Gambar hanya pemanis tampilan
Cerpen Dakwah
ketakketikmustopa.com, Di sudut kamar kos yang berantakan, Rafli duduk termenung. Kepalanya terasa berat, bukan karena mabuk seperti malam-malam sebelumnya, tetapi karena pikirannya penuh sesak. Pesan terakhir dari Sinta, pacarnya yang masih mondok di pesantren, terus terngiang di benaknya. Sinta selalu mengingatkan Rafli agar sadar jangan menuruti hawa nafsu, tapi Rafli tidak mendengar nasihat Sinta.
"Kita putus saja. Jangan pernah menghubungi saya kalau kamu tidak mau bertaubat."
Kata-kata itu menusuk hatinya lebih dalam dari apa pun. Rafli mengusap wajahnya, menarik napas panjang. Selama ini ia hidup dalam kebebasan yang semu—mabuk, judi online, dan pergaulan yang jauh dari ajaran agama. Ia tahu, orang tuanya sudah ke sana kemari mencari pertolongan, menemui banyak kyai agar anaknya bisa berubah. Namun, semua itu tidak membuahkan hasil.
Tapi malam ini, hatinya terasa begitu kosong.
Malam Nisfu Sya’ban.
Dari kecil, ibunya selalu mengajarkan bahwa malam ini adalah malam penuh ampunan malam pergantian catatan amal baik kita di dunia. Tapi selama bertahun-tahun, ia mengabaikannya, sibuk dengan kehidupan yang ia anggap lebih ‘menyenangkan’. Namun kali ini, entah kenapa, ada sesuatu yang menggerakkannya. Dengan langkah gontai, ia mengambil air wudlu, lalu berdiri di atas sajadah yang sudah lama terbengkalai di sudut kamar.
"Allahu Akbar"
Ia bersujud lebih lama dari biasanya. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Selama ini, ia begitu keras kepala, menolak hidayah yang datang dari mana saja—dari orang tuanya, dari para kiai, bahkan dari Sinta. Tapi kini, hatinya terasa luluh. Ia teringat betapa ibunya selalu menangis dalam doa, betapa ayahnya terus bekerja keras membiayai kuliahnya yang nyaris gagal.
"Ya Allah... Ampuni aku. Aku sudah terlalu jauh tersesat. Aku ingin kembali..."
Ia menangis sejadi-jadinya, merasakan ketenangan yang sudah lama tak ia rasakan. Malam itu, di bawah langit Nisfu Sya’ban, Rafli mengambil keputusan yang akan mengubah hidupnya. Ia tak ingin lagi menjadi beban bagi orang tua, tak ingin lagi mengkhianati kepercayaan mereka.
Keesokan harinya, ia menghubungi ibunya lewat telepon. Suara sang ibu terdengar bergetar ketika mendengar suara anaknya yang selama ini sulit dihubungi.
"Bu... Rafli mau pulang," katanya lirih.
Di ujung telepon, terdengar isak tangis bahagia. Malam Nisfu Sya’ban telah menjadi saksi kembalinya seorang anak yang hampir kehilangan segalanya.
Catatan Rafli malam ini menjadi berganti dengan catatan yang lebih baik, ia sadar betul bahwa hidup di bawah naungan agama lebih nyaman dan damai.
-Tamat-

Tidak ada komentar:
Posting Komentar