Gambar hanyalah pemanis tampilan
Cerpen Ramadhan Hari Ke-13
ketakketikmustopa.com, Di bawah langit Ramadhan yang penuh berkah, di serambi masjid pesantren yang tenang, Ustadz Solehudin duduk termenung. Bayangan Khodijah, santri khodimah yang lembut dan anggun, menari-nari di benaknya. Permintaan Pak Kiai Arifudin untuk menjodohkannya dengan Khodijah masih menggema di telinganya. Bukannya Solehudin tak mendambakan cinta dan pernikahan, namun rasa tak layak menyelimuti hatinya.
"Saya ini orang tak punya, Pak Kiai," gumamnya siang tadi.
Pak Kiai hanya tersenyum bijaksana,
"Coba diistikharahkan dulu, Soleh." Kata pak Kyai.
Malam itu, saat bulan sabit Ramadhan memancarkan cahaya suci, Solehudin berwudhu. Air membasuh dahaga hatinya yang gersang, membasuh keraguan yang membelenggu. Dalam sunyi kamar kecilnya, ia menunaikan shalat istikharah, doa-doa menggema di antara hening, memohon petunjuk Ilahi. Ia berharap, Allah SWT akan menunjukkan jalan cinta yang diridhoi-Nya. Jika Khodijah adalah takdirnya, semoga dimudahkan. Jika bukan, semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik.
Hari-hari berlalu, seperti untaian tasbih yang diputar perlahan. Setiap malam, Solehudin mengulangi istikharah, hatinya berdebar-debar menanti jawaban. Suatu hari, ia melihat Khodijah membimbing santri kecil mengaji. Suaranya, lembut seperti bisikan angin malam, menghiasi ayat-ayat suci. Di sana, di tengah cahaya Ramadhan yang lembut, hati Solehudin bergetar, terpikat oleh keindahan hati Khodijah.
Malamnya, di bawah gemerlap bintang, Solehudin mengetik pesan WA untuk Khodijah. Jari-jarinya gemetar, seperti dedaunan yang diterpa angin sepoi-sepoi. Setelah menghela napas panjang, ia mengetik:
"Assalamu’alaikum, Khodijah. Maaf mengganggu. Saya ingin menyampaikan sesuatu. Pak Kiai ingin menjodohkan kita. Saya sudah istikharah berkali-kali, dan hati saya semakin mantap. Ini mendadak, saya tahu. Saya tak memaksa, tapi saya ingin tahu pendapatmu."
Pesan terkirim. Jantung Solehudin berdebar-debar, menanti jawaban yang baginya lebih berharga dari emas. Menit berlalu, menit yang terasa seperti jam, hingga akhirnya, ponselnya bergetar. Pesan dari Khodijah:
"Wa’alaikumsalam, Ustadz. Saya juga sudah mendengar dari Pak Kiai. Sejujurnya, saya tak tahu harus menjawab apa. Saya hanya santri biasa, tak punya apa-apa. Tapi jika ini kehendak Allah, saya pasrah dan siap menerima keputusan terbaik."
Kata-kata Khodijah bagai embun pagi yang menyejukkan. Ketulusan terpancar dari setiap kalimatnya. Solehudin membalas pesan itu dengan senyum yang melukiskan kedamaian:
"InsyaAllah, jika ini jalan yang Allah tunjukkan, kita jalani dengan niat ibadah. Semoga Allah mudahkan."
Di seberang sana, Khodijah membaca pesan itu dengan air mata bahagia membasahi pipinya. Hatinya tenang, dipenuhi rasa syukur dan cinta yang suci. Ini bukan sekadar perasaan manusia, tetapi petunjuk Ilahi menuju keberkahan.
Keesokan harinya, Pak Kiai kembali bertanya. Kali ini, Solehudin menjawab dengan keyakinan yang teguh,
"Insya Allah, Pak Kiai. Saya siap."
Pak Kiai tersenyum lebar,
"Kalau begitu, kita persiapkan semuanya dengan baik. Barokahnya istikharah dan barokahnya Ramadhan."
Di bawah langit Ramadhan, cinta Solehudin dan Khodijah mekar, seindah bunga teratai yang tumbuh di tengah kolam yang tenang. Cinta yang diiringi doa, cinta yang terlahir dari istikharah, cinta yang diridhoi Allah SWT. Cinta yang suci dan abadi.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar