Ada Cinta di Malam Takbiran

 

Gamba hanyalah pemanis tampilan 

Cerpen Dakwah Malam Takbiran

ketakketikmustopa.com, Ramadhan hampir berlalu, menyisakan malam-malam penuh kesibukan di Kampus STID Al-Biruni Cirebon. Sementara teman-teman seangkatannya telah pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga, Abdul Lathif memilih tinggal. Ia adalah seorang mahasiswa asli Purwokerto yang mendedikasikan dirinya sebagai marbot Masjid Al-Biruni. Baginya, mengabdi di rumah Allah lebih bermakna dibanding perjalanan mudik.

Di pekan terakhir Ramadhan, tugasnya semakin padat. Ia menjadi panitia penerima zakat, mencatat nama-nama mustahik, serta memastikan setiap hak sampai kepada yang berhak. Kesibukannya tidak menyisakan banyak waktu untuk beristirahat. Namun, ia tetap melakukannya dengan penuh keikhlasan.

Di antara kesibukan itu, ada sepasang mata yang diam-diam mengamati gerak-geriknya. Siti Humairoh, putri seorang dosen psikologi, yang rumahnya berada di kompleks perumahan dosen, tak perlu mudik ke mana-mana. Setiap kali ia melihat Abdul Lathif, ada perasaan aneh yang bergetar di hatinya. Suara qiroahnya yang merdu sering menggema dalam pengajian kampus, seakan mampu menembus kalbu siapa pun yang mendengarnya.

Malam takbiran pun tiba. Abdul Lathif mengumandangkan takbir dengan suara yang menggema di seluruh kawasan kampus. Getaran takbirnya membawa ketenangan dan kebahagiaan bagi setiap pendengar. Siti yang sedang duduk di beranda rumahnya ikut terpukau. Ada sesuatu dalam suara itu yang menyentuh jiwanya.

Di dalam kamar, Siti tanpa sadar ikut melantunkan takbir mengikuti suara merdu Abdul Lathif. Ia menutup matanya, membiarkan suaranya bergetar bersama gema takbiran yang memenuhi malam kemenangan itu. Hatinya merasa tenang, namun di saat yang sama, ada perasaan yang sulit ia jelaskan.

Menjelang larut malam, Siti membawa nampan berisi secangkir kopi, air panas, dan semangkuk opor ayam buatan ibunya. Ia berjalan menuju Masjid Al-Biruni dengan hati berdebar. Setibanya di sana, ia melihat Abdul Lathif sedang duduk di serambi masjid, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.

"Mas Lathif, ini saya bawakan kopi dan makanan," 

ujar Siti dengan suara lirih.

Lathif menoleh dan pandangan mereka bertemu. Seketika, ada sesuatu yang menggetarkan jiwa masing-masing. Mata mereka seakan berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Jantung Siti berdegup kencang, tangannya gemetar, dan tiba-tiba...

Brak! Gelas yang ada di atas nampan terjatuh. Untungnya, gelas itu terbuat dari melamin, sehingga tidak pecah. Siti terkejut, wajahnya memerah karena malu.

"Astaghfirullahal'adzim..." 

Seru mereka hampir bersamaan.

Siti berdeham pelan, mencoba menutupi kegugupannya. 

"Ada apa, Mas Lathif?"

"Ngga ada apa-apa," 

Jawab Lathif, berusaha menenangkan diri.

Namun, malam itu telah meninggalkan jejak di hati mereka berdua. Sejak pertemuan itu, mereka saling menyimpan rasa.

Pagi harinya, saat salat Idul Fitri hendak dimulai, panitia masjid dikejutkan dengan kabar bahwa Prof. Dr. H. Kurtubi, Wakil Rektor III yang seharusnya menjadi khatib, berhalangan hadir karena suatu hal. Situasi mendesak membuat panitia mencari pengganti, dan dengan sigap, Abdul Lathif diminta untuk menggantikannya.

Dengan penuh keyakinan, Lathif naik ke mimbar. Suaranya tegas dan lugas, menyampaikan khutbah tentang "Hikmah Idul Fitri dan Kembali ke Fitri". Kata-katanya menyentuh hati setiap jamaah, mengingatkan mereka bahwa kemenangan sejati bukan hanya dalam perayaan, tetapi dalam keberhasilan melawan hawa nafsu dan kembali menjadi manusia yang lebih baik.

Di antara jamaah, Dr. Busyairi, ayah Siti Humairoh, duduk dengan khusyuk mendengarkan. Awalnya, ia hanya menganggap Lathif sebagai mahasiswa biasa, namun hari itu, ia melihat sosok yang berbeda. Keilmuan, ketegasan, dan kefasihan Lathif dalam menyampaikan khutbah membuatnya terkagum-kagum. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya.

Usai salat, Dr. Busyairi menghampiri Lathif. Dengan suara penuh ketulusan, ia berkata, 

"Anak muda, khutbahmu luar biasa. Aku ingin mengenalmu lebih dalam. Jika kau memang serius, datanglah ke rumah."

Siti yang mendengar itu tersenyum haru. Hatinya berbisik, 

"Malam kemenangan ini benar-benar membawa berkah."

Dan seminggu setelah Idul Fitri itu, Abdul Lathif resmi diterima sebagai tunangan Siti Humairoh. Malam takbiran yang penuh kenangan kini berubah menjadi awal kisah cinta yang diberkahi Allah.

-Tamat- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar