Kuliah Sambil Jualan Roti Bakar

 

Gambar ilustrasi pedagang roti bakar 

Cerpen 

ketakketikmustopa.com, Matahari pagi mulai menghangatkan jalanan Desa Sukamaju. Hikam duduk di bangku kayu di perempatan desa, menunggu bus Luragung yang akan membawanya ke Jakarta. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya sibuk mengipas roti bakar di atas gerobaknya. Aroma mentega yang meleleh dan roti yang mulai kecokelatan menguar di udara.

"Anak muda, mau ke mana?" tanya pria itu ramah.

"Mau ke Jakarta, Mang. Cari kerja," jawab Hikam sambil tersenyum.

Pria itu tertawa kecil. "Nama saya Bandi, orang-orang di sini biasa panggil Mang Bandi. Kamu baru lulus SMA ya?"

"Iya, Mang. Di desa banyak teman saya langsung kerja di pabrik sepatu. Tapi saya ingin coba peruntungan di Jakarta," jawab Hikam.

Mang Bandi mengangguk pelan. "Hmm… cari kerja di Jakarta itu nggak gampang, Dik. Saingannya banyak, biaya hidup tinggi. Kadang kerja seharian, habis juga buat makan dan bayar kos. Nggak ketemu untungnya."

Hikam terdiam, memikirkan ucapan itu. "Terus, menurut Mang Bandi, saya harus gimana?"

Mang Bandi tersenyum, tangannya tetap lincah membolak-balik roti. "Kamu lihat saya ini, cuma jualan roti bakar di depan sekolah. Tapi penghasilannya lumayan. Sehari bisa dapat Rp 100 ribu sampai 200 ribu. Sebulan berapa? Udah lebih dari cukup buat makan dan hidup sederhana. Kontrakan pun gratis, soalnya saya jaga lingkungan sekolah."

Hikam mengernyit, mulai tertarik. "Serius, Mang?"

"Iya, Dik." ucap Mang Bandi penuh nasihat.

Hikam termenung. Niatnya pergi ke Jakarta memang untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Tapi apakah kerja serabutan di kota besar benar-benar akan membawanya ke kehidupan yang lebih baik? Atau malah sebaliknya, terseret dalam kerasnya perjuangan hidup tanpa arah yang jelas?

---

Bus yang ditungu akhirnya datang. Hikam berdiri, siap naik. Namun, langkahnya terhenti. Hatinya bimbang. Ia menoleh ke Mang Bandi yang masih sibuk melayani pelanggan.

"Mang Bandi, kalau saya ikut jualan sama Mang, bisa nggak?" tanya Hikam tiba-tiba.

Mang Bandi terkejut, lalu tertawa senang. "Bisa dong! Alhamdulillah, ada yang bantuin."

Sejak hari itu, Hikam resmi menjadi pedagang roti bakar. Mang Bandi menempatkannya di depan SD Negeri Harapan Jaya, sementara Mang Bandi tetap di depan SMP Negeri Harapann Jaya. Hikam belajar bagaimana memanggang roti dengan sempurna, membuat pelanggan senang, dan mengelola keuangan.

Sebulan berlalu, Hikam mulai merasakan stabilitas keuangan. Ia pun mulai memikirkan saran Mang Bandi untuk kuliah.

"Mang, saya mau kuliah. Tapi di mana ya yang bagus?" tanya Hikam suatu sore saat mereka sedang merapikan gerobak.

"Kalau bisa, di STID Al-Biruni Cirebon. Anak saya dosen di sana," jawab Mang Bandi santai.

"Hah? Serius, Mang?" Hikam terkejut.

"Iya. Itu kampus bagus, banyak yang kuliah sambil kerja juga. Kamu bisa jualan pagi, kuliah bakda Zuhur sampai sore," jelas Mang Bandi.

Hikam semakin bersemangat. Ia merasa menemukan jalan hidupnya.

---

Beberapa minggu kemudian, Hikam resmi menjadi mahasiswa STID Al-Biruni Cirebon. Ia kini tinggal di rumah kontrakan Mang Bandi, berjualan roti bakar di pagi hari, dan menuntut ilmu di siang hari.

Suatu sore, setelah selesai kuliah, Hikam duduk bersama Mang Bandi di depan gerobak roti.

"Mang, terima kasih ya. Kalau dulu saya tetap ke Jakarta, mungkin sekarang saya masih bingung cari kerja," kata Hikam dengan penuh rasa syukur.

Mang Bandi tersenyum. "Jangan gengsi, jangan malu, Dik. Kalau punya keinginan besar, kita harus ikhtiar. Sekalipun kita cuma pedagang roti bakar, Allah pasti akan mengangkat derajat kita kalau kita bersungguh-sungguh."

Hikam mengangguk mantap. Ia kini sadar, sukses bukan soal di mana seseorang bekerja, tapi seberapa besar usaha dan keyakinannya dalam meraih impian.

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar