Bertepuk Sebelah Tangan

Gambar hanya ilstrasi belaka

ketakketikmustopa.com, Berani mengambil keputusan berarti berani pula mengambil resiko, semakin besar keputusan yang kita ambil resikonya semakin besar pula dan semakin kecil pengaruhnya maka resikonya kecil pula.

Saat kita memutuskan untuk mengejar seseorang yang kita cintai dan yang kita kasihi sepertinya keputusan sederhana, namun keputusan ini sejatinya tidak sesederhana yang kita bayangkan bahkan mungkin mengandung resiko yang sangat besar.

Ketika seseorang berani memperjuangkan perasaan cinta dan isi hatinya maka ia harus berani mengambil resiko cinta mana kala si dia "Bertepuk sebelah tangan" dan berakhir dengan patah hati. Kata orang yang pernah ditolak cintanya sungguh sangat menyakitkan, pantas kalau ada syair lagu yang dinyanyikan Megy Z "Dari pada sakit hati lebih baik sakit gigi.".

Pada zaman dahulu ada kisah cinta yang mengharukan karena bertepuk sebelah tangan. Persoalan cinta tentunya juga termasuk bagian dari apa yang Allah timpakan kepada manusia, tak terkecuali seorang mukmin. Kegagalan dalam urusan perjodohan dan pernikahan umumnya menjadi beban berat bagi mereka yang mengalaminya.

Di zaman Rasulullah pernah ada kisah tentang cinta bertepuk sebelah tangan antara seorang budak sahaya bernama Mughits dengan Barirah seorang wanita yang juga budak sahaya. Keduanya sama-sama Sahabat Rasulullah yang tentu tak diragukan lagi keimanan dan kebaikannya.

Pada awalnya Mughits dan Barirah adalah pasangan suami istri, hingga pada saat Barirah dimerdekakan oleh Sayyidah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dengan begitu berubahlah status Barirah dari budak sahaya menjadi wanita yang merdeka.

Dalam ajaran Islam, seorang budak perempuan yang menjadi istri budak lelaki kemudian merdeka maka ada perubahan konsekuensi pada pernikahannya. Perubahan status Barirah mengantarnya kepada aturan khiyar (pilihan untuk tetap dengan suaminya atau berpisah).

Setelah merdeka, baginda Nabi  pun memanggil Barirah, lalu memberikan hak pilih (khiyar) kepada Barirah antara tetap menjadi istri Mughits atau berpisah dari suaminya yang masih berstatus budak.

Ternyata Barirah lebih memilih berpisah dari Mughit suaminya, dan itu merupakan hak baginya sebagai perempuan merdeka. Keputusan itu sepertinya lahir dari perasaan Barirah yang sememangnya tidak mencintai Mughits, bukan karena Mughits tidak baik, bukan juga karena Barirah seorang yang berakhlak buruk.

Hal itu tergambar sebagaimana ucapan Bariroh kepada Nabi,

“Walau Mughits memberiku sekian banyak harta, aku tidak mau menjadi istrinya lagi.”

Di lain sisi, Mughits justru sangat mencintai Barirah, sungguh berat baginya menerima keputusan pisah itu. Bahkan setelah bercerai, Mughits terus mengikuti Barirah di jalan-jalan kota Madinah, sambil mengharap belas kasih dari Barirah sang mantan.

Kabar tentang sikap Mughits itu sampai-sampai membuat Rasulullah Saw. bertanya-tanya kepada pamannya, yakni Sayyidina ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah Saw bersabda:

“Wahai ‘Abbas, tidakkah Anda heran betapa besar cintanya Mughits kepada Barirah, namun Barirah sedikit pun tidak membalas cinta Mughits”.

Atas dasar itu, Rasulullah  merasa iba atas apa yang menimpa Mughits. Lantas Beliau pun memanggil kembali Barirah, lalu bertanya kepadanya, “bagaimana jika seandainya saja engkau mau kembali kepada Mughits?”

Mendengar pertanyaan dari Nabi yang dimuliakannya itu, Barirah pun bertanya balik kepada Nabi demi memastikan maksud beliau.

“Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahku?” tanya Bariroh.

“Aku hanya ingin mengasihani Mughits.” Jawab Rasulullah..

Lalu dengan tanpa mengurangi rasa takzimnya kepada Rasulullah Saw. Barirah pun berkata:

“Aku sudah tidak lagi membutuhkannya.” jawab Bariroh.

Wallohu a’lam

 

Sumber rujukan kitab Fathul Barri karya Ibnu Hajar Aal-Asqolani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar