Gambar hanya pemanis tampilan
ketakketikmustopa.com, Musim durian tiba di desa kecil tempat pesantren Darul Hikmah berdiri. Aroma durian yang menyengat memenuhi udara, membawa ingatan banyak orang pada masa kecil mereka—terutama bagi Hasan, seorang santri yang sejak kecil tinggal di pesantren.
Hasan dikenal sebagai santri yang teguh pendirian. Baginya, hidup adalah tentang ilmu dan ibadah. Urusan cinta? Itu belum ada dalam kamus hidupnya. Ia selalu menghindari pembicaraan tentang perasaan, apalagi tentang perempuan.
Namun, takdir berkata lain.
Suatu hari, Kyai Sahal, pimpinan pesantren, meminta Hasan membantu panen durian di kebun milik pesantren. Hasan menerima tugas itu dengan senang hati. Namun, ia tidak menyangka bahwa tugas tersebut akan mempertemukannya dengan Aisyah, putri dari Pak Kyai Sahal, pemilik kebun durian terbesar di desa itu.
Aisyah adalah gadis sederhana yang suka membantu ayahnya di kebun. Ia ramah, sopan, dan selalu tersenyum. Namun, bagi Hasan, pertemuan itu tidak berarti apa-apa. Ia tetap menjaga pandangan dan fokus pada tugasnya.
Suatu sore, ketika mereka tengah mengumpulkan durian yang jatuh, hujan tiba-tiba turun dengan deras. Hasan dan Aisyah berteduh di bawah gubuk kecil di tengah kebun.
"Mas Hasan, kenapa selalu menjaga jarak dengan perempuan?" tanya Aisyah tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana.
Hasan terdiam sejenak sebelum menjawab,
"Bukan menjaga jarak, hanya saja... saya belum berpikir ke arah sana. Bagi saya, hidup ini adalah tentang mencari ilmu dan beribadah."
Aisyah tersenyum.
"Tapi bukankah cinta juga bagian dari ibadah?" Tanya Aisyah.
Hasan tertegun. Ia tidak menyangka gadis sederhana ini bisa berbicara sedalam itu.
Hari-hari berlalu, dan musim durian semakin mendekati akhir. Selama bekerja bersama di kebun, Hasan mulai melihat sesuatu yang berbeda dari Aisyah.
Kelembutan hatinya, ketulusan dalam membantu orang lain, serta kecerdasannya dalam berbicara membuat Hasan mulai berpikir ulang tentang makna cinta.
Suatu hari, saat panen durian terakhir, Hasan menemukan durian terbaik—besar, berduri tajam, dan aromanya sangat harum. Dengan ragu-ragu, ia menyerahkannya kepada Aisyah.
"Untukmu," kata Hasan singkat.
Aisyah tersenyum, menerima durian itu dengan kedua tangan. Ia paham, ini bukan sekadar buah biasa. Ini adalah tanda bahwa hati seorang santri akhirnya luluh oleh ketulusan.
Sebab, seperti durian yang manis meski berduri, cinta yang berlandaskan iman juga indah meski penuh ujian.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar