ketakketikmustopa.com, Senja mulai turun di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Malik duduk di serambi masjid pesantren, memandangi burung-burung yang pulang ke sarangnya. Hatinya terasa kosong, meski di sekelilingnya terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari para santri.
"Kenapa aku masih merasa sendiri di tempat ini?" gumamnya pelan.
Sejak kecil, Malik selalu merasa diabaikan oleh ayahnya, Ustaz Rahman. Sang ayah lebih sering menghabiskan waktunya untuk berdakwah daripada bersama keluarga. Saat ibunya wafat beberapa tahun lalu, luka di hatinya semakin dalam. Ia merindukan pelukan seorang ayah, tapi yang ia dapatkan hanya kesibukan dan jarak.
Malam itu, ia duduk sendirian di halaman pesantren. Angin berembus dingin, tapi tidak sedingin hatinya. Tiba-tiba, seorang ustaz muda duduk di sampingnya.
“Kenapa termenung sendiri, Malik?”
Tanya Ustaz Farid dengan suara lembut.
Malik menghela napas panjang.
"Aku merasa hampa, Ustaz. Aku ingin pulang, tapi aku benci berada di rumah."
Ustaz Farid tersenyum.
"Benci? Apa yang membuatmu merasa begitu?"
"Sejak kecil, aku tidak pernah benar-benar merasakan kehadiran Ayah. Baginya, umat lebih penting daripada aku dan Ibu. Saat Ibu meninggal, Ayah tidak berubah. Dia tetap sibuk dengan ceramah dan dakwahnya. Aku muak, Ustaz. Aku pergi dari rumah, berharap bisa menemukan kebahagiaan di luar sana. Tapi nyatanya, aku tetap merasa kosong."
Ustaz Farid menatap langit sejenak, lalu berkata pelan,
“Malik, apakah kamu tahu, Rasulullah juga kehilangan ayah dan ibunya di usia yang sangat muda? Tapi apakah beliau menyimpan kebencian di hatinya?"
Malik terdiam.
"Kamu merasa kehilangan kasih sayang ayahmu, tapi pernahkah kamu mencoba memahami bebannya? Bisa jadi, dalam kesibukannya, ia juga merindukanmu, tapi tak tahu bagaimana mengungkapkannya," lanjut Ustaz Farid.
Malik mengepalkan tangannya.
"Tapi aku sudah terluka, Ustaz."
“Berdakwah itu berat, Malik. Ada orang yang terpaksa mengorbankan banyak hal, termasuk keluarganya. Aku tidak bilang ayahmu benar atau salah, tapi aku ingin bertanya… apakah hatimu tidak lelah menanggung kebencian itu?”
Malik terdiam lama. Angin malam berembus pelan, seolah membawa perasaan baru ke dalam dadanya.
“Lalu… apa yang harus aku lakukan?” tanyanya lirih.
Ustaz Farid tersenyum.
"Pulanglah, temui ayahmu, dan berbicaralah dengannya. Terkadang, luka bukan untuk dihindari, tapi untuk dipahami."
Pertemuan yang Menghangatkan
Keesokan harinya, dengan langkah ragu, Malik pulang ke rumahnya. Saat pintu terbuka, ia melihat sosok yang sudah lama tidak ia jumpai. Ustaz Rahman terlihat lebih tua dari yang ia ingat. Rambutnya mulai memutih, dan garis-garis kelelahan terlihat jelas di wajahnya.
"Malik…"
Suara ayahnya bergetar, seolah tak percaya melihat putranya kembali.
Malik menelan ludah. Hatinya masih diliputi amarah, tapi ada sesuatu yang menahannya.
"Aku pulang," katanya singkat.
Ayahnya tersenyum, lalu melangkah mendekat.
"Alhamdulillah… Aku selalu berdoa agar kau kembali, Nak."
Malik menunduk.
"Ayah… aku ingin bertanya. Kenapa Ayah selalu memilih umat daripada keluarga? Kenapa Ayah tidak pernah ada untukku dan Ibu?"
Ustaz Rahman menghela napas panjang.
"Nak, aku tidak pernah memilih umat daripada keluargaku. Tapi aku terjebak dalam pemikiran bahwa dakwah adalah segalanya, hingga aku lupa bahwa keluargaku juga membutuhkan dakwah dalam bentuk perhatian dan kasih sayang."
Malik terdiam. Dadanya terasa sesak.
"Ayah menyesal?" tanyanya lirih.
Sang ayah mengangguk, matanya berkaca-kaca.
"Sangat, Nak. Tapi aku tak tahu bagaimana memperbaikinya. Aku hanya bisa berdoa agar suatu hari kau bisa memaafkanku."
Saat itu, air mata Malik jatuh. Ia melihat bukan hanya seorang ayah yang tegas, tapi juga seorang manusia yang menyesali kesalahannya.
Perlahan, Malik melangkah maju dan memeluk ayahnya.
"Aku juga ingin memaafkan, Ayah. Aku ingin berdamai dengan luka ini."
Dalam pelukan itu, semua beban yang selama ini ia pikul perlahan luruh. Ia menyadari bahwa kebencian tidak pernah menyembuhkan luka, tapi memaafkan bisa.
Sejak hari itu, hubungan mereka mulai membaik. Malik tidak hanya menjadi anak yang lebih dekat dengan ayahnya, tapi juga mulai belajar berdakwah. Ia sadar, dakwah bukan hanya tentang ceramah dan tausiyah, tapi juga tentang memahami, memaafkan, dan menyembuhkan hati yang terluka.
Sebab, berdamai dengan luka bukan berarti melupakan, tapi menjadikannya bagian dari perjalanan menuju Allah.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar