Gambar hanyalah pemanis tampilan
Kisah penuh hikmah
ketakketikmustopa.com, Di suatu sore yang cerah, setelah selesai mengajar di Kampus STID Al-Biruni Cirebon, Pak Arman segera bergegas mandi, lalu melaksanakan shalat Ashar yang dilanjutkan dengan tadarrus Al-Qur'an. Dengan penuh semangat, Pak Arman menyampaikan kepada anak-anaknya,
"Karena sekarang sudah memasuki Ramadhan hari ke-29, kita harus meningkatkan lagi ibadah di bulan Ramadhan."
Anak bungsunya, Ismi, yang sedang duduk di meja makan, terlihat agak cemberut.
"Tapi yah, Ismi belum beli baju baru,"
kata Ismi dengan suara pelan.
Begitu juga dengan kakak-kakaknya, Ahmad dan Furqon, yang turut mengeluh,
"Iya, sama, kami belum belum ada yang dibelikan baju baru lebaran."
Mendengar keluhan anak-anaknya, Pak Arman tersenyum dan berkata dengan penuh kasih sayang,
"Insya Allah besok kita pergi bersama ke Pasar Tegalgubug beli baju lebaran ya!."
Anak-anak pun tampak ceria, gembira mendengar janji ayahnya.
Namun, Pak Arman segera berkata,
"Eit, jangan gembira dulu. Ayah mau cerita sedikit tentang zaman dulu, mau nggak?"
Tanya Pak Arman dengan senyum di wajahnya. Anak-anak yang penasaran langsung bertanya,
"Cerita apa, yah, ayah?"
Pak Arman kemudian mulai bercerita dengan penuh rasa,
"Dulu, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, ada sebuah peristiwa yang sangat mengharukan di hari raya Idul Fitri."
Pak Arman melanjutkan ceritanya,
“Pada suatu hari raya, Rasulullah SAW keluar rumah untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Sementara itu, anak-anak kecil sedang bermain riang di jalanan, saling berlari, tertawa, dan bersuka cita. Namun, di sisi yang lain, ada seorang anak kecil yang duduk termenung, mengenakan pakaian yang sangat sederhana, dengan wajah murung. Ia tampak menangis tersedu-sedu.”
Anak-anak Pak Arman mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Pak Arman melanjutkan cerita,
"Rasulullah SAW melihat anak itu, lalu mendekatinya dan bertanya, 'Nak, mengapa kau menangis? Mengapa tidak ikut bermain bersama teman-temanmu?'"
Tanya Rasulullah.
Anak kecil itu, yang tidak mengenali bahwa orang di depannya adalah Rasulullah, menjawab dengan suara pilu,
“Paman, ayahku telah wafat saat berperang membela agama Allah. Ia gugur di medan perang, dan sejak itu aku tidak punya siapa-siapa. Ibuku menikah lagi, dan suaminya mengusirku dari rumah. Kini aku tidak punya apa-apa. Makanan, minuman, pakaian, bahkan rumah pun tidak lagi aku miliki. Aku merasa sangat kesepian, dan hari raya ini semakin mengingatkan aku betapa sedihnya hidupku tanpa ayah."
Melihat penderitaan anak itu, Rasulullah SAW merasa sangat terharu. Hati beliau sangat tersentuh oleh nasib anak yatim tersebut, yang harus merasakan kepedihan saat seharusnya menikmati kebahagiaan bersama ayah dan keluarganya.
Kemudian, Rasulullah SAW dengan lembut berkata,
"Nak, dengarkan baik-baik. Jika kau sudi, aku akan menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu, Ali menjadi pamanmu, Hasan dan Husein menjadi saudaramu, dan Fatimah menjadi saudaramu."
Anak kecil itu menatap dengan mata berbinar-binar dan akhirnya menjawab,
"Tentu saja, ya Rasulullah! Aku sangat bahagia, aku sudi!"
Dengan senyum penuh kasih, Rasulullah SAW membawa anak tersebut ke rumahnya. Di sana, anak yatim itu diberikan pakaian terbaik, makan dengan kenyang, dan bahkan diberikan wangi-wangian. Anak itu yang sebelumnya terlihat lusuh dan sedih, kini keluar dari rumah Rasulullah dengan wajah cerah dan senyum yang tidak terbendung.
Melihat perubahan yang begitu drastis pada anak tersebut, para sahabat yang melihatnya bertanya,
"Dulu kau menangis, kini kau tampak sangat gembira. Apa yang terjadi padamu?"
Anak itu dengan penuh kebahagiaan menjawab,
"Dulu aku lapar dan tidak berpakaian layak, tetapi sekarang aku kenyang dan mengenakan pakaian yang indah. Dulu aku merasa sebatang kara, tetapi sekarang aku punya keluarga yang sangat menyayangi dan peduli padaku. Rasulullah SAW adalah ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah saudariku. Apakah aku tidak bahagia?"
Melihat kebahagiaan anak itu, sahabat-sahabat Rasulullah merasa sangat tersentuh, dan ada di antara mereka yang berkata,
"Seandainya ayah kami juga gugur di medan perang, agar kami juga bisa menjadi anak angkat Rasulullah SAW."
Namun, waktu terus berlalu. Beberapa tahun setelah itu, Rasulullah SAW wafat, dan anak yang dulunya pernah merasakan kasih sayang beliau kini kembali merasa sepi. Ia keluar rumah sambil menaburkan debu ke atas kepalanya, menangis dengan pilu,
"Celaka, sungguh celaka. Kini aku kembali menjadi yatim, kembali merasa terasing dan kesepian."
Ujar anak kecil itu penuh kesedihan.
Melihat itu, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq segera memeluknya dan mengambil alih pengasuhan anak tersebut. Ia memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama seperti Rasulullah SAW lakukan.
Pak Arman mengakhiri ceritanya dengan mengatakan kepada anak-anaknya,
"Kisah ini mengajarkan kita banyak hal, anak-anak. Pertama, bahwa momen Idul Fitri adalah waktu yang penuh kebahagiaan, tetapi jangan lupa untuk melihat nasib orang lain yang mungkin sedang kekurangan dan bersedih. Seperti Rasulullah SAW yang melihat penderitaan anak yatim dan langsung bertindak dengan penuh kasih sayang. Kedua, kita diajarkan untuk memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan perhatian. Dan yang ketiga, kita harus selalu mengasihi anak yatim, karena di dalam Islam, ada banyak keutamaan bagi orang yang menyantuni dan mengurus anak yatim."
Anak-anak Pak Arman pun tersentuh oleh kisah itu dan merasa semakin bersemangat untuk berbagi kebahagiaan kepada sesama, terutama kepada anak-anak yang kurang beruntung.
Wallohu a’lam.
dikutip dari dari Kitab Durrotun Nasihin.
Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khuwairy salah satu ulama abad ke-13 dalam kitab Durratun Nashihin (hal. 278), menjelaskan salah satu hadis riwayat Anas bin Malik yang mengisahkan sosok anak yatim yang bersedih di hari raya Idul Fitri.
Pak Mus, kalo bisa rikuwes, bikin cerita inspiratif dimana ada karakter tokoh bernama Nesting dan Siku dong, Pak. Atau Prusik dan Kembang. Hehe. Makasih sebelumnya, Pak Musque ~
BalasHapus