Jangan Marah

 

Gambar hanyalah pemanis tampilan 

Cerpen Ramadhan Hari Ke-12

letakketikmustopa.com, Senja menyelimuti kampus STID Al-Biruni Babakan Ciwaringin Cirebon. Halaman kampus mulai dipenuhi mahasiswa dan dosen yang datang bersama keluarga untuk menghadiri acara buka bersama civitas akademika. Tradisi ini selalu menjadi momen istimewa, bukan hanya sebagai ajang silaturahmi, tetapi juga sebagai ladang ilmu dan hikmah.

Pak Dr. Amran, M.Ag., datang bersama istrinya, Bu Ratna, serta ketiga anak mereka: Ahmad, Furqon, dan Ismi. Ketika mereka memasuki aula utama, aroma makanan khas Ramadhan mulai tercium, menambah suasana hangat kebersamaan.

Acara dibuka dengan tilawah Al-Qur’an, lalu dilanjutkan dengan tausiyah Ramadhan bertema “Jangan Marah” yang dibawakan oleh Pak Amran. Di atas podium, ia tersenyum dan memulai dengan sebuah kisah.

“Suatu ketika, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Berilah aku wasiat.’ Rasul menjawab, Jangan marah! Orang itu mengulang pertanyaannya beberapa kali, tapi Rasul tetap menjawab, Jangan marah!”

Para hadirin menyimak dengan antusias. Di antara mereka, seorang mahasiswa bernama Husen mengangkat tangan.

“Pak, apakah marah itu selalu buruk?” 

Tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Pak Amran tersenyum. 

"Tidak selalu, Husen. Imam Al-Ghazali membagi marah menjadi tiga: marah yang terpuji, marah yang tercela, dan marah yang dibolehkan. Jika marah karena membela agama Allah, seperti ketika melihat kemungkaran, itu adalah marah yang terpuji. Tapi kalau marah karena hawa nafsu, misalnya karena tersinggung atau tidak mendapat apa yang diinginkan, itu marah yang tercela.”

Azizah mahasiswi yang dikenal humoris, ikut bertanya, 

“Pak, saya sering dengar kalau marah itu dari setan. Tapi kalau kita lagi puasa, kan lapar dan haus, terus ada yang bikin emosi. Gimana caranya supaya tetap bisa sabar?”

Tawa kecil terdengar dari para mahasiswa yang sependapat dengan Azizah.

Pak Amran tersenyum dan menjawab, 

"Benar Azizah, Rasulullah mengajarkan beberapa cara untuk mengendalikan marah. Pertama, jika kamu marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika masih marah, berbaringlah. Kedua, berwudhulah, karena air bisa memadamkan api kemarahan. Ketiga, diam. Jangan membalas dengan kata-kata yang bisa memperburuk keadaan.”

Di barisan keluarga dosen, Ahmad, anak pertama Pak Amran yang sudah kelas XII SMA, ikut menyimak dengan serius. Ia menoleh ke ibunya, Bu Ratna, lalu berbisik, 

"Ibu, tadi pagi Ahmad hampir marah sama Furqon karena dia nyembunyiin handphone Ahmad. Berarti Ahmad harus lebih sabar, ya?”

Bu Ratna tersenyum dan mengangguk. 

“Iya, Nak. Kalau Furqon usil, lebih baik ingat hadis Rasulullah tadi, jangan marah.”

Furqon, yang mendengar percakapan itu, malah terkekeh. 

“Abang Ahmad kalau marah lucu, kayak kerupuk masuk air.”

Ahmad melirik adiknya dengan sebal, tapi lalu teringat pesan ayahnya. Ia menarik napas panjang, lalu mengelus kepala Furqon. 

“Oke, mulai sekarang, abang nggak bakal gampang marah lagi.”

Ismi, si bungsu, ikut menyela dengan polos, 

"Berarti kalau aku nangis karena marah, aku harus duduk atau tidur aja ya, Yah?”

Semua orang di sekitarnya tertawa. Pak Amran pun tersenyum dan membalas, 

"Iya, Ismi. Tapi lebih baik kamu sabar, ya?”

Di aula, mahasiswa lain masih semangat bertanya. Nurul mengangkat tangan. 

"Pak, bagaimana kalau kita sudah berusaha menahan marah, tapi orang lain justru terus memancing emosi kita?”

Pak Amran mengangguk. 

“Sabar adalah kunci. Rasulullah adalah teladan terbaik dalam menghadapi provokasi. Jika orang lain memancing emosi kita, jangan terbawa suasana. Ingatlah, menahan marah adalah tanda kekuatan sejati.”

Kodim, mahasiswa yang jarang berbicara, ikut bertanya, 

“Pak, kalau kita pernah marah dan menyakiti orang lain, apa yang harus kita lakukan?”

Pak Amran tersenyum. 

“Kalau sudah terlanjur marah dan menyakiti orang lain, kita harus segera meminta maaf dan berusaha memperbaiki kesalahan. Rasulullah bersabda, ‘Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.’ Jadi, jangan ragu untuk meminta maaf dan belajar dari kesalahan.”

Diskusi berjalan seru hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang. Semua hadirin menghela napas lega dan tersenyum.

Saat berbuka, Ahmad menatap ayahnya dan berkata, 

“Ayah, mulai sekarang Ahmad mau belajar menahan marah. Kalau Furqon usil, Ahmad nggak akan marah-marah lagi.”

Furqon tertawa terkekeh, 

"Tapi abang jangan pura-pura sabar terus nyubit aku diam-diam, ya.”

Tawa keluarga Pak Amran pecah di tengah kehangatan buka puasa. Dari ceramah sore itu, satu pesan penting terus teringat jngan marah!

-Tamat- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar