Cinta di Jum'at Terakhir Ramadhan

Gambar hanyalah pemanis tampilan 

Cerpen Ramadhan Hari Ke-28

ketakketikmustopa.com, Ramadhan hampir berakhir. Kampus STID Al-Biruni Cirebon telah memasuki masa libur, tetapi bagi para aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), libur lebaran bukanlah prioritas utama. Laporan kegiatan harus segera diselesaikan sebelum Idulfitri. Beberapa mahasiswa bahkan tidak bisa pulang kampung karena jarak yang terlalu jauh, seperti anak-anak dari Larantuka, NTT, yang memilih tetap di kampus.

Di antara para aktivis BEM, ada Halimah—gadis sederhana, aktif di berbagai kegiatan dakwah kampus, dan dikenal santun serta cerdas. Ia diam-diam menyimpan perasaan pada Hasan, Ketua BEM yang gagah, berwibawa, dan anak dari keluarga terpandang. Namun, jurang perbedaan antara mereka membuatnya hanya bisa memendam rasa.

Jumat terakhir di bulan Ramadhan, pengurus BEM mengadakan buka puasa bersama di sekretariat kampus. Sebelum berbuka, Pak Arman, dosen mereka, memberikan tausiyah singkat.

"Ramadhan akan segera berlalu, anak-anakku. Jangan sia-siakan sisa waktu ini. Malam-malam terakhir adalah waktu terbaik untuk memohon ampunan dan keberkahan. Jangan sampai kita menyesal setelah Ramadhan pergi."

Setelah tausiyah, Pak Arman pamit lebih dulu. Hasan, sebagai ketua BEM, menawarkan diri untuk mengantar dosennya pulang.

"Saya antar, Pak. Kebetulan mobil saya ada di parkiran."

Tanpa pikir panjang, Halimah ikut menawarkan diri.

"Boleh saya ikut, Mas Hasan? Saya juga ingin sekalian bertanya soal program kerja BEM pasca-Ramadhan."

Hasan melirik Halimah dan tersenyum. "Boleh, sekalian jadi navigator ya."

Di perjalanan, suasana mobil terasa nyaman. Hasan sesekali bercanda, sementara Halimah dengan sopan menanggapinya. Setelah mengantar Pak Arman, Hasan menoleh ke Halimah.

"Mau langsung balik ke kampus atau kita cari tempat buka puasa di luar?"

Halimah berpikir sejenak, lalu menjawab, "Bagaimana kalau di kantin Masjid At-Taqwa saja? Sekalian kita bisa shalat Maghrib di sana."

"Setuju! Iya, iya, Bu Ustadzah Halimah, selalu ingat ibadah," goda Hasan sambil terkekeh.

Halimah tersenyum, wajahnya sedikit memerah. Mereka tiba di kantin Masjid At-Taqwa tepat saat bedug maghrib berbunyi. Hasan menyeruput es teh dengan wajah sumringah.

"Awas, batal puasanya Mas Hasan, jangan menggoda terus," sindir Halimah sambil tertawa kecil.

Tanpa disadari, obrolan mereka semakin akrab. Teman-teman BEM seperti Puji, One, dan Lila yang tahu hubungan mereka pun mendukung agar Hasan dan Halimah serius.

Namun, ada satu halangan yang mengganjal di hati Halimah. Ia berasal dari keluarga sederhana, sedangkan Hasan adalah anak orang kaya. Jurang perbedaan itu terasa begitu nyata.

Suatu hari, di teras masjid setelah Tarawih, Halimah memberanikan diri berbicara.

"Mas Hasan, aku sadar aku bukan siapa-siapa. Aku nggak punya apa-apa. Mungkin lebih baik kita tetap seperti ini saja, sebagai teman..."

Hasan menatap Halimah dengan serius. "Halimah, kamu pikir aku hanya melihat materi? Aku melihat kesederhanaanmu sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Aku melihat ketulusan dan kebaikan hatimu. Itu lebih berharga daripada harta."

Halimah terdiam, menatap Hasan dengan mata berkaca-kaca.

"Jadi... Mas Hasan benar-benar memilih aku?"

Hasan mengangguk mantap. "Ya. Aku memilihmu, Halimah. Di penghujung Ramadhan ini, aku ingin memulai sesuatu yang lebih baik. Aku ingin bersamamu, bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai pendamping hidup."

Air mata Halimah jatuh, bukan karena sedih, tetapi karena haru. Cinta yang ia kira tak mungkin, kini menjadi nyata di Jum’at terakhir Ramadhan.

-Tamat- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar