunikasi antara da'i dan mad'u dalam struktur sosial tertentu, yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, ekonomi, dan politik masyarakat tersebut. Oleh karena itu, keberhasilan dakwah sangat ditentukan oleh pemahaman terhadap konteks sosial yang melingkupi objek dakwah¹.
Pendekatan sosiologi dakwah juga menyoroti pentingnya lembaga sosial seperti keluarga, pendidikan, media massa, dan organisasi kemasyarakatan sebagai agen dakwah. Dalam masyarakat kontemporer, media sosial telah menjadi saluran dakwah yang sangat berpengaruh. Keberadaan para influencer Muslim atau dai digital menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji dalam konteks sosiologi dakwah, karena mereka tidak hanya menyampaikan pesan keagamaan, tetapi juga membentuk opini publik dan perilaku masyarakat².
Perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industrial, dan kini ke era digital, turut mengubah pola relasi sosial, cara beragama, dan preferensi keagamaan. Fenomena religiusitas simbolik, di mana individu menampilkan identitas keagamaannya secara visual tanpa diiringi pendalaman makna, menjadi tantangan bagi dakwah masa kini³. Dalam hal ini, pendekatan sosiologis dapat membantu mengevaluasi efektivitas dakwah dan merumuskan strategi yang adaptif.
Sosiologi dakwah tidak menafikan nilai-nilai normatif Islam, tetapi justru menguatkannya dengan pemahaman terhadap realitas sosial. Seperti ditegaskan oleh Quraish Shihab, dakwah harus hadir sebagai ajakan yang bijaksana dan penuh hikmah, bukan paksaan, karena masyarakat memiliki kompleksitas psikologis dan sosiologis yang harus dihargai⁴.
Dengan demikian, dakwah kontemporer menuntut pendekatan interdisipliner. Kolaborasi antara ilmu agama dan ilmu sosial, khususnya sosiologi, merupakan keniscayaan untuk menghasilkan praktik dakwah yang responsif, kontekstual, dan berkeadilan sosial. Pendakwah bukan sekadar penyampai pesan agama, tetapi juga agen perubahan sosial yang memiliki peran strategis dalam membentuk peradaban masyarakat modern.
Wallohu a'lam
Catatan Kaki:
1. Jalaluddin, Sosiologi Dakwah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 45.
2. H.M. Arifin, Ilmu Dakwah: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1997), hlm. 88.
3. Burhani, Ahmad Najib, Trend Islam Populer dan Simbolik di Indonesia, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 24, No. 2 (2017), hlm. 201–224.
4. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1999), hbbb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar