Aku, Kamu di Jalan Dakwah

 

Gambar ilustrasi mahasiswa KKM STID Al-Biruni disebuah desa

Cerpen Dakwah

ketakketikmustopa.com, Firman menatap jalan berbatu yang membentang di hadapannya. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan tadi siang. Di sampingnya, Hilwa menggenggam buku catatan kecil, bersiap mencatat perkembangan dakwah di Desa Bantaragung, Kabupaten Majalengka.

Mereka berdua adalah mahasiswa STID Al-Biruni Babakan Ciwaringin, kampus yang menyiapkan dai-dai muda untuk terjun ke masyarakat. Sebagai bagian dari program pengabdian, mereka mendapat tugas menyebarkan dakwah di desa ini, desa yang masih minim pemahaman agama.

"Bagaimana menurutmu, Hilwa? Apakah warga mulai menerima kajian kita?" tanya Firman sambil mengamati rumah-rumah sederhana di sekitar mereka.

Hilwa mengangguk. "Alhamdulillah, beberapa ibu-ibu sudah mulai rutin datang ke majelis taklim. Anak-anak juga mulai tertarik belajar mengaji."

Firman tersenyum. Ia ingat saat pertama kali mereka datang ke desa ini. Awalnya, tak banyak yang menyambut mereka. Warga masih ragu dengan kehadiran dua mahasiswa muda yang ingin mengajarkan Islam di desa mereka.

Namun, Firman dan Hilwa tak menyerah. Dengan sabar, mereka mendekati masyarakat. Firman sering membantu para petani di sawah, mengobrol dengan bapak-bapak di pos ronda, sementara Hilwa aktif berinteraksi dengan ibu-ibu dan anak-anak di masjid kecil desa.

Suatu malam, setelah kajian di masjid selesai, seorang lelaki tua mendekati Firman.

"Nak, kau sungguh-sungguh berdakwah di sini?" tanya lelaki itu.

"InsyaAllah, Pak. Kami ingin melihat desa ini semakin dekat dengan Islam," jawab Firman dengan mantap.

Lelaki itu, yang ternyata Pak Karta, sesepuh desa, mengangguk. "Aku dulu sering dengar ceramah di kota, tapi di sini jarang ada yang mengajarkan agama. Terima kasih, Nak."

Firman tersenyum. Itu adalah tanda bahwa dakwah mereka mulai diterima.

Suatu hari, cobaan datang. Beberapa orang di desa mulai menyebarkan fitnah bahwa Firman dan Hilwa memiliki niat terselubung.

"Mereka masih muda, apa mereka paham agama?" kata salah seorang warga.

"Mungkin mereka hanya ingin keuntungan pribadi," tambah yang lain.

Kabar itu sampai ke telinga Firman dan Hilwa. Namun, mereka memilih untuk tetap sabar.

"Kita tidak bisa membalas dengan kemarahan, Firman. Kita harus tunjukkan dengan akhlak dan kesabaran," ujar Hilwa.

Firman mengangguk. Mereka justru semakin giat berinteraksi dengan warga. Perlahan, fitnah itu pun memudar, tergantikan oleh rasa hormat dan kepercayaan.

Setelah berbulan-bulan berdakwah, Desa Bantaragung mulai berubah. Masjid yang dulu sepi kini mulai ramai. Para pemuda yang dulunya lebih suka nongkrong di warung kini ikut belajar agama.

Di suatu senja, Firman dan Hilwa duduk di tepi sawah, menikmati angin sore.

"Perjalanan kita masih panjang, ya?" kata Hilwa.

"Iya," jawab Firman, "tapi aku yakin, selama kita tetap di jalan dakwah, Allah akan selalu membuka jalan."

Hilwa tersenyum. Mereka bukan hanya dua mahasiswa yang menjalankan tugas, tetapi dua sahabat yang berjuang di jalan Allah, membawa cahaya Islam ke tempat-tempat yang masih gelap.

Sebab, di jalan dakwah, bukan hanya ilmu yang dibagikan, tetapi juga kesabaran, ketulusan, dan keyakinan bahwa Allah akan selalu menolong mereka yang berjuang di jalan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar