(Perjalanan Seorang Imron)
-Mustopa-
SANTRI JADI BUPATI
Perjalanan Hidup Imron Rosyadi
Mustopa
Kata Pengantar
Bismillahir Rahmanir
Rahim.
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah buah tulis, yang berkisah tentang
perjalanan seorang santri Babakan,
Ciwaringin. Buku ini disemati judul: “Santri
juga Bisa Menjadi Seorang Bupati: Kisah
Perjalanan Seorang Imron Rosyadi”. Hulu-
hilir dari buku ini bermuara
pada seorang santri bernama Imron Rosyadi.
Ia dilahirkan dari pasangan keluarga yang sangat sederhana dan sangat menjaga tradisi, yakni Bapak H. Ropi’i dan Ibu Hj. Sofiyah. Keluarga ini menerapkan aturan agama dan mengukuhi tradisi secara ketat dan berdisiplin tinggi. Beberapa contoh kedisiplinan tersebut: anak-anak wajib mondok di pesantren, tidak diperkenankan ada televisi dan radio di rumah, musala atau masjid adalah area
hening sehingga tidak ada perkenan beriuh-gaduh. Dengan tata aturan sedemikian ketat itu, tidak mengherankan bila semua anak-anak Bapak H. Ropi’i dan Ibu Hj. Sofiyah semuanya betah di- pesantren-kan.
Imron Rosyadi merupakan anak kedua dari empat saudara sekandung. Anak yang pertama bernama Khodijah, yang ketiga Layyinah, dan yang keempat Muhyidin. Selain memiliki saudara sekandung, Imron Rosyadi juga memiliki saudara seayah yaitu Temu dan Aruman. Ia juga memiliki saudara-saudar seibu, yaitu: Aminah, Abdul Jalil dan Fatimah.
Saudara-saudara Imron tidak banyak disinggung di buku ini. Penulis buku ini berfokus pada babak-babak perjalanan sang tokoh utama dari sejak lahir hingga mencapai “kesuksesannya” sebagai orang nomor satu di Kabupaten Cirebon. Ada tantangan dan atau kesulitan yang pasti
dihadapi penulis. Kesulitan utamanya yaitu dalam menggali dan memunculkan karakter sang tokoh utama dengan aliran narasi seindah dan serapi mungkin dari (hanya) mengandalkan kekuatan imajinasi.
Ada dua model penuturan dalam sebuah karya biografis. Pertama, disajikan secara langsung oleh empunya biografi itu sendiri atau otobiografi; Kedua, karakter disuguhkan melalui serangkaian kesaksian orang lain. Pada buku ini kedua model tersebut dipadukan, yaitu ditulis langsung oleh sang tokoh sendiri, serta dilengkapi kesaksian orang lain.
Kendati di dalam buku ini bertali pusar kepada satu tokoh, tetapi tidak melulu hanya menceritakan perjalanan kisah Imron Rosyadi semata. Dalam buku ini, juga terselip secara sengaja model penceritaan benuansa etnografis, berkisar pada kondisi empat desa yang pernah disinggahi
Imron. Adalah Desa Penpen, Desa Dawuan, Desa Tegalgubug dan Desa Babakan.
Di Desa Penpen ada cerita rakyat tentang tokoh yang sangat luar biasa yaitu Buyut Penthol yang memiliki nama asli Syekh Rajatnala. Tokoh legendaris ini berasal dari Banten. Ia masih keturunan dari Syekh Sultan Hasanudin putra Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Buyut Penthol lah yang membangun Waduk Setupatok di Penpen.
Desa Dawuan memiliki cerita tak kalah menarik. Dikisahkan, pada saat Belanda membangun bendungan di daerah Setupatok, proyek tersebut tak kunjung rampung. Bendungan yang nyaris dirampungkan pengerjaannya, tiba-tiba ambrol. Kejadian tersebut tak sekali dua kali. Bahkan, secara tragis, banyak berjatuhan korban jiwa dari para pekerja. Mau tidak mau pihak pelaksana pembangunan berpikir ada yang janggal.
Telisik demi selidik dilakukan. Akhirnya, diketahui muasal sebab kejadian-kejadian janggal tersebut, berindikasi pada faktor metafisis. Seorang bernama Buyut Muji bicara. Ia menengarai adanya sesosok ular raksasa bernama Nagaraja yang tidak menghendaki proyek bangun bendungan tersebut. Adalah Buyut Muji juga yang lantas menaklukkan ular raksasa itu. Atas jasanya dalam menghentikan ulah Nagaraja, Ki Buyut Muji diberi julukan “Ki Buyut Dawuan”. Satu jejuluk yang sekaligus menjadi penanda Desa Dawuan.
Desa Babakan yang masih berada di wilayah Kecamatan Ciwaringin, adalah latar cerita lain dari perjalanan Imron. Di desa ini Imron Rosyadi mendapatkan gemblengan pendidikan ilmu agama dari para Kiai Babakan. Pengalaman hidup yang penuh pahit getir, menjadikan Imron seorang leader yang berkarakter dan berprinsip kuat. Sekali pun dia hanya seorang santri, tapi atas perkenan Allah SWT,
ia terpilih menjadi Bupati Cirebon. Satu pencapaian yang bisa dikatakan prestasi kehidupan.
Desa Tegalgubug menjadi persinggahan lain seorang Imron Rosyadi. Desa ini kerap dijadikan tempat mengisi liburan, saat ngajinya di Pesantren Babakan terjeda. Masa-masa liburan bagi kebanyakan santri, biasanya diisi dengan kegiatan ngaji pasaran di pesantren-pesantren lain yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jatah liburan bagi Imron dimanfaatkan untuk belajar dan mengasah keterampilan pencak silat pada KH. Abdul Mughni di Pondok Pesantren Al-Qudsiyah Tegalgubug.
Imron Rosyadi merupakan satu nama, dari ratusan santri yang menangguk sukses dalam karir hidupnya. Pencapaiannya sebagai Bupati Cirebon menjadi dalil bahwa santri bukan lagi identitas pinggiran yang hanya hidup di lingkar luar kekuasaan politik. Menjadi santri di era sekarang
ini, telah duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan lapisan masyarakat yang lain.
Semoga buku ini menjadi inspirasi bagi generasi muda, terutama para santri. Aamiin.
Babakan, 17 Agustus 2022 |
KH. Lukman Hakim |
Pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin |
Penemu Metode Ilhamqu |
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................... 2
Daftar Isi................................................................. 9
Penpen, Satu Titik Awal...................................... 11
Ki Buyut
Enthol dan Kisah Setupatok.............. 29
Dawuan, Awal
Pendidikan Dasar...................... 35
Babakan dan
Kawah Candradimuka................ 49
Pondok Pesantren Miftahul
Muta’allimin......... 68
Ngeliwet dan Makna
Jihad.................................. 85
Berkah Kiai
Babakan.......................................... 95
MHS dan Pertaruhan
Masa Depan.................. 120
Kiai Tamam Kamali.......................................... 127
Bola Api.............................................................. 136
Pencak Silat
Tegalgubug................................... 148
Aktif di NU Sejak
Muda................................... 153
Jodoh................................................................... 156
Karir.................................................................... 167
Kementerian Agama: Rumah Kedua.............. 174
Pendapa Bupati: Rumah Ketiga....................... 179
Pikiran dan
Gagasan Imron............................. 184
Daftar Pustaka................................................... 199
Istilah-Istilah....................................................... 202
Lampiran-Lampiran.......................................... 207
Tentang Penulis.................................................. 211
PENPEN, SATU TITIK AWAL
Udaranya sejuk, pemandangannya hijau, bentangan persawahan mengepung pandang. Suara burung-burung di pagi hari terdengar asyik masyuk, serasa terhidupkan kembali di tahun 1960-an. Melalui jalur masuk wilayah Cirebon Timur, ketika tiba di perbatasan Kota Madya Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, lalu berbelok ke arah selatan, tidak seberapa jauh kita akan menemukan sebuah desa: Penpen.
Penpen merupakan sebuah desa yang secara administratif masuk wilayah Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Penpen sendiri sebenarnya berasal dari Bahasa Sunda yang artinya “tempat menyepi”. Penamaan ini tidak lepas dari sejarah Desa Penpen yang dulunya sering dijadikan tempat menyepi para pertapa atau pesuluk. Bahkan sampai
sekarang, kita masih bisa melihat banyak gua di Desa Penpen, tepatnya di Blok Pesantren.
Narasi eksotis dari kesejarahan Desa Penpen tersebut, menjadi dalil betapa tak mengherankan ketika suasana desa itu penuh dengan keramahan masyarakat setempat. Suasana alamnya sejuk dan asri, menggoda sesiapa untuk menepi dari keriuhan peradaban, bersepi dan menyendiri. Aura desa ini lekat dengan aroma sufistik yang semerbak. Hal ini karena pada zaman dahulu (sekitar tahun 1.470 M) tempat ini termasuk salah satu petilasan Walisanga, yaitu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Seiring usahanya menyebarkan agama Islam, beberapa petilasan sang wali ini tertinggal di banyak gua di desa itu.
Pada masa silam, di Desa Penpen, Blok Pesantren, berdiri pondok pesantren yang jumlah santrinya mencapai ratusan hingga ribuan. Mereka
datang dari berbagai daerah. Ada dari Surabaya, Madura, sampai Sumatera.
Penpen hari ini, sudah terbilang banyak berubah. Satu perubahan alami, mengiringi dinamika desa-kala-patra peradaban. Beberapa fasilitas semacam tempat futsal, sudah bisa ditemui di desa ini. Ada juga tempat pemandian yang airnya bening dan jernih. Beberapa penginapan, sekolah, dan masjid mempersemarak kehidupan di Penpen. Semua fasilitas itu ada di Blok Pesantren. Sekalipun demikian tempat ini masih saja meruarkan keademan dan ketenteraman. Sungai yang mengalir di sekeliling blok menjadi penegas tersendiri, bahwa sepi dan sunyi belum melingsir dari Penpen.
Selain panorama kealaman, Desa Penpen masih menggantang keunikan lain, yakni bahasa. Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu yang digunakan di keseharian, padahal desa-desa di sekelilingnya berbahasa Jawa. Misal, Desa Luwung yang ada di
sebelah utara berbahasa Jawa, Desa Sinarancang yang ada di sebelah selatannya berbahasa Jawa, Desa Setu Kaler yang ada di sebelah Baratnya berbahasa Jawa, Desa Gumulung dan Desa Luwung yang ada di sebelah Timur juga berbahasa Jawa.
Di Desa Penpen ada sebuah makam tua yang dikeramatkan. Masyarakat mengenalnya sebagai makam Ki Buyut Enthol. Selangkah saja masuk ke pemakaman tersebut, kita akan merasa tenang, nyaman, sejuk. Mungkin karena masih banyak pohon besar menjulang di area makam. Keasriannya terjaga dari arus waktu. Area pemakaman Ki Buyut Enthol terlihat asri dan menghampar sangat luas.
Ki Buyut Enthol merupakan nama jejuluk, beberapa sumber terpercaya bercerita bahwa nama aslinya adalah Syekh Rajanala. Nama ini ada kemiripan dengan kata raja’ dari Bahasa Arab yang berarti “orang yang berharap kembali kepada Allah”. Secara galur nasab, beliau berasal dari
Banten, keturunan dari Syekh Sultan Hasanudin putera Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Perjalanan Buyut Enthol sampai ke Penpen, merupakan bagian dari jalan dakwah keislaman sebagaimana dilakukan para Wali di zaman itu. Beliau menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa Barat pada abad ke-17 M. Cara berdakwah beliau dilakukan dengan metode pemberdayaan pertanian, pengobatan dan sebagaimana lazim di zaman itu, kesaktian. Beliau juga seorang yang ahli dalam urusan tata negara dan ilmu perang. Ki Buyut Enthol terkenal dengan doanya yang manjur. Ketika bendungan Setupatok sering jebol, berkat doa Ki Buyut Enthol sampai saat ini tidak pernah jebol lagi.
Beliau hidup sezaman dengan Ki Buyut Layaman, Ki Buyut Muji, dan Mbah Muqoyyim
pendiri Pondok Pesantren Buntet1. Tidak hanya hidup sezaman, menurut penuturan Abdul Malik, salah satu kuncen makam, Ki Buyut Enthol juga merupakan mertua dari Mbah Muqoyyim.
***
Desa Penpen, tahun 1961. Satu keluarga nampak bahagia. Kehidupan keluarga yang berasal dari kalangan santri berlangsung harmonis dan agamis. Bapak Ropi’i dan Ibu Sofiyah adalah sepasang suami istri. Mereka telah memiliki seorang anak perempuan berusia dua tahun bernama Khodijah yang berparas cantik menarik. Khodijah si bocah cantik itu, nampak riang dan berseri-seri. Ia sedang bahagia karena menurut kabar sebentar lagi ia akan punya seorang adik.
![]() |
1 Wawancara dengan
Bapak Abdul Malik,
kuncen makbaroh Ki Buyut
Enthol, pada tanggal
16 Agustus 2022.
Di sela malam yang khidmat, seorang ibu menengadahkan dua tangannya, Sofiyah mengkamitkan doa:
"Ya Allah, semoga Engkau melindungi bayiku ini selama ada dalam kandunganku, Berikanlah kesehatan kepadanya. Sesungguhnya Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesehatan
selain kesehatan yang Engkau
berikan, kesehatan yang tidak
diakhiri dengan penyakit lain. Ya Allah,
bentuklah dia di dalam perut ibunya dalam bentuk yang elok dan tetapkanlah hatinya dalam keimanan
kepada-Mu dan Rasul-Mu. Ya Allah, keluarkanlah dia dari perut ibunya pada saat kelahirannya dengan mudah dalam keadaan selamat dan dengan bentuk yang indah dan sempurna. Ya Allah, jadikanlah dia anak yang sehat dan sempurna, berakal
cerdas, alim, dan mau mengamalkan ilmunya. Ya Allah,
panjangkanlah umurnya,
sehatkanlah tubuhnya,
baguskanlah akhlaqnya, fasihkan dan
merdukanlah suaranya untuk membaca Al-Qu'ran
dan Hadist dengan berkah Nabi Muhammad SAW. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam."
Ibu Sofiyah sedang mengandung anak kedua. Kandungan telah memasuki usia 4 bulan. Usia tersebut merupakan momen saat seorang bayi sudah memiliki anggota tubuh yang lengkap. Karena itu, kedua orang tua si jabang bayi, Bapak Ropi’i dan Ibu Sofiyah selain berdoa juga menjalankan tradisi Ngupati.
Tradisi ini lazim dilakukan ketika usia kandungan memasuki hitungan empat bulan. Ngupati sendiri, dilakukan dengan tujuan untuk mendoakan si jabang bayi agar kelak ia memiliki sifat yang baik. Tradisi ini merujuk kepada satu kisah yang telah banyak diyakini dari Nabi, bahwa
ketika bayi dalam kandungan sudah berusia 4 bulan, saat itulah Allah menetapkan “sifat” atau perangai tertentu yang kelak menjadi karakter si bayi. Melalui wasilah Ngupati tersebut, diharapkan Allah kerkenan menganugrahkan sifat yang baik kepada sang anak.
Menurut Ustadz Syafi’i, seorang sesepuh kampung yang juga biasa memimpin acara Ngupati, bahwa upacara Ngupati merupakan usaha melangitkan doa kepada Allah, melalui wasilah (media) bacaan Al-Qur’an dan bersedekah kepada tetangga. Memang ada surat-surat khusus yang dibaca, dan suguhan atau wujud sedekah juga harus ketupat. Karena, menurut beliau, rahasia (sirr) keberkahan menghuni surat-surat khusus, dalam Al- Qur’an. Perihal ketupat—yang menjadi asal penamaan tradisi Ngupati—sendiri merupakan wasiat dari para leluhur dahulu. Penjelasan lebih spesifiknya, sedemikian:
“Dalam upacara
Ngupati, acara diisi dengan
ngaji bersama membaca Al-Qur’an, surat Waqi’ah,
Yaasin, Maryam, Yusuf.
Surat Yaasin itu mempunyai berkah untuk mendatangkan keselamatan. Surat Waqi’ah adalah harapan orang tua, agar kelak
ketika anak lahir ke dunia mendapat
banyak rezeki. Surat Yusuf dan
Maryam, agar nanti kalau anaknya laki-laki
mempunyai rupa dan akhlak seperti
Nabi Yusuf dan jika perempuan dapat meneladani Siti Maryam ibunda Nabi Isa As. Intinya sifat-sifat
yang ada dalam isi Al-Quran
dapat melekat dalam
anak tersebut. Dalam Ngupati, biasanya
membuat ketupat untuk acara makan setelah pengajian tersebut. Kupat
ini merupakan simbol doa yang
diwariskan oleh leluhur zaman dulu untuk gawe sipat”.
Bapak Ropi’i setiap hari mendoakan agar kandungan istrinya diberikan sehat, serta diberikan kelancaran selama proses persalinan nanti.
Tidak terasa kandungan Ibu Sofiyah sudah tujuh bulan. Menurut adat di Cirebon, saat kandungan sudah mencapai usia 7 bulan sebaiknya diadakan acara Memitu, ada juga yang bilang Nebus Weteng. Nebus Weteng atau Nujuh Bulan merupakan tradisi yang bertujuan menunjukan rasa syukur sebuah keluarga karena telah mendapat anugerah dan keberuntungan berupa jabang bayi yang ada dalam rahim seorang ibu.
Bagi mereka yang taat beragama, doa-doa tak surut dirapal tiap malam, agar jabang bayi bisa berkembang dengan baik dan lahir menjadi anak saleh atau salehah. Bapak Ropi’i pun secara rutin melangitkan doa:
“Ya Allah, jagalah anakku selama ia berada dalam perut istriku,
sehatkan ia,
sesungguhnya Engkau Yang Maha Menyehatkan, tidak ada kesehatan
kecuali kesehatan dari-Mu, kesehatan
yang tidak terganggu penyakit.
Ya Allah, bentuk ia yang ada dalam perut istriku dalam rupa yang baik,
tetapkan dalam hatinya keimanan pada-Mu pada Rasul-Mu.
Ya Allah, keluarkan dia
dari perut istriku pada saat kelahirannya secara mudah dan selamat. Ya Allah, jadikan
ia utuh, sempurna, berakal, cerdas, banyak amal. Ya Allah, panjangkan umurnya, sehatkan
jasadnya, baguskan rupanya, dan fasihkan lisannya
untuk membaca hadist dan Al-Qur’an yang agung, dengan wasilah
berkah Nabi Muhammad SAW. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”.
Saat Bapak Ropi’i memanjatkan doa-doanya di tengah keheningan malam, Ibu Sofiyah yang ikut duduk di belakangnya selalu mengaminkan doa
suami tercinta: “Istajib du’ana Ya Allah”. Kabulkanlah segala doa-doa
kami Ya Allah. Amin.
Zaman dahulu, di kampung belum ada bidan apalagi dokter. Saat itu, untuk membantu persalinan, dibantu seorang dukun bayi. Dukun Paraji membantu persalinan ibu Sofiyah hingga lancar tidak ada hambatan. Tepat pada tanggal 17 Desember 1961, lahirlah seorang bayi mungil yang sehat, bersih mukanya. Sang ayah, Bapak Ropi’i langsung mengumandangkan adzan di kuping kanan dan iqomah di kuping kiri. Mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqomah di telinga kiri merupakan lelaku sunah yang diajarkan Rasulullah SAW.2 Bayi tersebut oleh orang tuanya diberi nama “Imron Rosyadi”.
Kehadiran sang bayi merupakan kebahagiaan tidak terhingga di tengah-tengah
![]() |
2 Prof. Dr. Wahbah Az-zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz 1 halaman
5561.
kehidupan sebuah keluarga. Ibu Sofiyah tak henti- hentinya menangis bahagia, bersyukur atas
nikmat kebahagiaan tersebut.
Spontan ia berdoa,
“Aku memohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada Engkau dari setan yang terkutuk”.3
Nama adalah doa. Ungkapan tersebut kerap menjadi keyakinan dan harapan orang tua dalam keputusan memilih nama kepada si buah hati. Setelah Bapak Ropi’i memberikan nama Imron Rosyadi untuk si buah hati laki-lakinya, yang sehat, gagah dan ganteng, disembelihlah dua ekor kambing untuk aqiqah anak tersebut, sembari pada malam harinya diadakan acara marhabanan pembacaan Maulid Nabi Al-Barjanji.
Galur genetik menjadi faktor terpenting dalam tumbuh kembang anak. Terutama sebagai watak bawaan. Namun, di samping aspek genetika
![]() |
3 QS. Ali Imron,
ayat: 36.
tersebut, kondisi eksternal atau faktor lingkungan juga memiliki andil penting dalam menentukan masa depan seorang anak.
Dari hari ke hari Imron Rosyadi tumbuh dan berkembang dengan normal. Bersama dengan kakak perempuannya, Khodijah, mereka menerima didikan agama dari kedua orang tua mereka.
Suatu hari, terjadi percakapan yang terus terngiang. Ketika Imron Rosyadi sedang bercengkrama dengan kedua orang tuanya, bapaknya berkata,
“Anaku, kelak kalau engkau
sudah lulus Sekolah Dasar akan bapak pondokan di pesantren”.
“Pesantren itu apa, Yah?” tanya
Imron.
“Pesantren adalah tempat pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran agama Islam bagi santri yang diasuh oleh seorang kiai
yang tinggal atau mukim bersama-sama dalam satu lokasi” jelas Pak Ropi’i4.
“Jadi nanti, aku tinggal di pondok berapa hari ayah dan tujuannya
untuk apa?” Imron bertanya lagi.
“Sekarang kan kamu masih 3 tahun belum cukup umur, masih lama. Nanti setelah lulus SD saja. Tujuannya
untuk apa mondok?
Tujuannya agar kamu pintar
dan baik, manfaat
dan maslahat di dunia dan akhirat”, Pak Ropi’i menjelaskan.
“Nak, di sana sudah disediakan asrama tempat pemondokan para santri. Berada dalam lingkungan komplek pesantren di mana kiai bertempat
tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruangan-ruangan untuk
![]() |
4 Tim Penyusun Kamus Pembina dan Pengembangan Bahasa
ed.2-Cet.9. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
hlm. 667.
belajar dan kegiatan-keguatan keagamaan lainnya”5, imbuh Pak
Rofi’i.
Saat itu di blok tempat keluarga Bapak Ropi’i tinggal belum memiliki sekolah sendiri. Untuk bisa bersekolah SD, harus menempuh jarak sangat jauh. Keluarga bapak Ropi’i tinggal di Blok Pesantren yang terpisah dengan fasilitas utama desa. Sedangkan sekolah SD berada di pusat wilayah Desa Penpen.
Untuk memenuhi pendidikan anak-anak mereka, keluarga Bapak Ropi’i pindah ke Desa Dawuan, Kecamatan Tengahtani. Atas inisiatif Pak Ropi’i, ketika Imron Rosyadi masih kelas 4 SD, sekeluarga pindah ke Desa Dawuan. Padahal walaupun sudah tinggal di Desa Dawuan, lagi-lagi tidak bisa sekolah dengan nyaman. Karena kalau bersekolah di SD Negeri Dawuan harus
5 Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S,
2011), hlm. 79.
menyeberangi jalan raya. Akhirnya, Imron didaftarkan di SD Negeri di Desa Batembat yang secara akses lebih dekat.
KI BUYUT ENTHOL DAN KISAH SETUPATOK
Bagi masyarakat Mundu, ada cerita sangat masyhur. Cerita ini secara tutur tinular dituturkan dari mulut ke mulut tentang peran Ki Buyut Enthol dalam pembangunan Waduk Setupatok. Waduk Setupatok merupakan waduk yang berada di Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Berdasarkan data yang didapat dari berbagai sumber—yakni, mereka yang tinggal di sekitar waduk—bahwa sebenarnya Waduk Setupatok ini dibangun oleh Belanda. Ketika masih zaman penjajahan.
Waduk ini dibuat pada rentang tahun 1918- 1921. Tanah tempat pembangunan itu adalah milik warga, dikontrak Belanda selama 22 tahun. Waduk Setupatok dibangun karena lokasinya sangat strategis.
Lokasinya yang dekat dengan pusat Kota Cirebon membuat Waduk Setupatok sekarang ini jarang sepi dari pengunjung. Bagi masyarakat setempat, waduk ini punya fungsi lain selain hanya sebagai situs wisata, mereka biasa mencuci pakaian, mencuci piring, mandi, dan mencukupi kebutuhan sehari-hari di waduk.
Ada juga yang memanfaatkan waduk Setupatok untuk mencari ikan. Menurut warga sekitar di waduk ini terdapat banyak jenis-jenis ikan air tawar. Waduk yang memiliki banyak ikan tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Air yang melimpah dari Setupatok biasa dimanfaatkan oleh warga untuk mengairi sawah- sawah dan perkebunan mereka. Ditabalkannya Setupatok sebagai situs wisata, menjadikan warung- warung berdiri di sekitaran waduk. Tentu hal ini memberi angin segar bagi perekonomian warga. Banyaknya pengunjung, lebih-lebih pada hari libur,
dimanfaatkan betul oleh warga setempat. Dalam hal ini, selain sebagai penampung air, Setupatok juga menjadi tampungan rezeki.
Waduk Setupatok menyimpan banyak cerita mistis. Konon, di dalam waduk Setupatok terdapat seekor buaya putih yang disebut-sebut sebagai penunggu waduk tersebut. Cerita lain, di bukit Setupatok, konon, ada 4 makam keramat berukuran cukup besar, lebar dan panjang. Makam itu tidak lazim selayaknya makam-makam pada umumnya.
Memang, kalau musim hujan datang waduk mulai pasang. Air meninggi. Walaupun secara kasat mata permukaan air waduk Setupatok terlihat tenang, namun para pengunjung dimbau supaya berhati-hati. Air yang tenang justru menyiratkan kedalaman yang bisa membahayakan. Dipercayainya kisah-kisah mitis, tentu membantu mengemong pengunjung.
Menurut bapak Abdul Malik, tokoh dari Desa Penpen yang bertugas selaku kuncen makam, terbangunnya waduk Setupatok tidak lepas dan tidak bisa dilepaskan dari seorang Ki Buyut Enthol. Kisah tentang Ki Buyut Enthol, akrab di benak masyarakat. Dahulu kala waktu masih dalam tahan pembangunan, waduk kerap jebol. Beragam cara dilakukan, namun seperti sia-sia. Sampai datang Ki Buyut Enthol. Ia berhasil membendung Setupatok yang selalu jebol. Apa yang dilakukan Buyut Enthol membuat para tokoh lain iri hati. Mereka tidak ingin tenggelam di bawah kemasyhuran Ki Buyut. Konon, mereka lantas melepas dan mengirim ‘belut putih’ gaib untuk merusak waduk.
Merasa terganggu dengan adanya orang- orang yang dibutakan iri hati, Ki Buyut bergeming. Mengetahui adanya kiriman belut putih yang sengaja dikirim untuk merusak bendungan waduk Setupatok, Ki Buyut Enthol menyabdakan doa yang isinya: “Air waduk Setupatok tidak akan menerima
orang-orang yang mengirimkan belut putih untuk merusak bendungan waduk, sekaligus para keturunan mereka”. Tidak ada kejelasan, bagaimana nasib mereka yang tertimpa sabda-doa Ki Buyut tersebut.
Bagi masyarakat sekitar makam, Ki Buyut Enthol dikeramatkan. Banyak cerita aneh di makam Mbah Buyut Enthol. Satu cerita, pernah ada orang lumpuh yang melakukan tirakat di makam selama tiga hari tiga malam. Pada malam ke-3, dalam kondisi antara mimpi dan sadar, ia merasa badannya dikerumuni banyak semut hitam. Dan keesokan harinya langsung bisa berjalan. Ia meyakini, bahwa itu adalah keramat Ki Buyut Enthol, seorang waliyullah.
Kadang, kalau ada peziarah yang memiliki niat “kurang baik”, mereka akan dilempari, diganggu dan ditakut-takuti oleh sesosok makhluk
tinggi besar.6 Begitulah, kisah-kisah diceritakan dan diyakini.
![]() |
6 Dikutip dari laman: https://kzlife.info/first/keramatnya-
makam/tJ7V3NGpqH2easY.
DAWUAN, AWAL PENDIDIKAN DASAR
Desa ini oleh masyarakat setempat diyakini didirikan oleh Ki Gede Dawuan. Sayang kiprahnya yang disinyalir hidup semasa pemerintahan Sunan Gunung Jati, tidak terpahat pada prasasti sejarah. Beliau, sang pendiri desa, hidup dalam ingatan masyarakat setempat secara turun tutur. Jejaknya hanya diketahui dari menilik keberadaan pasarean atau kuburannya di Nur Giri Cipta Rengga atau Astana Gunung Sembung, yang berdampingan dengan Ki Gede Kemlaka dan Ki Gede Pilang yang juga dipercaya sebagai cikal bakal di desa tetangga. Kini, Desa Dawuan merupakan desa yang termasuk dalam Kecamatan Tengah Tani, hasil pemekaran dari kecamatan Cirebon Barat.
Selain Ki Gede Dawuan, beberapa tokoh legenda turut membangun peradaban dan
kebudayaan di Dawuan Salah satu yang begitu sangat dikenang kiprahnya adalah Ki Buyut Muji. Ia merupakan seorang ulama dan pejuang. Beliau juga dikenal sebagai ahli pengairan (water resorch).
Ki Buyut Muji bukanlah nama asli. Sebagaimana lazimnya para pembesar dan tokoh berpengaruh silam, nama “Muji” pun merupakan sematan kehormatan atau jejuluk. Keluarga Kiai Haji Irsad Al-Amin (alm.), pengasuh Pondok Pesantren Sambilawang, dari sumber tuturan Raden Syarif Rihani Kusumawijaya (alm.), menyebut bahwa nama Ki Buyut Muji sesungguhnya tersematkan karena laku beliau yang mendawamkan wirid dzikir memuji Asma Allah.
Satu versi mengatakan, beliau sesungguhnya bernama Asli Pangeran Abdul Hamid, putra dari Pangeran Satarengga. Jika jalur keturunan itu ditarik ke atas maka sampailah pada pangeran Cakrabuana atau Embah Kuwu Cirebon. Sedangkan menurut
Ismail bin Raden Dasuki (sesepuh Dawuan), Ki Buyut Muji adalah putra dari Ki Gede Gasik, sedangkan Pangeran Satarengga adalah mertua Ki Buyut Muji. Pada tuturan lain, tersematnya nama Ki Buyut Muji hanyalah ‘nama samaran’ ketika beliau melakukan perlawanan bawah tanah, menentang Belanda.
Kiprah Ki Buyut Muji dikisahkan dalam tradisi lisan setempat. Pada saat itu Belanda sedang membangun bendungan (Dawuan) di daerah Setupatok. Namun, entah karena apa pekerjaan itu tak kunjung rampung. Berkali-kali waduk itu hampir rampung, namun tiba-tiba waduk tersebut bobol. Bahkan yang lebih mengerikan, dalam jebolnya waduk itu seringkali menelan korban jiwa. Banyak para pekerja kehilangan nyawa. Hal itu membuat Belanda kebingungan.
Mereka, pihak Belanda, lantas mengkonsultasikan kejadian itu kepada Sultan
Cirebon. Sultan pun mengajukan kesepakatan untuk membantu pembangunan proyek bendungan tersebut, dengan maksud agar tidak ada lagi korban jiwa dari para pekerja yang tidak bukan adalah rakyat Cirebon sendiri. Pihak Belanda tidak punya banyak pilihan, mereka tidak dapat menolak kesepakatan tersebut. Toh, apapun jalannya selama pembangunan berhasil, pundi-pundi kekayaan kerajaan Belanda akan semakin menggunung.
Sultan Cirebon lantas memanggil Ki Buyut Muji. Dari kesultanan Cirebon Ki Buyut Muji mendapat titah:
“Ki Buyut Muji, aku perintahkan agar engkau menyelidiki penyebab macetnya pembangunan bendungan di Setupatok agar
tidak semakin banyak nyawa rakyat yang melayang”. Sultan
Cirebon berkata.
“Sendika, Gusti. Hamba akan secepatnya menuntaskan masalah tersebut dan segera memberi
laporan” jawab Ki Buyut sembari menghaturkan sembah. Setelah itu lekaslah ia berangkat menuju Setupatok.
Setibanya di sana, dengan teliti dari sudut ke sudut dipandangi tiap jengkal dam yang belum rampung tersebut. Tentu saja, mata yang beliau pakai kali ini bukanlah mata lahir, melainkan ‘mata batin’. Sebab sebagai ahli pengairan, dari kejauhan telah tampak jika struktur rancangan bangunan dam itu sudah cukup baik. Di tengah bendungan yang airnya belum penuh itu terdapat sebuah daratan menyembul, nampak seperti pulau kecil. Dalam teropong pandang batinnya terlihat seekor ular naga yang amat besar.
Berjalanlah Ki Buyut Muji ke arah pulau di tengah-tengah bendungan tersebut. Sesampainya di sana, naga atau ular besar sudah menanti. Tampak mulut naga itu menganga, hingga taringnya tampak berkilau tertimpa sorot matahari.
“Hai manusia,
siapa engkau. Berani-
beraninya datang kemari? Apa kau tak tahu betapa banyak bangsamu yang ku santap ?” seru ular
naga itu.
“Tak kusangka,
engkau ular yang sangat pintar,
dapat berbicara dalam bahasa manusia.”
Kata Ki Buyut Muji.
“Aku adalah Ki Buyut Muji utusan dari Kanjeng
Sultan Cirebon untuk menyelidiki kejanggalan yang ada dalam pembuatan
bendungan di sini. Nyatanya tanpa kutanya kau sudah menjawab
sendiri jika kaulah biang onar itu. Sesungguhnya siapa kamu dan apa yang
menjadi alasanmu mengganggu pekerjaan
ini ?” Tanya Ki Buyut Muji.
“Namaku
Sang Nagaraja penguasa tempat ini,
Pulau Antaboga. Bangsa asing itu seenaknya menggangu tempat tinggal sesama mahluk Yang Widi”. Katanya
sembari terus mendesis.
Ki Buyut Muji sekarang paham.
“Tapi bukan berarti kau boleh memangsa manusia lainnya yang tidak tahu menahu duduk
permasalahannya, mereka hanya kuli, tidak lebih, jadi lekaslah hentikan perbuatanmu itu.” Ki Buyut
Muji semakin mempertegas suaranya.
“Kalau aku teruskan?” Tanya Sang Nagaraja dengan matanya merah.
“Kau harus
bersiap melawanku”. Ki Buyut menjawab tanpa
ragu.
Tanpa berkata-kata lagi Sang Nagaraja mematuk ke arah kepala Ki Buyut Muji. Sebuah isyarat, bahwa pertarungan tidak bisa dielakkan. Pertarungan berlangsung begitu sengit. Keduanya merupakan sosok pilih tanding. Kendati begitu, akhirnya Ki Buyut Muji dapat menundukan Sang Nagaraja.
“Aku mengaku takluk,” Kata Sang Nagaraja. Ia nampak sangat lelah. Nafasnya berhembus patah- patah dan terasa berat.
“Aku tidak akan berani lagi menggangu
pekerjaan ini sedikit
pun. Namun aku pun mempunyai satu permintaan: setiap tahun
adakan pertunjukan wayang kulit, dan Engkaulah dalangnya. Setelah kau tiada, adalah tugas
anak- anak keturunanmu.” Kata Sang Nagaraja
lagi.
“Akan ku laksanakan, bagiku dan Kesultanan Cirebon nyawa serta keselamatan rakyat
adalah yang paling
utama.” Kata Ki Buyut.
Maka Ki Buyut mengajak Sang Nagaraja, agar berkenan ikut serta ke Keraton Cirebon, sebagai saksi sekaligus barang bukti atas keberhasilan tugas yang ia emban. Dengan kesaktian keduanya, Nagaraja yang mulanya bertubuh begitu besar dan panjang, dalam genggaman Ki Buyut perlahan menyusut hingga
sebesar cacing tanah. Oleh Ki Buyut Muji, Nagaraja ditaruh ke dalam wadah tembakau kesayangannya.
Tak berselang lama Ki Buyut Muji hadir di Bangsal Prabayaksa Keraton Cirebon, menghadap Sultan Cirebon. Kedatangan Buyut Muji disambut Sultan.
“Akhirnya hamba mengetahui sebab musabab
tragedi Setupatok, hal itu terjadi karena ada sebangsa
ular siluman bernama
Nagaraja penguasa Pulau Antaboga, pulau di tengah bendungan itu. Bangsa Belanda
tidak berizin kepada Sang Nagaraja sebagai penguasa gaib
di sana. Hamba membujuknya agar mau menghentikan segala tindakanya, namun ia melawan.
Alhamdulillah atas seizin Allah ia sanggup
hamba taklukan, Gusti. Bahkan ia hamba bawa serta
kemari.”, kata Buyut Muji.
“Jika begitu,
aku ingin melihatnya” Kata Sang Sultan dengan penuh minat. Ki Buyut pun
menyodorkan wadah tembakau, lantas dibuka wadah itu perlahan-lahan. Sang Sultan melihat ada seekor ular yang tak jauh beda dengan cacing.
“Sesungguhnya
aku heran. Ular sebesar ini sanggup menghentikan pekerjaan Belanda yang dilakukan oleh beratus-ratus orang” kata Sultan sambil mengeleng-gelengkan kepala.
Mendengar hal tersebut
Ki Buyut Muji tersenyum. “Gusti, ukuran sesungguhnya tidak
sekecil ini, silakan
paduka lihat sejenak.”
Kata Buyut Muji.
Ia pun menurunkan Nagaraja ke lantai Keraton, dengan sekejap mata Nagaraja kembali ke ukuran semula. Konon, saking besarnya kepala Nagaraja sampai memenuhi Prabayaksa dan Sri Manganti. Sedangkan ujung ekornya ada di alun- alun Sangkala Buana atau kalau sekarang alun-alun Keraton Kasepuhan.
Sang Sultan terperanjat. “Ki Buyut lekas kau masukan
lagi ke tempat tadi”, katanya gusar tanpa
bisa menyembunyikan rasa keheranannya.
Ki Buyut pun lekas meraih kepala Nagaraja, maka ia pun kembali mengecil, lekas dimasukan kembali ke dalam wadah tembakau.
“Lantas
dengan takluknya dia olehmu, itu akan
serta merta menghentikan aksi pembunuhan?”
Tanya Sang Sultan, dengan nada yang sudah tenang kembali.
“Pendek kata, begitulah adanya,
yang mulia,” Katanya.
“Namun ia memiliki persyaratan. Setiap tahun di dam
itu, dipertunjukan wayang kulit dan aku yang menjadi dalangnya, begitu seterusnya hingga anak cucu keturunanku kelak.”
Ki Buyut menyelesaikan kelengkapan cerita.
Maka Sang Sultan pun meluluskan permintaan Nagaraja, penguasa pulau Antaboga, demi ketentraman dan keselamatan rakyat Cirebon. Atas jasanya dalam menghentikan perbuatan Nagaraja, Ki Buyut Muji diberi julukan Ki Buyut Dawuan dan mendapat tanah perdikan atau tanah merdeka, tanah yang tidak wajib menyetor pajak dan upeti kepada Kesultanan, jika pun memberi upeti itu atas dasar kerelaan.
Tanah perdikan pemberian Kasultanan Cirebon tersebut meliputi:
1. Rancang
Luasnya adalah sepanjang sisi Selatan jalan
raya Cirebon-Bandung dari Desa Dawuan hingga Desa Kedungjaya. Namun, sekarang hanya satu blok, nama ini tersemat pada
salah satu blok di Desa Dawuan.
2. Rancang Kawat, sekarang termasuk
ke dalam Desa Kemalaka, dan menjadi nama salah satu desa tersebut.
3. Sinarancang, letaknya di sisi Setupatok sekarang,
dan menjadi nama Desa Sinarancang.
Ki Buyut Muji wafat dan dimakamkan di blok Rancang, sedangkan peninggalannya berupa arit yang gagangnya berhias kepala Cemental Sekarpandan atau Curis salah satu dari sembilan tokoh Punakawan dalam Pewayangan Cirebon, berikut kain sarungnya masih tersimpan dengan baik oleh anak keturunannya.7 Pertunjukan wayang kulit di Desa Setupatok sebagai syarat atau permintaan Sang Nagaraja diketahui terakhir dipertunjukkan pada tahun 1990-an dengan dalang dari blok Rancang yaitu Alm. Ki Dalang Gluwer.
***
Itulah sekilas sejarah Desa Dawuan. Di Desa Dawuan ini, sekalipun Imron Rosyadi tinggal di Desa Dawuan tapi sekolahnya di SDN Batembat,
![]() |
7 disbudparporakabcirebon.blogspot.com
karena SDN Dawuan posisinya berada di seberang jalan. Imron Rosyadi menyelesaikan sekolah tingkat dasar di SD Negeri Batembat tahun 1974. Setelah lulus SD Negeri Batembat, Imron Rosyadi diantar oleh orang tuanya mondok di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
BABAKAN DAN KAWAH CANDRADIMUKA
“Detik-detik akan berangkat ke pondok begitu beratnya. Sangat sedih perasaan
hatiku. Kesedihan karena
sebuah perasaan yang suci dan tulus karena harus berpisah
dengan keluarga. Perasaan ini dihadirkan oleh Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai
anugerah bahwa aku harus kuat.”,
kenang Imron Rosyadi
menjelang masuk pesantren santri.
Siapa yang tidak merasakan kesedihan saat akan berangkat ke pondok pesantren pertama kali? Imron Rosyadi hanyalah anak kecil saat itu. Rasa kasih sayang kepada ayah dan ibunya, membuatnya tidak bisa menampik tangis. Demikian juga dengan orang tuanya, di kedalaman hati mereka, tentu tak ingin jauh pandang dari putra kesayangan. Kendati
demikian, tangisan itu pada gilirannya akan mengendapkan kedamaian dan kenyamanan.
Selain nuansa sedih akan jauh dari kedua orang tua, Imron merasakan gelisah. Dunia baru, lingkungan baru, pergaulan baru yang akan dijelang tentu memantik getir sesaat. Bagaimana nantinya setelah di pondok kelak. Imron tentu memikirkan itu.
Bagi orang tua, memondokan anaknya merupakan bentuk tanggung jawab pendidikan. Orang tua Imron ingin kelak anaknya dapat berguna untuk agama dan negara. Kesedihan yang mengiring keputusan hidup adalah perihal wajar belaka. Jika seseorang enggan beranjak dari kesedihan, yang walau berat dirasakan, nasib hidupnya tidak akan pernah beranjak. Imron Rosyadi dan orang tuanya sadar betul akan hal itu.
Imron Rosyadi menjadi saksi, bahwa keputusan yang diambilnya saat itu terbukti nyata.
Ketersambungan rasa atau afinitas emosi antara anak dan orang tua, bukan kisah fiksi semata. Melalui likuan kisah berangkat dan tinggal di pesantren, afinitas tersebut lebih terasa adanya. Imron Rosyadi pernah merasakan langsung kekuatan energi sambung-rasa tersebut. Ia dapat memahami apa dan bagaimana kasih sayang orang tua itu. Namun, pada kenyataannya, hidup tidak selalu bersama orang tua.
Imron Rosyadi mengerti bahwa kasih sayang dan cinta kepada orang tua, baru akan terbukti setelah berpisah. “Curahan cinta dari kedua orang tuaku
sangat besar dan penuh pengorbanan”, Imron
Rosyadi sadar betul.
“Bagaimana tidak? Aku masih teringat kisah Nabi Ismail as. ketika mendapat
perintah dari Allah SWT untuk bersedia
disembelih bapaknya, Nabi Ibrahim as. Dengan ketulusan,
keikhlasan dan keimanan total,
Nabi Ismail pasrah
dan taat pada
perintah Allah SWT.” Semangat dari akhlak kenabian Nabi Ismail tersebut, diresapkan benar- benar dalam hati Imron Rosyadi.
Kedua orang tuanya rela mengorbankan apa saja. Selama masih mungkin, segala yang dimiliki ditebuskan tanpa pikir panjang, jika menyangkut kehidupan anaknya. Mereka rela berjumpa fajar lebih mula dari orang-orang pada umumnya. Hidup bertani sembari mengongkosi anak di pondok, bagai menaiki putaran arah jarum jam tanpa henti. Semua dilakukan demi mencukupi kebutuhan anak. Bertilam mimpi supaya sang anak menjadi anak yang saleh dan sukses kelak, orang tua Imron Rosyadi meniriskan lelah begitu saja.
Kedua orang tua tidak pernah mengharap imbalan apa pun. Mereka sama sekali tidak pernah meminta imbalan. Bagi Imron, kedua orang tuanya begitu tidak tergantikan. Kemuliaan mereka abadi.
Bersama dengan orang tua merupakan momentum yang paling berharga. Mengingat hal itu, Imron sering tercenung, terdiam beberapa lama. Momen kebersamaan dan melimpahnya bukti-bukti cinta seringkali membuatnya terhinggapi rasa bersalah. Ia khawatir tidak mampu membahagiakan kedua orang tuanya.
Dorongan batin yang kuat untuk berangkat ke pondok, menguatkan tekad Imron. Melalui kesungguhan mondok ia akan dapat mewujudkan mimpi-mimpi orang tuanya satu demi satu. Kelak ketika bapak-ibu sudah tua, setelah purna tugas pernafkahan yang dilalui mereka, Imron berharap dapat memberikan kehidupan yang layak bagi mereka. Mungkin akan tiba saat ia bisa berbakti lebih banyak.
Imron Rosyadi telah merencanakan segala sesuatunya, terutama suksesnya pendidikan yang dijalani. Walau berat, Imron Rosyadi meyakinkan
diri sendiri bahwa segala sesuatu butuh proses dan pantang untuk melanggar komitmen yang telah dibuat. Dari sini Imron Rosyadi mendapatkan ilmu kehidupan yang teramat berharga yaitu diawali dengan niat yang besar membuatnya merasa yakin, suatu saat, upaya ini akan mendatangkan hasil yang luar biasa. Satu tahun, dua tahun, hingga tiga tahun, waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa ia mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama. Bahkan perasaannya telah menyatu dengan pondok, begitu kuat dan resap hingga enggan untuk meninggalkan pesantren. Prasangka buruk tentang betapa sengsaranya hidup di pondok, terbukti salah besar. Semua itu hanyalah mambang ketakutan belaka.
***
Jika hidup ibarat perjalanan panjang, maka kita adalah musafirnya. Menyusurinya, sebagaimana berputarnya arah jarum jam dari berdetaknya detik pertama hingga detik henti terakhir, sudah bersesuai
goresan takdir. Berhijrah sebagaimana seorang musafir, akan membawa perjumpaan dengan beragam orang, banyak yang terasa asing pada mulanya. Namun, di kala musafir itu bermukim sejenak, maka hilanglah kesan asing tersebut. Dan yang tersisa hanyalah sebuah rumah dan keluarga baru, walau bukan sedarah. Mereka adalah teman- teman santri, yang berumah di pondok. Keseharian di pondok tak ubahnya sebuah keluarga.
Bapak H. Ropi’i sebagai orang tua merasa bahwa pendidikan itu sangat penting. Selain akan membawa manfaat di tengah masyarakat, aspek keilmuan dalam pesantren sendiri adalah harta tak tergadai. Dia menyadari betul betapa pentingnya sanad keilmuan pesantren.
Kenapa sanad ilmu pesantren itu penting? Karena untuk mengetahui sampai atau tidaknya ilmu yang diluruhi tersebut kepada Rasulullah Saw. Berbeda dengan ilmu non agama, ilmu agama itu
sejatinya bersumber dari Rasulullah Saw. lalu diturunkan kepada para sahabat, berlanjut terus menerus sampai kepada kita: sang pewaris zaman. Kita butuh mengetahui nama-nama ‘penyampai’ ilmu atau warisan kenabian, untuk dapat memiliki keseimbangan dan kesetimbangan sikap hidup dalam beragama.
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan nama-nama lainnya merupakan bagian dari generasi keilmuan era Nabi Saw. Mereka dikenal sebagai generasi Sahabat. Dari para Sahabat tersebut, rangkai sambung keilmuan berlanjut kepada para Tabi’in. Al-Qomah bin Qais bin Abdullah bin Malik, Ubaidah bin Amru, Ummu Darda, Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Zubair dan lain sebagainya merupakan bagian dari generasi keilmuan Tabi’in. Kemudian dari para Tabi’in galur terulur kepada Tabi’it Tabi’in. Pada generasi Tabi’it Tabi’in ini mengemuka para Imam Madzhab, yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi'i dan Imam Hambali. Dari para Imam Madzhab tersebut rantai keilmuan terus terulur sampai kepada para ulama atau para kiai, yang mana dari para ulama tersebut sampailah kepada kita.
Sanad keilmuan adalah rantai penyambung keilmuan yang turun temurun—dari aspek periwayatan—kepada para murid. Jika keilmuan tersebut dirunut maka sumbernya akan bermuara pada satu titik yaitu Rasulullah Saw. sebagai empunya Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebenarnya jalur keilmuan (sanad) ini tidak sebatas pertalian keilmuan semata, lebih dari yang lain, aspek ketersambungan ruhaniahlah yang sebenarnya paling penting. Dan pada aspek inilah pesantren terus hidup dan menghidupi keberislaman para santri beserta segenap umat yang tersambung kepada mereka.
Hal tersebut sebagaimana
diperjelas dalam sebuah Hadits:
“Sampaikan dariku meskipun satu
ayat, dan ceritakanlah (apa
yang engkau dengar) dari Bani Israil
dan jangan mendustakannya. Dan siapa
yang berdusta mengatas namakanku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah bertempat
di api neraka” (HR. Bukhari).
Imron Rosyadi kecil melabuhkan pendidikan keislamannya di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Di dalam pondok Imron Rosyadi menemukan kembali nuansa keluarga. Sejak mula masuk, sosok para ustadz menjelma sebagai orang tua kedua. Bukan sebatas orang tua, bahkan pada saat tertentu, mereka mampu menjadi sahabat dan kakak baginya.
Setiap ilmu dan nasihat yang diberikan menatah kepribadian. Seperti tanpa lelah mereka memberi semangat di kala dirinya tersuruk putus asa. Tak pernah lelah mengingatkan di kala dirinya lupa dan merasa tinggi hati. Tak pernah lelah memberikan solusi dan saran untuk setiap masalah
yang dikeluhkan. Dan hal yang paling penting, bahwa para ustadz tidak pernah memperlakukan Imron Rosyadi seperti orang lain. Imron merasa dianggap sebagai anak sendiri.
Segala kebaikan yang tercurah membuatnya mencintai mereka bagaikan cintanya terhadap kedua orang tuanya. Sebagaimana kedua orang tua, beliau tidak pernah mengharapkan imbalan apapun. Itulah yang membuat Imron Rosyadi bangga menjadi seorang santri. Satu kebanggaan yang terpatri kuat sampai hari ini.
Tumbuh besar di bawah asuhan dan kasih sayang para ustadz dan para kiai Babakan, semuanya membuat Imron Rosyadi percaya walau hidup jauh dari kedua orang tua tapi menjadi santri tidak akan pernah kehausan rasa kasih sayang dan ketulusan perhatian.
Saat kembali mengingat masa-masa pertama kali di pondok, yang dirasakan dalam benak seperti
hanya dirinya saja satu-satunya yang menangis. Tetapi setelah beberapa hari berlalu Imron Rosyadi sadar bahwa ada begitu banyak anak yang bernasib dan merasakan hal yang sama sepertinya. Mereka sama-sama merasa sedih karena harus tinggal jauh dari orang yang disayangi demi mencari keridhaan ilahi. Mereka semua yang pada mulanya orang asing, perlahan menjelma sebagai keluarga baru. Hubungan yang terjalin bukan sekedar tali pertemanan, melainkan tali persaudaraan yang begitu kuat sebagaimana kakak dan adik. Mereka lebih dari sebatas sahabat sebaya, sampai-sampai Imron Rosyadi bingung harus disebut sebagai apa mereka. Mereka selalu ada untuk berbagi cerita, berkeluh kesah, dan bersandar di saat lelah. Pernah suatu ketika Imron Rosyadi sakit dan hanya terbaring lemas, mereka secara sigap siaga merawatnya hingga sembuh sedia kala.
Itulah saat Imron Rosyadi pertama kali datang dari Desa Dawuan menuju ke sebuah desa di
ujung paling Baratnya Cirebon, berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, yaitu Desa Babakan. Di desa ini ia dipondokan oleh Bapak H. Ropi’i dan Ibu Hj. Sofiyah untuk menimba dan mengasup ilmu-ilmu agama di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Setelah satu hari dua hari, satu minggu dua minggu, satu bulan dua bulan, satu tahun dua tahun Imron Rosyadi mulai mengenal Babakan.
***
Babak sejarah desa dan pesantren Babakan dimulai dari kehadiran seorang pejuang Islam yang kerap dipanggil Kiai Jatira. Beliau berjasa karena yang pertama kali memulai dan membuka daerah yang dikenal kering dan gersang sehingga menjadi sebuah tempat pemondokan. Tidak heran, sebutan Babakan merupakan kata yang memiliki makna dari kesejarahan pembentukan awal desa ini, kata
Babakan bermakna
babak-babak (memulai atau membuka
lahan).8
Desa Babakan adalah sebuah kata yang sering terdengar sejak dahulu, ini menunjukan bahwa Babakan sudah berdiri sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Dan di sana ada pusat kegiatan keilmuan yang dituju oleh banyak orang dari penjuru Nusantara. Pondok pesantren sendiri bisa dikatakan sebagai kawah candradimuka, di mana di dalamnya berlangsung penggemblengan tunas-tunas ahli waris keilmuan.
Pondok Pesantren Babakan, awalnya hanya satu, yakni Pondok Gede Raudlatut Tholibin. Terletak di Desa Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Pondok ini merupakan pondok pesantren tertua. Pondok Pesantren Babakan didirikan sekitar tahun 1.127 H / 1.715 M oleh Kiai Jatira. Kiai Jatira
![]() |
8 KH. Zamzami Amin, dkk, Baban Kana: Pondok Pesantren
Babakan Ciwaringin dalam Kancah Sejarah
untuk Melacak Perang Nasional Kedongdong 1802-1919, 142.
adalah gelar dari KH. Hasanuddin putra KH. Abdul Latif dari Desa Mijahan, Plumbon, Cirebon. Beliau merupakan bagian dari trah Kraton Cirebon.9
Kehadiran Kiai Jatira yang memiliki nama asli KH. Hasanuddin adalah seorang pejuang agama yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat bermukim yang menjauhkan diri dari pengaruh kekuasaan Belanda. Dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama Pesantren Babakan.
Berawal dari satu pesantren yang didirikan oleh Kiai Jatira, vibrasinya secara positif meluas ke sekitar desa tersebut. Nuansa kesantrian Babakan secara kasat menampak lebih-lebih di pagi hari. Suasana pesantren pekat terasa. Para pelajar yang
![]() |
9 KH. Zamzami Amin, dkk, Baban Kana: Pondok Pesantren
Babakan Ciwaringin dalam Kancah Sejarah
untuk Melacak Perang Nasional Kedongdong 1802-1919, 141-142.
belajar di sekolah-sekolah yang berada di Babakan mulai berdatangan dari segala penjuru. Baik para santri mukim ataupun para pelajar dari luar daerah. Para siswa memakai peci dan celana panjang, sedangkan untuk siswi-siswinya mengenakan seragam dan jilbab yang telah diseragamkan bersandar kaidah keislaman dan peraturan sekolah yang ada.
Perkembangan pesantren di desa ini tidak bisa dilepaskan dengan pola dakwah para kiai yang dilakukan terhadap masyarakat Cirebon. Dalam dakwahnya, mereka lebih mengedepankan pola-pola keteladanan dan sikap egaliter. Pola sedemikian itu menjadikan masyarakat menambatkan harapan ketika sedang didera berbagai persoalan hidup. Ukuran baik dan jelek ataupun pantas dan tidaknya suatu perbuatan seringkali diukur dengan keteladanan yang dicontohkan oleh para kiai di Babakan. Hal demikian menjadikan semakin
pesatnya perkembangan pesantren di Babakan, sehingga desa ini dijuluki “desa santri”.
Kiai Jatira, dalam riwayat hidupnya,
sebagaimana dikutip dari buku “Meneguhkan
Islam Nusantara, Biografi
Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj” ia merupakan
sosok yang taat beragama.
Ia seorang pejuang dalam mendakwahkan agama Islam. Kendati sebagai tokoh dari trah Kraton
Cirebon, ia terkenal sebagai
sosok yang sederhana
dan dekat dengan
masyarakat bawah.
Ia juga peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Desa pertanian yang sering mengalami kekeringan sehingga kurang subur, membuat Kiai Jatira berpikir bagaimana pondoknya dapat berkontribusi dalam memberdayakan masyarakat setempat. Memulai dari hal kecil, ia menjadikan
pondok pesantren kecilnya di awal masa pendirian sebagai tempat singgah para petani.10
Pesantren Babakan Ciwaringin sangat berperan aktif mencerdaskan anak-anak bangsa. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya tokoh yang dilahirkan, baik tingkat lokal maupun nasional. Kehidupan mereka sehari-hari dididik dan digembleng dengan berbagai macam kegiatan. Setelah menyelesaikan pendidikannya di pondok, para santri diharapkan tidak kaku (kikuk) ketika menghadapi realitas dan persoalan kemasyarakatan. Karena sedemikian itu sudah menjadi asupan sehari- hari ketika masih di dalam pesantren.
Pesantren Babakan laksana kawah candradimuka tempat penggodokan dan wahana pembentukan karakter. Para santri terbiasa dengan hidup berdisiplin. Proses belajar mengajar berlangsung secara alami dan teratur. Dari tempat
![]() |
10 Republika.co.id 16 April 2022
ini, Imron belajar arti dan makna ilmu dari para kiai Babakan.
PONDOK PESANTREN MIFTAHUL MUTA’ALLIMIN
Waktu pertama kali datang menginjakan kaki di Pesantren Babakan. Saat itu Imron Rosyadi masih lugu, polos. Ia masih anak yang baru saja menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Batembat. Setelah sampai Babakan oleh orang tuanya dititipkan di Pesantren Miftahul Muta’allimin yang saat itu pengasuhnya adalah KH. Masduki Ali.
“Sampailah
aku dan kedua orang tuaku di Desa Babakan.
Perasaan hati deg-degan, penasaran. Sebelum masuk teras rumah kiai, aku, Imron Rosyadi, sudah disambut oleh dua santri senior
dan mempersilakan menunggu dulu di luar. Dua santri senior sudah faham kalau ada tamu orang tua bersama anak kecil yang belum dikenal,
hampir bisa dipastikan adalah calon santri
baru.”,
kenang Imron Rosyadi.
Tidak lama kemudian pintu utama terbuka dan dua santri senior keluar mempersilakan masuk.
“Silakan Pak, Bu, masuk ke dalam.
Kebetulan Pak Kiai lagi ada di rumah dan sudah mempersilakan masuk ke rumah. Silakan!”
ujar kedua santri senior dengan sopan.
“Baiklah,
terima kasih kang” jawab kedua orang
tua Imron, lalu Imron Rosyadi dan orang tuanya masuk
ke ruang tamu rumah KH. Masduki Ali.
“Mataku tak
henti melihati ruang tamu di rumah Kiai Masduqi Ali. Ada kaligrafi
yang terpampang di dinding
tembok. Sambil menyimak perbincangan orang tua dengan Sang Kiai datanglah
dua santri laki-laki membawa minuman teh hangat yang disodorkan untuk para tamu termasuk untuk
kami yang baru datang, hatiku
semakin bergetar”
Imron Rosyadi mulai terhinggapi takut dan bingung.
Saat Imron dan orang tuanya duduk di ruangan tamu, kedua orang tuanya menatap Imron Rosyadi dengan senyuman, karena ada kekhawatiran tidak betah di pondok. Dari balik tirai pembatas ruang tamu dengan ruang utama muncul sosok kharismatik dengan baju koko, kepala bersorban rapi dan mengenakan sarung.
“Assalamu’alaikum, Pak Kiai”, Bapak Ropi’i membungkukan badan terus bersalaman.
“Wa’alaikumussalam”
jawab KH. Masduki Ali dengan sopannya.
KH. Masduki dengan Pak Ropi’i lantas berbincang.
“Kalau mau memondokan anak harus diikhlaskan dan jangan diingat-ingat, jangan sering-sering ditiliki. Pasrahkan saja pada Allah
SWT dan doakan agar anak betah di pondok” kata Pak Kiai
sambil melirik ke Imron Rosyadi.
Orang tua Imron Rosyadi mengangguk- anggukan kepala tanda mengiyakan dawuh pak kiai, “Nggih pak kiai, mohon doanya agar anak saya bisa betah di
pondok” kata ayah Imron.
Imron Rosyadi yang mendengarkan perbincangan sambil menunduk, tanpa terasa ia menangis. Keluarlah air mata bercucuran. Kemudian Ibu Sofiyah dengan sigap mengusap- usap kepala Imron Rosyadi.
“Anaku, jangan khawatir, nanti di sini banyak teman. Ada yang dari Indramayu, dari Brebes, dari
Jakarta dan masih banyak lagi. Jangan bersedih. Nanti di sini belajar mengaji
bersama Abah Kiai, biar didoakan
juga jadi anak pintar, anak soleh, bisa berbakti kepada orang tua dan bermanfaat ilmunya bagi agama, nusa dan
bangsa ya, nak!” bisik sang ibu menasihati Imron Rosyadi.
Imron Rosyadi mengangguk dengan polos dan sedih. Setelah lama orang tuanya berbincang- bincang dengan Pak Kiai, tidak lama kiai
memanggil pengurus pondok untuk mengajak Imron Rosyadi melihat-lihat ruangan kamar dan berkenalan dengan santri baru lainnya.
“Setelah
aku meminum air yang disodorkan santri
khodim tadi, hatiku mulai tenang. Tidak ada rasa
gelisah lagi, aku sudah siap mondok dengan segala
resiko jauh dari orang tua” gumam Imron Rosyadi dalam hatinya saat itu.
***
Pondok Pesantren Miftahul Muta’allimin didirikan oleh KH. Masduki Ali dalam rangka pengembangan pondok pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, yang saat itu pondok pesantren pusatnya di Pondok Gede atau Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin yang didirikan oleh KH. Muhammad Amin atau Kiai Amin Sepuh yang ada di sebelah Utara.
KH. Masduqi Ali menikah dengan Ny. Hj. Munjiah. KH. Masduqi Ali mendirikan madrasah
untuk santri putra bernama Madrasah Al- Hikamussalafiah (MHS), yang kemudian kepemilikan madrasah ini diberikan kepada kiai lain.
Pada tahun 1992, KH. Masduqi Ali meninggal dunia. Pondok ini pun diasuh oleh sang putra, KH. Yahya Masduqi. Pada masa kepengasuhan KH. Yahya Masduqi pondok ini berkembang pesat.
Pada tahun 2005, KH. Yahya Masduqi meninggal dunia. kepengasuhan pun diberikan kepada Kang Ayip atau KH. Habib Syarif Hud bin Muhammad bin Yahya, KH. Habib Syarif Hud bin Muhammad bin Yahya meninggal tahun 2016 dan kepengasuhan pun diteruskan kepada KH. Abdul Muhaimin As'ad. Lc., sampai sekarang. Kang ayip atau Habib Hud Syarif bin Muhammad bin Yahya
dan KH. Abdul Muhaimin As'ad, Lc., merupakan menantu KH. Masduqi Ali.11
Di Pesantren Babakan ada tradisi untuk memanggil santri senior laki-laki atau kepada para ustadz dengan panggilan “Kang”, baik yang sudah kenal maupun kepada yang belum kenal. Dan untuk panggilan santri senior perempuan atau para ustadzah biasanya dengan “Yayu”. Untuk memanggil anak laki-laki yang berada di bawah usianya dengan panggilan “Cung” atau bisa juga dengan “Kacung”. Sedangkan untuk anak perempuan, biasa dengan kata “Nok” atau panggilan lainnya “Denok”.
![]() |
wilayah Cirebon sendiri sebenarnya memang terbilang unik. Masyarakat di Cirebon biasa menggunakan dua bahasa atau persilangan kedua
bahasa itu dalam berkomunikasi sehari-hari. Sebagian ada yang memakai Bahasa Sunda dan sebagian lagi ada yang menggunakan
Bahasa Jawa.
11 Wawancara dengan Gus Hisyam Yahya Masduki
salah satu cucu KH. Masduki,
tanggal 25 April 2022.
Orang Cirebon yang berbahasa Sunda memanggil adik atau usia di bawahnya, lebih rendah usianya kalau laki-laki “Ujang”, kalau perempuan dengan “Neng”. Untuk memanggil kepada orang yang lebih tua untuk laki-laki “Aa” dan untuk perempuan “Teteh” atau “Eceu”.
Hal tersebut tidak mengherankan, karena Cirebon sendiri merupakan daerah yang terbilang heterogen, beraneka macam daerah jadi satu. Biasa terjadi saat canda gurau, atau ledek-meledek, antara anak-anak Cirebon yang Sunda dan yang Jawa. Orang Sunda Cirebon meledek orang Jawa Cirebon dengan ‘Jawa Kowek’, sebaliknya orang Jawa Cirebon memanggil orang Sunda Cirebon dengan ‘Sunda Kowek’. Sedemikian itu adalah kelaziman belaka. Orang-orang di pesantren hidup dengan candaan dan gurauan untuk melenturkan urat pikir dari rapatnya kegiatan dan pembelajaran.
Imron telah resmi menjadi santrinya Kiai Masduki. Lama kelamaan ia betah di pondok.
Perlahan ia mengenal lingkungan pesantren, mengenal para santri, para ustadz, sebagai bagian dari keluarga dan kampung keduanya.
Jadwal mengaji sudah terstruktur rapi dan rutin. Ada penyesuaian pelajaran terkait usia dan jenjang santri. Kalau usianya masih kanak-kanak tentu kitab yang dipakai masih materi-materi ringan tentang dasar-dasar keislaman.
Sistem pendidikan dan pengajian yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Muta’allimin ada dua jenis, yakni: Sistem Sorogan dan Sistem Bandongan. Sistem Sorogan lebih diutamakan. Mengaji kepada kiai secara talaqqi atau secara langsung sangat dianjurkan. Waktu mengaji ke kiai, waktunya bakda Ashar dan bakda Subuh. Kitab yang disampaikan Kiai Masduki dalam pengajian adalah kitab berisi ilmu alat atau tata Bahasa Arab, meliputi: Jurumiyah, Imriti dan Alfiyah. Dan untuk kitab fiqh-nya semisal: Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Muin. Setelah para santri dianggap mampu
mengaji kitab-kitab tersebut, mereka lantas diajari praktik membaca kitab kuning secara mandiri.
“Aku merasakan
begitu berat, tapi asal sabar dan tekun insya Allah bisa
melewatinya. Yang paling terasa berat ketika pertama kali harus menghafal kitab Jurumiyah” Imron
berkisah kepada Subhan.
Subhan adalah salah satu teman Imron yang kebetulan mondok di Pondok Raoudlotuth Tholibin, Pondok Lor yang keberadaannya masih di Babakan juga. Bahkan pondok Roudlotuth Tholibin adalah pondok pusat atau cikal bakal semua pondok yang ada di Babakan. Subhan saat itu sedang main di pondok, di mana Imron mondok di situ.
“Makanya harus rajin dan wekel kalau sedang mondok
tuh Im, jangan kecewakan orang
tua kita” kata Subhan
menasihati teman karibnya.
“Iya Sub,
saya pernah di takjir12 berdiri di depan kelas selama mengaji
karena tidak hafal dalam
setoran mengaji” kata Imron sambil malu-
malu.
“Kalau kamu
pernah ditakjir belum
selama ini?” Tanya Imron pada Subhan.
“Iya, aku
pernah ditakjir digrujug
(dibanjur) air kotoran tinja gara-gara ketahuan
berjalan dengan cewek di
Kasab,13 makanya saya main ke sini
ingin curhat kemarin dapat hukuman itu” jelas Subhan.
“Iih.. kotor,
jorok, bau” ucap Imron.
“Bagaimana
perasaanmu Sub, enak? Tanya Imron lagi.
![]() |
12 Takjir adalah sebutan khas pesantren yang berarti hukuman
atau sanksi tersebab
melanggar peraturan dan semisalnya.
13 Wawancara dengan Bapak Sumarna warga Babakan yang tinggal di pinggiran Kasab. Kasab adalah nama sebuah tempat
di jalan raya Cirebon-Bandung yang
melewati Babakan, biasanya santri dari
mana saja kalau mau ke Pesantren Babakan turun
di Kasab. Dari Kasab menuju pondok ada yang
jalan kaki ada yang naik becak.
“Boro-boro
enak Im, ya kotor, ya bau, ya gatal,
pokoknya ga enak deh. Apalagi ditonton oleh santri seluruh
pondok. Begini Im, sebelum dilaksanakan hukuman disidang dulu di kantor pesantren oleh keamanan pondok.
Sekalipun perasaanku tidak bersalah karena
ketahuan berjalan bareng dengan cewek di Kasab keputusannya
dihukum digrujug air kotoran, siapa ga sedih coba Im?” Subhan berkaca-kaca sambil bercerita sedih.
“Awalnya bagaimana
Sub, kok bisa begitu?”
tanya Imron pada Subhan.
“Begini Im, saya kan pulang dari rumah Kertasmaya naik mobil Bus Kopayu, turun di Palimanan. Dari Palimanan naik mobil elf
jurusan Cirebon-Bandung sampai Kasab saya turun. Pas turun bareng dengan santri perempuan yang mondoknya di pondok Bapenpori
Ibu Nyai Ijah, namanya Nur Janah, kebetulan
bawa kardus 2 buah, karena
kasihan saya bawakan
1 kardus,
sampai pintu pondok Bapenpori
ketahuan keamanan pondok Roudlotuth Tholibin
terus malamnya disidang. Ya,
begini deh yang mananya nasib” jawab
Subhan sedih.
“Haha, haha, haha..” Imron tertawa terbahak-bahak
mendengar temannya sedih, terkena hukuman.
“Ya sudah Sub jangan bersedih begitu,
minum tuh kopinya” Imron menghibur.
***
Di Pondok Pesantren Miftahul Muta’allimin (PPMM) ada yang namanya Madrasah
Qismul Layali mengaji kitab
kuning langsung ke pak kiai di malam hari, waktunya setelah
sholat Maghrib. Dalam
kegiatan Madrasah Qismul Layali santri dituntut harus setoran hafalan
nadzoman seperti, Awamil, Amtsilatuth Tasrifiyah, Jurumiyah, I’lal lengkap dengan Qowa’idul
i’lal, Imriti, Nadzom Maksud, Alfiyah.
Praktik pembelajaran tersebut
dimulai dari kitab Awamil yang dingajikan langsung kepada KH. Masduki. Dengan praktik
ini, diharapkan santri terlatih
untuk benar-benar berfikir mandiri. Selain kitab Awamil, ada kitab Jurumiyah Matan, Jurumiyah Mukhtasor, Imriti Syarah, Fathu Robilbarri, Alfiyah Ibnu Malik, Alfiyah
Ibnu Aqil, Alfiyah Hamdun, Dahlan Alfiyah, sampai kitab Mughni
Labib. Semua kitab-kitab tersebut diajarkan untuk memberikan bekal kecakapan santri dalam memahani
Bahasa Arab. Memang,
Bahasa Arab adalah ilmu dasar atau ilmu awal ketika
menjalani pendidikan di pesantren. Lebih-lebih pesantren tradisional.
Selain mengaji bakda shalat Maghrib, KH. Masduki juga mengadakan pengajian bakda shalat Ashar yaitu: Kitab Tafsir Jalalain dan Kitab Fathul Qorib. KH. Masduki hampir setiap hari memberikan pengajian di pondoknya kecuali hari Selasa dan hari Jum’at yang digunakan sebagai hari libur. Dalam
keberlangsungan pengajian kitab, santri dituntut dan didorong mampu membaca kitab kuning dan mempraktikannya sendiri. Proses itu ditempuh dengan cara setor “bacaan kitab” langsung pada pak kiai.
Dalam selingan pengajiannya KH. Masduki Ali kerap menyampaikan bahwa inti sendi pengajian dan pembelajaran itu ada dua (2). Pertama, Attarbiyah Ta’limiyah yang biasa kita sebut ‘Tholabul Ilmi’ atau mencari ilmu. Seperti di sekolah, di madrasah, di pondok pesantren atau di majelis taklim. Kedua, Attarbiyah Sulukiyah yaitu berpraktik langsung dalam mengejawantahkan pendidikan di masyarakat. Seperti misalnya perihal masalah haliyah atau perilaku. Attarbiyah Sulukiyah inilah yang paling berat karena muaranya adalah ‘praktik langsung’ di masyarakat.14
![]() |
Dengan gemblengan dan bimbingan langsung
dari KH. Masduki
Ali inilah, Imron
14 Wawancara dengan Gus Hisyam Yahya Masduki,
salah satu cucu dari Kiai Masduki Ali. Tanggal 29 Juli
2022.
Rosyadi bisa memperoleh banyak ilmu dan rantai keteladanan perilaku. Di Pesantren Babakan Ciwaringin tidak hanya Pesantren Miftahul Muta’allimin sja, tapi masih banyak lagi pesantren- pesantren yang berada di bawah asuhan para kiai Babakan.
“Pada saat mondok di Pondok Pesantren
Miftahul Muta’allimin (PPMM). Alhamdulillah aku bisa mengaji ke banyak kiai di Babakan. Karena pada saat itu bagi siapa saja yang mondok di Babakan
bisa mengaji ke kiai siapa saja. Aku tidak hanya mengaji
ke KH. Masduki Ali saja, tapi mengaji
ke beberapa kiai yang ada di Babakan,
seperti: mengaji hafalan Al-Qur’an ke KH. Tamam Kamali (MQHS), mengaji
ilmu-ilmu fiqh ke KH. Muklas (Pondok Pesantren
Al-Ikhlash), mengaji ilmu alat ke KH. Muntab (Pondok Pesantren
Al- Huda), mengaji
ke KH. Amin Halim (Pondok
Pesantren. Mua’allimin-Mu’allimat), meminta
amal-amalan wiridan ke KH. Makhtum
Hanan (Pondok Pesantren
Masyariqul Anwar).15
![]() |
15 Wawancara dengan Bapak Drs. H. Imron, M. Ag, Bupati Cirebon tanggal, 13 Maret 2022 di Pendapa
Bupati.
NGELIWET DAN MAKNA JIHAD
Di Pesantren Miftahul Muta’allimin (PPMM) Babakan, Ciwaringin, Imron Rosyadi sudah terbiasa dengan kesederhanaan, makan apa adanya. Dan memang hampir tidak ada warung makan yang menyediakan layanan makan siap saji untuk santri seperti sekarang ini. Kecuali di belakang Pondok Pesantren Roudlotuth Tholibin atau Pondok Lor, di sana ada jalan menuju kali, di situlah banyak berjejer warung-warung menyediakan makanan dan camilan.
Sekalipun demikian, perihal makanan bukan menjadi masalah. Hanya, memang, kalau tidak makan ya akan benar-benar kelaparan. Dalam kehidupan pondok pesantren istilah ‘Ngeliwet’ sudah lumrah bagi semua santri dan hampir semua santri bisa ngeliwet. Berbekal tungku dari batu bata dan kayu bakar seadanya, para santri sudah bisa
menghidupi kebutuhan perutnya. Kalau tidak ada kayu bakar, kayu rongsokan yang ada di pondok menjadi sasaran empuk untuk melancarkan aksi ngeliwet itu. Yang penting jangan sampai perut dijajah rasa lapar. Bisa bermasalah.
“Aku paling jago dalam hal
ngeliwet dan masak memasak mah, lawuh yang menjadi
favorit saat itu adalah sambal encung
bakar atau sambal terong bakar”.16 kata Imron pada Subhan sahabatnya yang paling karib. Kini giliran
Imron Rosyadi main ke
pondok Roudlotuth Tholibin.
“Memangnya sudah bisa masak apa Im?
Saya kok tidak percaya.” tanya Subhan.
“Oh,
macam-macam Sub. Ngeliwet, masak sambal
encung (sambal terong), oseng kangkung,
oreg, urab tewel dan lain-lain, aku bisa Sub” Imron meyakinkan Subhan.
![]() |
“Ok, kalau begitu kebetulan
nanti malam kan malam Jum’at.
Pondok Tholibin kan acaranya
16 Wawancara dengan Bapak Drs. H. Imron, M. Ag, Bupati Cirebon tanggal, 13 Maret 2022 di Pendapa
Bupati.
Marhabanan Maulid
Al-Barjanji, Belajar Khitobah dan
setelah itu bebas. Kamu main ya, Im, ke pondok
Tholibin, kita mayoran dan kamu yang masaknya!” pinta Subhan.
Benar saja, saat tiba malam Jum’at acara Marhabanan Maulid Al-Barjanji diteruskan dengan acara belajar khitobah sudah selesai dihelat di pondok Roudlotuth Tholibin. Datanglah Imron Rosyadi ke pondoknya Subhan sebagaimana sudah dijanjikan di waktu siang. Subhan dan teman-teman satu kamar kebetulan semuanya satu kamar dari Kertasmaya, sudah menyiapkan beras dan bahan sayur mayurnya.
“Imron, coba biar kamu yang meracik
bumbunya, tema malam ini kita akan mayoran
masak ngeliwet dan sambel encung (terong),17 sanggup?” pinta Subhan.
![]() |
17 Wawancara dengan Bapak Drs. H. Imron, M. Ag, Bupati Cirebon tanggal, 13 Maret 2022 di
Pendapa Bupati. Sambal Encung atau
yang biasa disebut sambal terong. Pada zamannya masakan ini paling pavorit di pondok pesantren
Babakan.
“Siap boss,
saya sanggup. Hadiahnya apa dulu nih? Tanya Imron.
“Ada deh,
hadiah spesial untuk sahabatku Imron Rosyadi”
jawab Subhan. Teman-teman Subhan yang mendengar
dan melihat mereka,
sontak bersorak sorai.
Untuk membuat sambal encung atau sambal terong, Subhan dan teman-temannya sudah menyiapkan: 7 buah terong, cabe merah secukupnya, cabe rawit secukupnya, 5 siung bawang merah, 5 siung bawang putih, 3 buah tomat, trasi secukupnya, garam secukupmya, micin secukupnya, kacang goreng secukupnya dan saos secukupnya.
Dengan sigap Imron menyiapkan cabe merah, cabe rawit, tomat, lalu dibakar semua bersamaan dengan terong muda. Setelah matang, lalu diulek di cobek, ditambah kacang goreng menjadi satu campuran. Imron lancar beraksi dibantu Subhan dan teman-teman. Setelah bahan-
bahan diulek menjadi satu, jadilah kuliner sambal encung ala Imron yang sensasinya masih terngiang sampai kini, di benak Imron dan kawan-kawannya.
Bagi kalangan pesantren, hampir semua santri bisa memasak racikan sambal terong. Minimal pada level dasar. Setelah menguasai teknik dasar ini biasanya para santri akan berkreasi dan berimprovisasi sesuai bahan dan mood masing- masing. Sambal terong memang adalah salah satu dari bukti kesantrian, tempo dulu. Selain tentu saja penguasaan dan pembiasaan kaidah-kaidah dasar keislaman.
Tepat jam 24.00 WIB malam, nasi liwet sudah dibabar di dua nampan, lengkap dengan sambal encung yang pedas telah siap disaji di atas nasi yang masih panas mengepul. Bertemulah sensasi panas dan pedas. Sekalipun masih panas, dengan sigapnya santri menyantap masakan sambal encung tersebut. Oleh Imron, hasil masakannya dinamakan ‘Sambal Encung Persatuan’ karena bisa
menyatukan lidah dan hati para santri dari berbagai bangsa dan usia.
***
Suatu hari ketika Ibu Hj. Sofiyah datang ngebestel18 atau menyambangi Imron di pondok, ayahnya tidak ikut karena sedang sibuk mengurusi sawah di kampung. Saat itu Imron sudah mulai betah di pondok bahkan bisa bercerita tentang keahliannya ngeliwet dan masak.
“Bu, aku
sekarang sudah pandai ngeliwet. Bersama teman-teman,
memasak nasi dengan alat dari tungku
tanpa dipindahkan di atas sarang, jadi langsung beras yang sudah dicuci dimasukan
ke panci ditambahkan air secukupnya, kalau airnya sudah hampir habis, volume api dikecilkan
![]() |
18 Ngebestel adalah istilah
mengirim makanan atau uang sambil sambang
atau menjenguk anak di pondok.
Wawancara dengan Gus Hisyam
Yahya Masduki salah satu cucu KH. Masuki Ali, 20 Juni 2022.
sekecilnya sampai matang”. Cerita Imron kepada
ibunya dengan penuh binar.
“Teksturnya lembut,
selembut hati santri yang rela bergelut. Sangitnya
asap liwetan mengepul di dinding-dinding langit menyebarkan bau intipnya ke kamar-kamar pondok.
Setelah nasi liwet matang kemudian ditaruh
di atas nampan yang besar,
sambil ramai-ramai para santri yang belum
dapat tugas memasak langsung mengambil apa
saja yang bisa dipakai untuk mengipasi nasi liwet”. Kata
Imron lagi. Ibuku yang mendengar
ceritaku jadi termesem-mesem.
“Apa lagi kemarin aku habis mayoran
masak sambal encung, nikmat banget bu. Ibu bisa masak sambal encung ga? Atau nanti Imron yang masakin,
pasti ibu ketagihan” tanya Imron.
Ibunya mesem-mesem geli sambil merasa bangga anaknya sudah betah di pondok tidak perlu banyak khawatir lagi.
“Kegiatan ngeliwet
di samping memiliki
nilai kebersamaan yang kuat juga bermakna jihad perjuangan yang sangat luar biasa, bu. Kenapa bisa dikatakan
jihadnya para santri,
karena ngeliwet memiliki
banyak keutamaan: Pertama,
menghilangkan rasa kesombongan. Bagaimana tidak, kalau
kita makan sendiri apalagi prasmanan di tempat yang enak kadang menampilkan sikap keangkuhan. Kedua, menambah nafsu makan. Bayangkan kalau kita tidak cepat dalam gerakan per detik, maka lauk yang ada di atas nasi bisa-bisa cepat
lenyap. Meskipun itu hanya terong gosong dan tempe. Ketiga, tidak dihisab di akhirat. Semua yang dimakan akan dipertaggung jawabkan. Barang siapa yang makan secara bersama-sama dalam satu nampan,
maka tidak akan dihisab” Demikian
Imron menambahkan cerita sambil mengarang
dalil pembelaan diri.
Keasyikan mendengarkan cerita Imron, ibunya yang sedang membawa makanan dan jajanan dibiarkan saja.
“Sudah Im, jangan banyak cerita. Nih jajanan
dan makanan bawa ke kamar, kasihan tuh teman-teman kamu melihat aja dari tadi ingin makanan” ibunya
menimpali. Suasana pondok jadi ramai. Kehadiran
Ibu Sofiyah, ibunya Imron, membuat
kamar semarak: pesta makan.
Imron menjalani hidup sejak kecil secara sederhana dan biasa saja sama seperti anak lainnya. Imron mendidik dirinya supaya bisa mengikuti keinginan orang tua, membahagiakan orang tua. Karena ia merasakan semangat mereka yang membara menjela-jela dalam memondokan anak mereka. Mengaji dan menuntut ilmu, khususnya bidang agama, akan menjadi perisai diri, dan cahaya dalam jiwa. Diri orang berilmu akan bersinar dan dapat menyinari orang-orang sekitarnya. Dengan berharap bisa mencontoh para salafus shalih dan
para salik dalam mencari ilmu, mereka rela melakukan apa saja demi terrengkuhnya ilmu sejati. Akidah yang kuat ibarat akar yang menancap kuat di bumi. Pohon yang akarnya kuat dan menghujam dalam-dalam tidak akan mudah tumbang terkena terpaan angin, badai, atau bahkan longsor sekali pun. Seorang santri seharusnya tidak mudah terbawa, terseret oleh hal-hal yang belum ia ketahui kebenarannya. Alih-alih sesuatu yang
negatif, di mana saja ia berada.
BERKAH
KIAI BABAKAN
Pondok pesantren merupakan salah satu tempat menuntut ilmu yang cara pembelajarannya masih identik dengan cara-cara tradisional. Sekali pun demikian sebagai seorang santri tidak boleh minder bersaing dengan siapa pun, kapan pun. Sudah banyak tergelar bukti bahwa menjadi santri bisa jadi kiai, ustadz, dokter, budayawan, seniman, dosen, guru, teknokrat, politisi dan lain-lain.19 Malah seharusnya mereka bangga, karena memiliki ilmu agama yang bisa dikatakan purna.
![]() |
Imron yang saat sekarang sudah menjadi Bupati Cirebon ini, merasakan bahwa
dirinya sudah merasa cukup lama mengenyam
pendidikan di pondok
pesantren Babakan.
19 Penyampaian pidato Bupati Cirebon, Imron
Rosyadi,
kepada seluruh
peserta Sadesha (Satu Desa Satu Hafidz) saat menjadi
pembicara Diklat Sadesha di Kuningan, Sabtu, 25 Juli 2020.
"Aku dulu mesantren di Babakan Ciwaringin kurang lebih 10 tahun. Menurutku
negara menjamin hak semua kalangan
untuk mendapatkan pekerjaan
dan kehidupan yang layak. Termasuk di dalamnya adalah santri. Sebagai
santri, seperti kita, bisa juga bergabung ke bidang yang tidak berkaitan
dengan kepesantrenan. Buktinya,
sekarang aku dari seorang santri bisa menjadi
Bupati. Zaman dulu, susah santri jadi Bupati, jadi pejabat, jadi apa pun tetap
susah, tapi kita harus bisa
membuktikan bahwa kita mampu di depan ".20
Apa lagi sekarang dengan berkembangnya zaman, cara pandang pesantren mulai berkembang semakin modern sesuai dengan kebutuhan zaman, tanpa harus meninggalkan karakter-karakter (tradisi) yang sudah dipegang teguh oleh pesantren sejak para pendiri-pendiri terdahulu.
![]() |
20 Wawancara dengan Bapak Drs. H. Imron, M. Ag, Bupati Cirebon tanggal 13 Maret 2022 di Pendapa
Bupati.
Aktivitas di pondok pesantren tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas santri yang lebih banyak mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan juga ilmu sosial dan ilmu umum lainnya baik itu dengan sesama santri, para ustadz dan pak kiai beserta keluarganya. Aktivitas-aktivitas inilah yang menjadikan para santri memperoleh bekal keilmuan, baik yang secara dhohiriah atau secara bathiniah, yang mana hal tersebut mungkin ada yang sulit untuk diungkapkan dan ada juga yang memang secara jelas dapat dilihat dan diungkapkan secara nyata kemanfaatannya dari setiap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para santri tersebut.
Inilah nuansa misteri yang kerap disebut sebagai ‘keberkahan’ atau barakah. Mungkin bagi sebagian orang tidak mempercayainya, namun bagi Imron, ketidak percayaan itu dikarenakan pemahaman dan pengalaman mereka yang masih kurang terhadap agama itu sendiri.
Dalam kalangan santri, aktivitas mencari dan merengkuh keberkahan tersebut biasa disebut dengan tabarruk, yang berarti ‘berharap berkah’, baik dari para kiai atau orang-orang yang kesohor kealimannya. Keberkahan sendiri merupakan suatu misteri. Pada setiap aktivitas yang dilakoni para santri, pada dasarnya sudah terlingkungi nuansa keberkahan. Hanya saja, banyak yang belum merasakannya atau belum menyadarinya.
Mereka melakukan dan mencari berkah itu pada dasarnya tidak mengharapkan apa-apa kecuali keikhlasan dalam menuntut ilmu, tawadhu’ dan ta’dhim pada kiai. Sehingga yang terjadi dalam kehidupan para santri lebih banyak mashlahah (kebaikan) yang mereka dapatkan secara sadar atau tidak sadar.
Para santri, siapa pun mereka, wajib bersyukur telah ditakdirkan oleh Allah SWT bisa belajar di Pondok Pesantren. Jika tidak mendapat hidayah dari Allah, mondok itu berat sekali. Di sisi
lain, kesulitan dalam mencari ilmu itu sendiri sudah termasuk sebab-sebab kita mendapatkan keberkahan. Imron merasakan sendiri betapa mesantren bertahun-tahun bukan perkara yang mudah dijalani. Sepintas sangat susah, berikut segala keterbatasan dan kekurangan.
Suatu hal yang bisa dirasakan oleh Imron dari sisi keberkahan tinggal di pesantren, ia bisa membangun karakter kemandirian diri. Seorang Imron yang sejak di pondok sudah terlatih bergotong royong, kerja bakti, dan berorganisasi tidak akan menjadi pribadi yang lembek.
Alhamdulillah, saat nyantri di Babakan Ciwaringin ia banyak diajarkan oleh para kiai bagaimana seorang santri harus menghormati guru- guru. Para kiai yang mengajarkan dan meneladankan langsung tentang akhlak terbaik. Adab yang diteladankan mereka, semata-mata adalah sumber keberkahan.
Karena itu sejak di pondok, hingga hari ini, di telinga Imron Rosyadi masih terngiang dengan jelas dawuh-dawuh para kiai Babakan. Di antara yang bisa penulis himpun, sebagai berikut:
Dawuh KH. Amrin Hanan:
1.
Ati Bagus Allah qobul. Hati yang bersih menjadi penarik
ridha Allah.
2.
Hasile
istiqomah iku sawise telung tahun. Buah dari praktik beristiqamah (konsistensi) baru bisa dirasakan
minimal setelah masa tiga tahun.
3.
Kudu
ngagungaken ilmu aja ngeremehaken ilmu. Harus senantiasa memuliakan dan menghargai ilmu, jangan sampai
merendahkan-meremehkan.
4.
Pelajari bahasa intelek, karena kanggo njaga martabat santri supaya aja diremehaken. Mengenali dan mempelajari keilmuan di luar pesantren—ilmu dan tata pikir akademik— sebagai
bagian dari menjaga
martabat kesantrian.
5.
Wong beli nulis iku bodoh- bodohe menusa. Sebodoh-bodohnya orang
adalah yang tidak bisa ilmu baca-tulis.
6.
Kebiasaan atau adat wong kang
cerdas seneng maring barang kang angel. Salah satu etos para ulama, ilmuwan, dan semacamnya adalah menyukai
sesuatu yang (pada sekilas pandang) nampak
sulit dilakukan.
7.
Kudu
ngormati ning kiai kampung senajan sira ngerasa
luwih pinter. Harus selalu menjaga adab, menghormati kiai kampung—yang biasanya terbatas
pendidikannya—walau pun secara bobot dan penguasaan keilmuan Anda lebih
tinggi.
8.
Lamon
balik ning umah sira aja ngerasa pinter. Saat sudah lulus dan pulang ke kampung halaman,
jangan pernah merasa ‘lebih pintar’
dari yang lain.
9.
Kudu duwe guru amal, tabarrukan. Harus memiliki sosok panutan,
yakni sosok yang sudah
di tahap pengamalan (istiqamah) ilmu sebagi laku hidup.
10.
Aja
duweni pikiran "kita kuh wis ngaji atau
wis ngerti". Pantang bagi santri memiliki
anggapan “karena sudah mengaji, aku sudah pintar”.
11.
Guru iku mesti duwe keistimewaan. Setiap guru memiliki
keistimewaan masing-masing.
12.
Buangen
sifat Ana atau sifat sombong. Buang jauh-jauh sifat
angkuh dan sombong diri.
13.
Ilmu iku kudu atine bersih lan tawadhlu. Supaya
dapat mendapatkan berkahnya ilmu, harus senantiasa bersih hati dan rendah hati.
14.
Aja
niat mulang, niatana belajar. Jangan meniatkan mengajar, niatkanlah belajar (saat sudah
menjadi guru).
15.
I’tiqodaken ilmune guru iku bagus,
senejan nyatane blesak. Percaya
kepada tutur nasehat guru adalah
keutamaan, walau pun (tutur- nasehatnya) nampak tidak baik.
16.
Wong mati iku
pada karo wong urip, artine lamon sira ziaroh ning wong mau, maka cara ziarohe pada karo waktu sira nemui lagi uripe, dadi kudu ati-ati ning masalah
ziaroh, kudu nganggo adab. Orang
yang sudah meninggal, tak ubahnya
orang yang masih hidup. Maka, saat
menziarahi mereka berlakukah
sebagaimana bertamu, berhadapan dengan sosok hidup.
17.
Ibadaha
kaya sira mangan ngerasa wareg.
Beribadahlah sampai (perut ruhani) merasa kenyang.
Dawuh KH. Makhtum Hanan:
1.
Metune keramat
iku karena istiqomah. Lahirnya keramat datang dari keajegan
atau konsistensi perilaku.
2.
Akehe rencana
iku dadekaken gagal. Terlalu jauh membuat rencana,
menyebabkan kegagalan.
3.
Aja
ilok mojok-mojokaken ning kalimate Allah. Jangan sembarangan mengambil manfaat dari Al-Qur’an, sesuai kehendak-kepentingan sendiri.
4.
Di
antara Doa kang ora diijabah, karena
nyepeleaken kalimate Allah SWT, kaya bismillah
, dll. Di antara sebab tidak terkabulnya doa adalah menyepelekan kalam Allah, walau pun itu sederhana seperti
kata “Bismillah”, dll.
5.
Cirine
bocah kang gelis diangkat derajate iku bocah
pikirane dawa. Satu pertanda seseorang cepat terangkat derajatnya (di sisi Allah) adalah mereka
yang punya pikiran
panjang-mendalam.
6.
Luruh barokah
lan manfa’at. Berkah dan kemanfaatan (sejatinya) menyatu.
7.
Aja ngerasa
cukup. Jangan pernah merasa cukup.
8.
Aja
buru-buru luruh duit. Jangan terlalu ambisi dalam bekerja.
9.
Wong ziaroh sangune dudu sandang kang
bagus tapi ati lan adab kang bagus. Menziarahi kubur (atau bertamu kepada sosok hidup)
bukan bermodalkan tampilan
pakaian yang indah,
tetapi hati dan sopan santun yang bersih.
10.
Ijabae ilmu nafi’ lan ziaroh karena
adab. Tuah keilmuan dan berziarah hadir dari tata krama.
11.
Alamat
diqobul iku ikhlas. Ciri dari doa yang dikabulkan adalah terasa di dalam hati ‘rasa ketulusan’.
12.
Ati kudu ngerasa duweni sifat pepeka.
Hati harus senantiasa peka.
13.
Aja ilok ngeremehakan awal kang setitik.
Jangan pernah meremehkan permulaan yang terlihat
sepele.
14. Katone ati kelawan
wirang maring wong lian.
Kualitas hati bisa dilihat dari respon orang lain.
15.
Wongkang
ninggalaken adab (tata krama) iku gampangaken ninggalaken sunnah, lamon wis ninggalaken sunnah wani ninggalaken wajib.
Orang yang sudah berani meninggalkan tata krama, cenderung meninggalkan sunnah Nabi Saw., sedemikian cenderung (berani) meninggalkan ibadah wajib.
Dawuh KH. Syaerozi:
1.
Santri iku kudu wuruki tentang masalah shalat.
Santri harus telah selesai perihal shalat.
2.
Goroh (bohong) iku ngerupekaken urip. Berbohong
dapat membuat hidup jadi susah dan tersendat.
3.
Dadi
wong iku kang loman. Jadilah orang yang ringan tangan dan mudah memberi
kepada liyan.
4.
Santri tidak apa-apa ilmune
ngelewihi ilmune Mahasiswa. Santri seharusnya memiliki
ilmu lebih tinggi dari mahasiswa.
5.
Ria
iku batalaken amal. Amal ibadah menjadi batal karena rasa bangga
diri dan pamer.
6.
Lamon
dolan ning umahe batur, aja ngeluwihi telung dina. Jika bertamu
ke rumah teman, jangan sampai lebih dari tiga hari.
7.
Santri
iku kudu kendel, aja kencing ning endi tempat. Seorang
santri harus bermental
kuat, tidak mudah minder.
8.
Santri iku aja thoma' kecuali dipahi
lan disesel- seselaken, iku ora
pa-pa. Seorang santri jangan sampai berharap
(upah) kepada orang (yang mengundangnya). Kecuali dipaksa untuk diterima, (upah) boleh-boleh saja.
9.
Wiridane
santri iku maca Al-Qur’an lan nderes pelajaran. Dzikirnya santri adalah membaca
Al-Qur’an dan belajar.
10.
Aja wani wani ngelakoni amal-amalan tanpa seidzin
kita. Jangan pernah sekali pun, melakukan
amalan di luar sepengetahuan kita (pengasuh).
11.
Santri
iku kudu bisa jaga-jaga lan akeh melek bengi.
Seorang santri harus bersikap waspada dan betah terjaga di malam hari.
Dawuh
KH. Mukhlas:
1.
Baka
ana dosen kang sejen aqidah, omongane aja
di andel. Ketika ada dosen (pengajar) yang akidahnya
tidak kuat, jangan dipercaya omongannya.
2.
Ning dunnya iku aja nemen-nemen ngopeni
badan, tetapi rohanine
kang kudu diopeni
nemen-nemen. Hidup di dunia jangan terlalu berfokus pada ‘raga luar’ atau badan,
bersibuk- tekunlah pada yang ‘ruhani’.
3.
Dzikir kang paling utama iku dzikiran saat akan melaksanakan maksiat, sehingga
tidak jadi melakukan maksiat. Dzikir yang paling
tinggi adalah berdzikir saat sedang akan melakukan dosa kemaksiatan, sehingga melalui dzikir
itu tidak jadi melakukan dosa.
4.
Lamun
kebutuhan masih durung cukup, maka aja gemek shadaqoh. Jika finansial belum mapan,
jangan terlalu banyak berderma.
5.
Dalan neraka iku wajib ninggal ngelakoni
barang kang haram. Jauhi barang
haram, supaya tidak berakhir
di neraka.
6.
Sumber khusyu' lan tho'at iku saking panganan. Ketenangan fokus (khusyuk)
dan ketaatan beribadah bersumber dari kondisi
(halal-haram atau bersih tidaknya) makanan.
7.
Isin iku aja ning menusa tapi ning Allah. Malulah
hanya kepada Allah, jangan kepada manusia.
8.
Baka
pengen manfaat ngajine aja kedinginan kiai.
Jika ingin mendapatkan berkah mengaji, jangan terburu-buru atau
jangan pernah ingin dianggap
kiai.
9.
Ana
aksi ana reaksi. Semacam peribahasa tak ada asap tanpa api. Hukum sebab akibat.
10.
Aja
jaluk, sebab lamon kang dijaluki ora ikhlas bakal
haram. Jangan (mudah) meminta untuk diberi sesuatu, karena jika yang memberi tidak ikhlas atau
rela, maka pemberiannya menjadi ‘haram’.
11.
Dadia
wong sing anggah ungguh. Jadilah orang yang tahu
sopan santun.
12.
Sabune
dosa iku istigfar. Dosa bisa dibersihkan
dengan istighfar.
13.
Luruh
ning apa bae aja akehe bae tapi maring barokahe. Jangan melihat
setiap sesuatu dari (gebyar) tampilannya yang nampak banyak semarak, tetapi lihatlah sisi keberkahan yang mengikuti.
Dawuh KH. Abdul Kholiq Muntab:
1.
Antara kang ngajar karo kang diajar kudu ikhlas, baru
akan berhasil, kalau sebaliknya akan sia-sia belaka.
Kesuksesan pembelajaran
ada di dua pihak: yang mengajar harus ikhlas, sedemikian pula dengan yang diajar. Murid dan guru sama-sama ikhlas menjalani peran tugasnya masing-masing.
2.
Ngaji
iku aja terlalu luas, karena dikhawatirkan akan membuat ngawur kita
sendiri. Jangan terlalu banyak belajar ilmu—yang tidak
yakin dibutuhkan dan bisa dikuasai—karena rawan membuat diri sendiri kebingungan.
3.
Pelajar iku kudu tanggung jawab ning pelajarane. Seorang pelajar atau murid harus bertanggung jawab terhadap (penguasaan) pelajaran yang dipelajari.
4.
Sing lagi
dihadepi kudu
di
perhatiaken.
Fokuslah pada apa yang sedang dijalani.
5.
Bahasa iku bisa menentukan selamet lan ora selamete
wong. (Tutur dan pemilihan diksi) bahasa bisa menentukan selamat
tidaknya seseorang.
6.
Akal
iku aja mentog. Selalu ada cara bagi yang mau berpikir.
7.
Berharap takdir setelah berusaha
semaksimal mungkin. Makna takdir (Allah)
hanya bisa dipahami
setelah berusaha secara maksimal.
8.
Di mana ada kemauan pasti ada cara,
dengan syarat harus disertai kemauan
yang tinggi.
9.
Guru karo murid kudu talazum. Guru dan murid harus selalu tersambung (secara ruhani).
10.
Secara fiqih akhirat iku dunia.
11.
Wong
urip iku meski bersaing tapi persaingan iku merusak. Hukum kehidupan tidak lepas dari persaingan. Namun persaingan itu
(seringkali) berimbas buruk dan merusak.
12.
Pesantren iku dalile masyarakat,
masyarakat iku jurine pesantren.
(Ibarat perlombaan) pesantren merupakan tata aturan atau undang-undang hidup
bermasyarakat, tetapi pandangan
dan penerimaan masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan pesantren.
13.
Perkara bathil kang diatur bisa ngalahaken perkara kang blesak apabila diatur maka akan indah. Sesuatu yang nampaknya buruk, jika diorganisir bisa mengalahkan kebaikan
yang berjalan sendiri.
Dalam arti lain, manajemen dan kerja sama organisasi sangat penting
untuk mendapatkan hasil terbaik.
14.
Mengenal bahasa samai' tidak boleh mencelah. Jangan mudah berprasangka buruk.
15.
Umat Islam iku kudu serba bisa.
16.
Aja seneng
ning rambut dawa,
lan awak iku diopeni
lan aja ngresula. Jangan berpenampilan
aneh dan jangan mudah mengeluh.
17.
Aja sok ngelagu, sing lumrah bae wong nom iku dagangan.
Bersikaplah selayaknya oran umum, apalagi
jika masih muda dan belum menikah.
18.
Orang yang hidup tidak punya
kemauan maka seperti hewan.
19.
Santri kudu bisa ngelayani dialog.
Membuka diri untuk menerima pemikiran lain.
20.
Kudu duwe usaha kanggo nyerdasaken otak sing
urip. Jangan sampai membuat akal pikiran beku atau mati.
Dawuh
KH. Habib Syarif Hud Yahya:
1.
Fitnah wong bodo iku termasuk fitnah wong urip. Adanya
orang awam yang bodoh—bahkan kolot dan keras kepala—adalah bagian dari kealamiahan hidup.
2.
Wong
kang mati iku kedah nggawa syahadat. Berusahalah ketika meninggal dunia, dalam kondisi
beriman.
3.
Amal-amalan sing keras iku nyebabaken melarat lan bebel otake. Ilmu
kanuragan atau kesaktian yang kerap
didapat dari bersusah diri, dapat menjadikan hidup miskin dan bodoh.
Dawuh KH. Asmawi:
1.
Bingunge
umat iku karena bingunge pimpinan, pada
karo belajar baka durung paham aja di ajaraken. Kesemrawutan di masyarakat disebabkan tidak cakapnya pemimpin,
ia mengajarkan dan
memerintahkan sesuatu yang dia sendiri belum paham benar.
2.
Baka wong kang sugih duwit enteng endase, baka wong kang ora duwe duit abot endase, artine
baka duwe duit seneng dolan-dolan bae, ora
duwe duit senenge turu bae. Punya uang banyak, luas langkah
kakinya, miskin uang seringkali membuat semangat redup.
3.
Syukuran
ning dunia iku nomor satu. Hidup di dunia harus selalu
bersyukur.
4.
Pendidikan akherat iku dikintili dunia. Saat melakukan
sesuatu untuk akhirat,
dunia akan mengikuti secara alami.
5.
Pendidikan akherat iku ngaji. Ilmu akhirat didapat
dari mengaji dan atau belajar.
6.
Sengsara
iku bakal nekaken seneng lamon kita wekel. Kesengsaraan atau kesusahan dapat berubah menjadi
kebahagiaan jika jiwa kita kuat.
7.
Santri aja duwe tujuan kerja tapi ngejaga maring agama. Bekerja untuk
beribadah, adalah jalan hidup santri.
8.
Setiap ana
faedahe pasti ana cobaane. Setiap yang bermanfaat selalu
terikuti ujian.
9.
Lamon balik ning umah hormatana sesepuh
kono. Dapat membawa
diri dalam hidup bermasyarakat, hormatilah orang yang lebih tua.
10.
Aja ilok banggakaken wong sejen. Jangan mudah
berbangga diri.
11.
Hormatana guru sebondoroyote. Hormatilah guru sekeluarganya.
Dawuh KH. Tamam Kamali:
1.
Terusaken
ngajine aja sampe lepas selama urip ning
dunya. Belajar atau mengaji tidak pernah ada kata
berakhir, selama masih hidup.
2.
Wong
kang gawe lara ning wong tua iku ora bisa ngerunguaken ngajine kanjeng Nabi Muhammad
Saw lan ora olih ambune surga. Dan
hanya orang tua mu'min wal mua'minatlah yang tidak menyakiti. Menghormati dan menjaga perasaan
kepada orang tua menjadi jalan keberkahan dari Nabi Saw. dan Allah SWT.
3.
Aja ninggal
muruk atau nderes sebab nderes
iku dadi sebab kita dadi wong mulya.
Lestarikan mengaji Al-Qur’an, karena itu jalan kemuliaan.
4.
Olih
nafsiri Al-Qur’an lamonan wis ngerti 12 fan.
Boleh menafsirkan Al-Qur’an ketika sudah menguasai
dua belas cabang keilmuan.
5.
Dawuhe shohabat Ali tentang luruh ilmu iku lamon
disimpulaken ana
2 (زادوبلغة) asal
lan
mampu. Nasehat sahabat Ali Kw. tentang keberkahan ilmu ada dua, yakni: sanggup dan mampu.
6.
Seng
wedi ning gusti Allah (taqwa) apa maning nalika
ruh wis teka gorokan, sebab taqwa kelas paling duwur miturut firmane
Allah. Selalu bertaqwa
kepada Allah di semua kondisi,
karena itulah derajat
paling tinggi bagi manusia.
7.
Obate
ati iku maca Al-Qur’an. Obat hati adalah membaca
Al-Qur’an.
8.
Baka
ngaji aja digawe putek sebab ngaji iku luruh endi kang wajib dibeneri. Mengaji itu tidak usah dipikir terlalu
dalam, hanya perlu
dijalani apa yang semestinya dijalani.
Santri pada dasarnya tidak sebatas mengejar kecerdasan dan keilmuan belaka. Orang-orang yang pandai dan cerdas secara keilmuan yang tidak ditunjang dengan ilmu agama, malah akan merusak generasi. Lebih-lebih ketika mereka menjadi seorang pemimpin. Akan tetapi ketika seseorang
cukup terdidik dalam aspek agama, kecerdasan dan kelebihannya akan menjadi berkah bagi masyarakat.
MHS DAN PERTARUHAN MASA DEPAN
Madrasah Al-Hikamus Salafiyah atau biasa disebut MHS adalah lembaga pendidikan informal pesantren yang didirikan oleh para kiai Babakan. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan berbasis pesantren yang secara keberadaanya terbilang tertua di Desa Babakan. Baik bagi kalangan penduduk sekitaran desa maupun santri.
Pada tahun 1959, sistem pendidikan mulai mengakomodasi metode madrasah atau dikenal dengan sebutan klasikal. Tidak lama kemudian, tahun 1967, keluarga besar Pesantren Babakan mendirikan gedung Madrasah Al-Hikamus Salafiyah (MHS). Bertempat di blok Gondang Manis. Dua tahun berikutnya, dengan kondisi bangunan yang sederhana, MHS telah
menyelenggarakan pendidikan dengan sistem klasikal: tingkat Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.21
Pada era pertengahan tahun 1960-an inilah, terjadi pengembangan paradigma pendidikan berlangsung. Dari sini tergambar bahwa secara kelembagaan, pendidikan pesantren selalu berkembang. Integrasi ilmu dilakukan. Ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan umum yang dulunya tersekat, diselenggarakan bersisian. Pesantren Babakan tidak mau ketinggalan kereta.
Proses tersebut menunjukkan bahwa para ulama berpegang teguh pada kaidah Tasyaruf al- Imam ala Ar-Raiyah
Manutun bi Al-Maslahah (kebijaksanaan para pemimpin senantiasa berbasis pada kemaslahatan
masyarakat secara umum).
![]() |
21 KH. Zamzami Amin, Baban Kana,
(Bandung: Anggota IKAPI) cet II, hal 241.
Para pemangku pesantren berharap agar pesantren dapat menjadi rujukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih jauh, jumlah pondok pesantren di Desa Babakan mengalami penambahan terus menerus. Perlahan, dari generasi ke generasi di Babakan kini telah berdiri lebih dari 70 pesantren. Sejumlah pendidikan berbasis pemberdayaan sosial juga terus berkecambah dari waktu ke waktu.22
Madrasah Al-Hikamus Salafiyah sendiri berdiri karena rembuk yang dilakukan para kiai Babakan. Para ulama yang sekaligus pendiri dan pengasuh berbagai pesantren di Babakan berkumpul. Para tokoh yang berjasa mendirikan Madrasah Al-Hikamus Salafiyah, di antaranya sebagai berikut:
1)
KH. Abdul Hannan
![]() |
22 Ibid.
2)
KH. Amin
Sepuh
3)
KH. Sanusi
4)
KH. Maduki Ali
5)
KH. Amin Halim
bin KH. Muhammad
6)
KH. Syaerozi bin KH.
Abdul Rohim
Awal mondok di Babakan, Imron Rosyadi masuk di MHS kelas 5, tingkat Ibtidaiyah. Setelah lulus kelas 6 ia melanjutkan ke jenjang Tsanawiyah. Setelah lulus kelas 3 jenjang Tsanawiyah, ia melanjutkan ke jenjang ‘Aliyah. Masih tetap di MHS. Pada saat kelas 2 Aliyah, Imron bercita-cita ingin kuliah ke IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung. Teman-teman sepondok memberi saran, kalau mau kuliah tidak bakalan bisa kecuali pakai ijazah dari MAN Ciwaringin.
Sesuai masukan dan saran teman-temannya, pada saat kelas 2 Aliyah MHS, Imron mengikuti
ujian persamaan di MTs Negeri Babakan, Ciwaringin. Setelah memperoleh ijazah MTsN Babakan tersebut, ia lantas melanjutkan ke MAN Babakan. Dengan bermodal ijazah negeri ia memasuki Perguruan Tinggi. Seperti yang sudah direncanakan, ia pun berkuliah di IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung.
***
Bagaimana kisah perjuangan Imron sewaktu belajar di Madrasah Al-Hikamus Salafiyah? Secara khusus, syarat untuk masuk tingkat Tsanawiyah sebenarnya tidak ada selagi ia lulusan dari Ibtidaiyah MHS. Namun bagi santri yang bukan lulusan Ibtidaiyah MHS, dapat mendaftar dengan syarat-syarat tertentu sesuai standar yang ditetapkan oleh Panitia Penerimaan Siswa Baru. Syarat-syarat itu, seperti kemampuan baca tulis Al-Qur’an, membaca kitab kuning dan lain sebagainya. Selanjutnya mereka yang dinyatakan telah mampu
dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan akan diterima di tingkat Tsanawiyah. Sedangkan yang dianggap belum mampu dan belum memenuhi standar akan direkomendasikan untuk masuk kelas Ibtidaiyah sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tingkat Tsanawiyah di Madrasah Al-Hikamus Salafiyah, Babakan dibagi menjadi kelas pagi dan kelas malam. Kelas pagi dimulai pukul 08.00 s.d. 12.00 WIB dan kelas malam dimulai pukul 20.00 s.d.
22.30 WIB, setiap harinya. Murid MHS wajib berseragam atasan baju putih dan batik khusus tingkat Tsanawiyah.
Mata pelajaran yang diajarkan di tingkat Tsanawiyah MHS Babakan adalah Al-Qur’an, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadits dan Mustholahul Hadits, Ilmu Tauhid, Ilmu Fikih, Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Nahwu, Ilmu Shorof, Ilmu Tajwid, Tarikh Islam, Ilmu Akhlaq, Bahasa Arab, Muhadatsah, Qiro’at, Khot Imla’, Muhafadzoh dan Bahasa
Inggris. Dengan semua materi tersebut, lulusan MHS tentu sudah lebih dari cukup untuk memiliki bekal ilmu agama.
KIAI TAMAM KAMALI
Di Pesantren Babakan, para santri digembleng ketat. Serangkaian kegiatan rutin dan kajian-kajian kitab kuning digelar setiap harinya. Sekali lagi, pesantren memang mirip kawah candradimuka keislaman. Para santri dididik agar kuat secara lahir (keilmuan) dan batin (mentalitas dan kejiwaan) sebagai modal mengarungi realitas di masyarakat kelak.
Di pesantren jauh beda dengan asrama pelajar atau kos-kosan, yang seringkali hanya digunakan sekedar numpang tidur dan makan saja. Bahkan, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, dalam hajat makan sekali pun terselip pendidikan kemandirian: menyiapkan bahan sendiri, berikut perlengkapan dan kayu bakarnya. Begitulah kondisi santri di masa Imron Rosyadi mondok.
Mengaji tentu saja menjadi kegiatan utama. Saat di Babakan, Imron mengaji kitab kuning ke beberapa kiai,
bukan hanya di pesantren tempat ia mukim.
Beberapa kitab yang dingajikan antara lain, Kitab Al-Ajurumiyah, Kitab Amtsilah At- Tashrifiyah, Kitab Mushtholah Al-hadits, Kitab Arba’in Nawawi, Kitab
At-Taqrib, Kitab Aqidatul Awam, Kitab Ta’limul Muta’alim dan
lain-lain yang memuat kaidah-kaidah dasar keislaman. Khusus mengaji
Al-Qur’an Imron mengaji ke KH. Tamam Kamali, di Pondok
MQHS.
Kempekan adalah cara atau langgam membaca Al-Qur’an khas ala Pesantren Kempek. Cari ini merujuk pada tradisi belajar Al-Qur’an yang berkembang di lingkungan Pesantren Kempek—salah satu pesantren tua di daerah Cirebon—dan kemudian berpengaruh luas di kalangan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Pengaruh Kempekan tersebut sudah sangat mengakar. Sampai-sampai muncul anggapan, secara
tidak resmi, bahwa tolok ukur seorang santri yang bacaan Al-Qurannya baik adalah mereka yang mampu membacanya dengan standar Kempek.
Ajang khatmil Quran di lingkungan pesantren Babakan, semakin menegaskan kuatnya tradisi Kempekan. Para santri (khatimin) yang tampil dalam simakan Al-Qur’an, pada umumnya menggunakan langgam Kempekan. Hal ini tidak lain karena metode belajar Al-Quran sehari-harinya memang menggunakan sistem kempekan. Terutama bagi mereka yang belajar mengaji kepada KH Tamam Kamali.
Langgam Kempekan tidak berirama seindah seni tilawah sebagaimana lagu-lagu murattal. Hampir-hampir malah tidak ada olah vokal yang istimewa. Tradisi Kempekan lebih menekankan pada Tajwidul Qur’an, lebih dari keindahan seni suara.
Sedikitnya ada tiga ciri kuat tradisi ngaji Kempekan. Pertama, penekanan pada sifat dan makharijul huruf. Setiap huruf dalam bacaan Al- Qur’an harus keluar dari tempat aslinya (makhraj) sebagaimana lisan yang beruntai sambung ke masa Rasulullah Saw. lalu setiap huruf tersebut, harus disuarakan sesuai sifatnya.
Membaca Al-Qur’an butuh ketelitian dan kehati-hatian tersendiri. Sebab, kesalahan dalam sifat dan makhraj bisa jadi berpengaruh pada makna dan pesan ayat. Sebenarnya selama tidak terjadi perubahan makna, tidak jadi masalah serius. Tetapi kesalahan baca yang sampai menggeser dan merubah makna ayat, merupakan langkah fatal yang harus dihindari.
Tradisi baca Kempekan sangat ketat. Pergerakan mulut diperhatikan betul. Khususnya jika sampai pada huruf-huruf dengan sifat bacaan cukup sulit. Kadang mulut harus monyong, kadang
rongga terbuka lebar, atau kadang kedua bibirnya tertutup rapat beberapa lama.
Kedua, penekanan pada hukum bacaan. Kapan dibaca idzhar (jelas-tegas), ikhfa (samar dan mendengung), idgham (penggabungan huruf), atau iqlab (terdengar suara “emm”). Pada setiap pertemuan antar huruf—kebanyakan berada pada huruf “nun” atau “mim” sukun—memiliki konsekuensi cara baca yang berbeda. Ada yang dibaca tegas dan jelas, ada juga yang dibaca samar- samar. Hukum bacaan tersebut juga mengatur panjang-pendek bacaan atau mad. Panjang-pendek bacaan Al-Qur’an biasanya disimbolkan dengan ketukan. Bacaan pendek biasa “satu ketuk”. Bacaan panjang, “dua ketuk” atau lebih dengan maksimal enam ketukan.23
![]() |
Ketiga, penekanan pada waqaf (jeda atau berhenti) dan washal (melanjutkan bacaan). Membaca Al-Qur’an memerlukan ketelitian ketat. Bagaimana saat berhenti dan bagaimana melanjutkan bacaan. Pada normalnya, setiap akhir ayat menjadi penanda berhenti membaca, ganti nafas. Namun ketika nafas sudah tidak kuat lagi, bisa berhenti di tengah ayat, dengan ketentuan- ketentuan khusus. Berhenti dan melanjutkan bacaan inilah yang disebut dengan kaidah waqaf dan washal. Nah, dalam metode kempekan, ketentuan waqaf dan washal itu dijaga dengan ciri khas tersendiri.
Kiai Tamam dalam kegiatan mengaji selalu menyediakan meja kecil sebagai tempat simak- setor bacaan. Satu per satu santri maju ke depan, menghadap meja kecil itu. Santri yang datang bersimpuh-baris di sebelah kiri meja, ketika selesai mengaji mundur ke sisi kanan. Perputaran dan pergantian itu terus berlangsung sampai habis.
Model seperti ini sudah menjadi tradisi Kempekan sejak Kiai Umar Kempek, guru dari Kiai Tamam.
Antara Kiai Tamam dengan Kiai Umar, ada beberapa perbedaan terkait metode yang digunakan. Kiai Umar Kempek, terkenal tegas dan keras dalam menyimak. Ketika ada santri yang kedapatan salah bacaan, tongkat kayu akan langsung melaju: Thuk! Santri harus rela kepalanya terpukul tongkat. Itu pun tidak segera diberi tahu di mana letak salahnya. Santri disuruh berpikir dan mencari sendiri letak kesalahan bacaannnya. Kalau Kiai Tamam tidak sekeras itu. Apabila ada santri yang salah dalam mengucapkan huruf, langsung dijelaskan di mana letak kesalahannya.
Kendati bisa dikatakan lebih lunak daripada Kiai Umar, namun ketegasan dalam kaidah bacaan tidak bergeser. Belajar menyetor bacaan Al-Fatihah kepada Kiai Tamam, hampir bisa dipastikan 6 bulan baru bisa lulus dan diperbolehkan melanjutkan ke
surat lain. Ketelitian dan kedetailan Kiai Tamam sudah tidak ada yang meragukan lagi. Karena itu, mengaji dengan Kiai Tamam bisa sampai jam 03.00 WIB dini hari. Kiai Tamam tidak segan menjelaskan kepada santri, detail satu per satu sampai benar-benar jelas.
Kenapa mengaji Al-Fatihah saja sampai berlarut-larut hingga jam 3.00 (WIB) dini hari? Karena khusus surat Al-Fatihah wajib dibaca dengan benar-benar fasih. Berbeda dengan surat- surat lainnya yang bisa dikatakan tidak sampai derajat “wajib”. Hal ini karena Al-Fatihah menjadi ukuran sah-tidaknya shalat.
Mengaji ke Kiai Tamam bisa dianggap cukup, mana kala seorang santri sudah bisa menjelaskan hukum bacaan-bacaan sekaligus mempraktikan bacaan tersebut. Penjelasan kaidah tanpa ketepatan bacaan tidak berlaku.
Ciri khas lain dari tradisi mengaji Kempekan adalah saat berhenti dan melanjutkan bacaan. Biasanya, akhir ayat digunakan untuk berhenti atau waqaf. Dalam metode Kempekan tidak demikian. Tanda berhenti dan melanjutkan bacaan lebih ditekankan kepada ‘tanda khusus’ yang bisa jadi terletak di tengah-tengah ayat. Begitu kira-kira. Tentu penjelasan ini akan lebih mudah dipahami dengan mempraktikkan setor-simak bacaan kepada kiai langsung.24 Bacaan Al-Qur’an terlalu sederhana untuk hanya dijelaskan dengan kata-kata. Dan memang begitulah seharusnya.
![]() |
24 Abdul Hanan, Orang-Orang Babakan,
Guepedia, 2021
BOLA API
Di Babakan atau lebih tepatnya di MHS ada satu tradisi unik. Di saat sudah memasuki jenjang tingkat Aliyah, semua santri, termasuk Imron Rosyadi saat itu, diwajibkan bermain bola api. Tradisi “Bola Api” ini merupakan sebuah penampilan atau pertunjukan permainan bola dengan menggunakan bola api: bola yang disulut api berkobar-kobar.
Permainan ini tentu saja butuh latihan khusus. Selain bola api, ada juga seni pertunjukan ‘ilmu kebal’ lainnya seperti ‘mandi petasan’. Mandi petasan adalah seseorang diikati rentetan petasan yang kemudian dinyalakan, langsung tanpa pengaman. Tradisi Bola Api ini dihelat di Desa Babakan. Tradisi ini tercatat mulai dihelat pada
tahun 1980, oleh KH. Makhtum Hannan.25 Tradisi ini dilakukan atau mainkan oleh para santri Madrasah Al-Hikamus Salafiyah.
Dalam tradisi pesantren, terdapat aspek yang hanya bisa dipahami dengan nalar khusus. Tidak harus selalu linier dengan rasionalitas umum. Bagi sebagian orang yang modern, memang terdengar aneh. Tetapi bila merunut kesejarahan pesantren, aspek-aspek semacam itu adalah lumrah belaka. Karena dalam kaca mata kepesantrenan, tidak ada yang lebih masuk akal selain kuasa Allah SWT semata. Nalar manusia tidak bisa dijadikan ukuran kelaziman. Walau pun secara lazimnya, setiap hal harus bersesuai dengan hukum rasionalitas.26
Sejarah tradisi Bola Api sendiri sangat berkaitan erat dengan masa penjajahan Belanda atas
![]() |
25 Wawancara dengan KH. Zamzami Amin, tanggal 26 Juli 2021 di Pon-Pes Mu’allimin Kebon Babakan Ciwaringin Cirebon.
26 K.H. Zamzami Amin, Baban kana, (Bandung: Anggota
IKAPI) cet II, hal XXII.
Desa Babakan. Sejak abad ke-18 Desa Babakan terjajah oleh kolonial Belanda, sebagaimana daerah- daerah lain di Indonesia ini.27
Ada satu fase penting, antara rentang 1945- an sampai 1950-an yang dikenal sebagai revolusi fisik. Revolusi fisik merupakan revolusi menentang kolonialisasi, yang memunculkan gerakan masa dalam jumlah yang sangat besar dan berlangsung hampir serentak di seluruh penjuru negeri. Mereka bergerak dengan tujuan menghapuskan segala sesuatu yang berbau kolonialisasi. Karena tidak sejalan dengan kepentingan Belanda yang merasa berkuasa, terjadilah gesekan-gesekan perlawanan antara masyarakat pribumi dengan Belanda.28 Pihak pesantren tentu saja ikut andil dalam perlawan tersebut. Dan berbagai aksi ‘tak rasional’ mulai dilancarkan. Pesantren tidak pernah sepi dari ilmu-
![]() |
27 Ibid.
28 K.H. Zamzami Amin, Baban kana, (Bandung: Anggota
IKAPI) cet II, hal. 209.
ilmu kanuragan atau kesaktian yang dianggap ‘tak rasional’ tadi.
Tradisi Bola Api di MHS, sebagaimana sebelumnya telah sedikit disinggung, dimulai pada tahun 1980 atas restu dari K.H. Makhtum Hannan. Sejak saat itu, secara rutin pertunjukan itu dilangsungkan setiap tahunnya dan menjadi salah satu ciri khas santri MHS.
Tradisi ini, memiliki sejarahnya sendiri yang panjang. Satu di antaranya yaitu ketika masa gegeran PKI. Dari sumber yang didapatkan, pada tahun 1965 para santri maupun penduduk Babakan membuat pertunjukan atau aktraksi uji kekebalan dengan tujuan untuk menakut-nakuti mereka yang tidak sehaluan dengan tradisi pesantren.
Pertunjukan uji kekebalan ini bahkan sudah dilakukan, sebelum masa PKI. Sejak pada masa penjajahan, beberapa tokoh ulama sudah terlibat dalam pertunjukan ‘Bola Api’ ini. Beberapa dari
mereka di antaranya, K.H Abdul Hannan, K.H. Sholihin, dan lain sebagainya.
Sebagai atraksi ‘ilmu kebal’, ada beberapa aksi lain di samping permainan bola api. Ada kalanya orang ditebas pakai pedang, menghantam tumpukan balok yang ditaruh di atas kepala orang, pertunjukan kebal api, dan lain sebagainya. Kemudian dari masa ke masa pertunjukan tersebut berganti-ganti, seiring keadaan zaman. Setelah masa penjajahan dan masa revolusi selesai, tradisi pertunjukan tersebut, lebih fokus ke hanya penampilan permainan bola api.
Selain sebagai show atau atraksi ilmu kebal, dipertunjukkannya aksi tersebut untuk membuktikan
kehebatan dan kekuasaan Allah SWT yang karena kekuasaan-Nya para pelaku atau pemain tradisi ini bisa melakukan pertunjukan kekebalan yang di luar nalar pikiran lumprah.
Di antara tokoh-tokoh yang tercatat sebagai inisiator tradisi ini, mereka adalah para pendekar pesantren:
1)
KH. Muhammad
Amin bin KH. Romli
KH. Muhammad Amin atau lebih dikenal Ki Madamin, beliau merupakan salah satu tokoh tokoh agama atau ulama di Desa Babakan Ciwaringin Cirebon. Cerita bermula ketika, pada zaman dahulu, sekelompok jawara Tionghoa menantang orang- orang Indonesia untuk bermain atau bertanding sepakbola batu. Permainan ini merupakan sejenis permainan sepak bola dengan menggunakan batu sebagai ganti bola. Pada saat itu yang ditantang adalah masyarakat Desa Babakan. Sebagai masyarakat atau lebih tepatnya santri Babakan, Kiai Madamin menerima tantangan dari para jawara China tersebut. Kiai Madamin ditemani dengan para santri Babakan lainnya kemudian bertanding dengan para penantang itu. Hasilnya, pertadingan
dimenangkan oleh para santri Babakan. Setelah pertandingan selesai para jawara China mengakui kekalahan mereka dan juga mengakui kehebatan atau kekebalan para santri Babakan sehingga mereka tidak lagi-lagi berani menantang atau beraksi macam-macam dengan orang Indonesia, terutama dengan santri Babakan.
2)
KH. Abdul Hannan
bin KH. Toyib
KH. Abdul Hannan merupakan salah satu tokoh agama atau ulama di desa Babakan. Beliau adalah seorang yang dikenal dengan kesaktiannya.
3)
KH. Sholihin bin KH.
Muhammad Amin
Beliau merupakan salah satu tokoh yang juga berperan penting atas perjuangan kemerdekaan negara Indonesia. Tepatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan bersamaan pada saat pencetusan fatwa Jihad fi Sabilillah, yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Semasa Kiai Sholihin masih hidup, pertunjukan uji kekebalan dilakukan dengan pertunjukan ‘tebas pedang’. Pertunjukan dilakukan oleh seseorang yang ditebas dengan pedang tajam. Seperti pertunjukan sulap, tetapi tanpa rekayasa. Tujuan dari pertunjukkan ini, sekali lagi, untuk membuktikan atau menunjukkan agar orang-orang percaya atas kuasa Allah SWT yang tak terbatas dan teringkus hukum nalar manusia biasa. Lebih-lebih ditujukan untuk kalangan yang mengancam eksistensi keberislaman ala pesantren.
4)
KH. Makhtum
bin KH. Abdul Hannan
KH. Makhtum Hannan adalah orang yang secara resmi diakui sebagai peletak dasar tradisi Bola Api ini. Atas perkenan dan imbauan beliau, tradisi ini resmi diadakan dan dijadikan salah satu maskot MHS sebagaimana dikenal sampai kini.
***
Zaman telah berubah pesat. Mengiringi perkembangan tersebut, tradisi ini atau uji kekebalan berupa pertunjukan permainan bola api sekarang menggunakan bola dari kelapa kering yang disuluti api. Pada masa dulu, permainan dilakukan tidak menggunakan kelapa, tetapi menggunakan batu yang dimainkan oleh santri-santri KH. Abdul Hannan. Dimainkan di atas kali ciwaringin yang sedang banjir, batu dengan seukuran bola dimainkan oleh para santri sebagaimana mereka bermain bola biasa.
Apa yang dilakukan oleh para santri di tahun 1970-an sungguh sangat di luar nalar sehat. Membayangkan batu ditendang oleh kaki secara logika sudah susah diterima. Apalagi pada saat itu, santri-santri menendang bola bagaikan menendang bola plastik, terlihat sangat ringan.
Setelah melalui tirakat dan pembacaan wirid-wirid khusus, permainan bola api santri-santri
Kiai Hanan menjadi tontonan yang sangat menarik bagi santri lain dan masyarakat umum. Setelah KH. Abdul Hanan meninggal, bola dari batu diganti dengan kelapa kering yang direndam minyak tanah selama setengah bulan kemudian dinyalakan dan dimainkan.
Syarat untuk mencapai keyakinan bahwa api itu dingin hanyalah bisa didapatkan setelah melalui tirakat ketat. Jika tidak melalui proses ini, kiranya sulit bagi para santri untuk bisa merasakan bahwa api itu tidak panas.29
Tirakat bola api ini ada tiga macam: Pertama, Puasa Bila Nar atau puasa tidak makan makanan yang dimasak dengan api. Para santri ketika hendak sahur dan buka tidak makan makanan yang dimasak atau tidak tersentuh unsur api. Minumnya juga tidak boleh dari air galon atau air
![]() |
29 Wawancara dengan Bupati Imron di Pendapa tanggal 1 Agustus 2022.
kemasan, melainkan langsung dari sumur. Mereka hanya makan sayur dan buah-buahan yang masih mentah saja, dan juga tidak boleh merokok. Puasa ini merupakan ujian yang paling berat.
Kedua, Puasa Bila Ruh, artinya para santri berpuasa tidak boleh ada unsur hewan di dalamnya. Puasa ini sedikit lebih ringan dibandingkan dengan Puasa Bila Nar, karena masakannya boleh dimasak asalkan tidak ada unsur ruhnya.
Ketiga, Puasa Mutih. Puasa ini levelnya lebih tinggi dari kedua macam puasa di atas. Para santri hanya boleh makan makanan dari satu jenis bahan makanan saja. Bila niat puasa mutihnya dengan nasi, maka selama 21 hari, buka dan sahurnya hanya makan nasi saja. Jika niat puasa mutihnya dengan jagung, maka selama 21 hari, sahur dan bukanya dengan nasi jagung saja. Setelah para santri lulus dalam laku tirakat berpuasa, baru dilangsungkan pertunjukan bola api. Tentu saja
sebelum tampil secara resmi, mereka melakukan uji coba terlebih dahulu. Ketika sudah berhasil menendang kelapa yang terbakar api layaknya menendang bola biasa, tanpa merasakan panas sedikit pun berarti tirakat telah berhasil.30
![]() |
30 Abdul Hanan,
Yang Tumbuh Mengada, Yang Gugur Menghilang, Guepedia, 2021.
PENCAK SILAT TEGALGUBUG
Ketika mendengar kata Desa Tegalgubug, mungkin yang terbayang adalah pasar. Karena di Desa Tegalgubug memang terdapat pasar sandang tradisional yang pernah ditahbiskan sebagai yang terbesar se-Asia Tenggara.
Pasar Tegalgubug dikenal sebagai pasar sandang sandang tebesar di Indonesia. Tiap minggunya terdapat ribuan pedagang sandang (pakaian) ataupun bahan kain dan pembeli yang datang dari berbagai daerah. Pasar Tegalgubug awalnya hanya pasar desa biasa, seperti pasar lainnya yang ada. Terdapat pedagang yang menjual kebutuhan bahan pokok dan lainnya. Awal berdirinya Pasar Tegalgubug sekitar tahun 1992. Pasar ini berlokasi di sekitar Kantor Kuwu Desa Tegalgubug, Kabupaten Cirebon. Kemudian muncul seorang pengembang yang melakukan pembebasan lahan untuk pasar yang baru di samping Jalur
Pantura. Sejak saat itu berangsur-angsur pasar terus berkembang sampai yang terlihat hari ini.
Komoditi sandang yang sekarang menjadi maskot Tegalgubug, berawal dari beberapa pedagang yang memproduksi pakaian jadi dari bahan yang dibeli di Bandung. Pasar Tegalgubug semakin berkembang dan ramai dikunjungi pembeli yang datang dari berbagai daerah, bahkan banyak yang datang dari Sumatera (Jambi). Pasar sandang digelar tiap Selasa dan Sabtu, kalau Selasa pembelinya dari lokal, kalau Sabtu banyak dari luar kota.
Pasar Tegalgubug hingga saat ini masih dikelola oleh pemerintah desa yang setiap harinya berfungsi sebagai pasar tradisional biasa, hanya pada hari Selasa dan Sabtu digelar lapak sandang.
Selain adanya pasar sandang, Tegalgubug sendiri termasuk desa yang sangat religius. Di sini banyak berdiri pondok pesantren di setiap gang jalan masuk perkampungan. Jumlah Pesantren yang
ada di Tegalgubug di antaranya: Pondok Pesantren Al-Anwariyah, Pesantren Daarul Qur’an, Pondok Pesantren Al-Ghozaly, Pondok Pesantren Daarul Fathonah, Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin, Pondok Pesantren Al-Qudsiyyah, Pondok Pesantren Baitul Hikmah, Pondok Pesantren Al-Ibrohimiyah, Pondok Pesantren Darul Kawakib, Pondok Pesantren Al-Qudsiyah dan masih banyak lagi pondok pesantren lainnya.
Sewaktu pondok libur, Imron Rosyadi tidak pulang ke rumah tapi belajar pencak silat di Pesantren Al-Qudsiyah Tegalgubug. Ia bersilat di bawah bimbingan KH. Abdul Mughni. Ia menceritakan kisah latihan pencak silat tersebut, sebagai berikut.
“Setiap
libur pesantren orang lain ke Jawa Tengah, ke Jawa Timur, saya mah belajar Silat Pagar Nusa di Tegalgubug. Saya diberi amalan Hijib Asror, Hijib Ha Wa Ha, oleh Kiai”. Tutur
Imron Rosyadi.
Setiap latihan pencak silat dengan KH. Abdul Mughni, beliau selalu tidak lupa mengajarkan nasehat-nasehat penting, di samping pelatihan pencak silat.
“Berlatih
bela diri pencak silat, selain untuk menjaga
dan melindungi diri dari serangan musuh, juga merupakan
bentuk pelatihan bersabar.
Bersabar dalam hidup adalah ujian yang paling berat. Seperti
bagaimana kita harus taat melaksanakan perintah Allah SWT, meninggalkan larangan Allah SWT itu semua ujian yang
paling berat. Sabar, kata orang Tegalgubug enteng mengucapkannya tapi berat melaksanakannya. Gambarannya seperti orang menenggelamkan pelapah pisang (gedebog) yang panjangnya
2 meter itu sangat susah dan berat,
ditekan tengahnya tidak kuat, ditekan
sebelah kanan sebelah
kiri naik, ditekan sebelah kiri sebelah kanannya
naik, hingga keringat mengucur
deras di dalam air. Begitu
beratnya, begitu susahnya” kata Kiai Abdul Mughni
kepada Imron di sela-sela
latihan.
Belajar pencak silat Pagar Nusa itu bukan untuk gagah-gagahan atau untuk kesaktian, tapi untuk bagaimana kita berlaku selazimnya manusia: Bertakwa kepada Allah SWT; Berbakti kepada Nusa dan Bangsa; Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan; Mempertahankan kebenaran dan mencegah kemungkaran; Mempertahankan paham Ahlusunnah wal Jamaah.
Selain belajar pencak silat, Imron Rosyadi dididik oleh orang tuanya Bapak H. Ropi’i sangat ketat, setiap Bulan Mulud anak-anaknya harus puasa mutih mulai tanggal 1-12 bulan Rabiul Awal. Baru setelah itu buka puasanya di Kanoman atau di Kasepuhan.
AKTIF DI NU SEJAK MUDA
“Aku terlahir
dari rahim keluarga besar NU, orang
tuaku dari kalangan santri dan aku didik oleh
para kiai sejak kecil menjadikan NU bagiku sudah bukan barang asing lagi.”
Orang tua Imron Rosyadi, Bapak H. Ropi’i sangat menghawatirkan anaknya ketika Imron Rosyadi kuliah di IAIN Sunan Gunung Jati. Ia takut anaknya terbawa aliran Wahabi. Sejak kecil Imron sudah mengenal NU. NU merupakan organisasi sosial keagamaan yang bersikap pluralis. Banyak kader NU direkrut dari kalangan dari luar NU. Mereka biasanya tertarik oleh paham kegamaan yang dikukuhi warga NU. Nahdhiyyin selain sebagai poros Ahlus Sunnah wal Jama’ah, juga dikenal sebagai umat muslim yang cenderung inklusif dan toleran terhadap perbedaan pandangan keagamaan. Bahkan perbedaan agama, tak jadi soal,
selama tidak meresahkan masyarakat dan mengganggu keutuhan kebangsaan (NKRI).
Semua elemen bangsa yang berprestasi dan bersedia menjaga moral, dirangkul NU. Mereka diajak aktif berkiprah bersama NU. Imron Rosyadi terbilang sudah aktif di organisasi ini sejak masih sangat muda. Ia aktif menjadi anggota, bahkan pengurus di Badan Otonom (Banom) NU, seperti IPNU, GP Ansor, dan Pengurus Wilayah Provinsi NU Jawa Barat.
Kerterlibatannya di lingkungan NU, diawali sejak masih aktif berkuliah di IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung. Sebagaimana banyak teman-teman sekampus, Imron Rosyadi aktif di PMII ketika masih berkuliah. Ia lantas jadi Pengurus Wilayah GP Ansor Provinsi Jawa Barat, kemudian ia naik dilantik menjadi bagian jajaran Pengurus Wilayah GP NU Provinsi Jawa Barat.
Banyak pengalaman berharga yang didapatkan Imron Rosyadi selama aktif di organisasi. Beberapa pelajaran penting tersebut di antaranya: sikap jujur, dan keteguhan pendirian sebagai pejuang masyarakat. Dari kiprah keorganisasian, ia semakin kokoh sebagai pribadi, menjulang bagai batu karang.
JODOH
Perjalanan cinta bagi sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara kadang kala malah tidak menjadikan mereka pasangan hidup. Ada perbedaan mendasar antara hubungan kasih dan jodoh kehidupan. Proses berpacaran yang begitu panjang, belum tentu berakhir sesuai takdir Allah. Sebaliknya orang yang tidak berpacaran atau tidak mengenal hubungan dengan lain jenis, malah mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dan langgeng. Inilah rahasia jodoh yang hanya ada di tangan Allah SWT semata sebagai penentu jalan hidup semua makhluk.
Apakah benar jodoh itu sudah ditentukan dan ditetapkan Allah SWT di dalam Lauhul Mahfudz?
Rasulullah SAW bersabda:
"Iman adalah engkau beriman
(percaya) kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir,
dan engkau percaya
kepada takdir
Allah yang baik maupun yang buruk." (HR. Abdullah bin Amr bin Al 'Ash). Atau dengan redaksi lain, "Allah
telah mencatat takdir setiap makhluk 50 ribu tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi." (HR
Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut, Syekh Al- Wardani memaparkan, pernikahan atau persoalan jodoh merupakan bagian dari qadar (ketetapan) yang telah tercatat di Lauhul Mahfudz. Syekh Al- Wardani mengatakan, apa yang telah Allah SWT tetapkan dan tuliskan dalam Lauhul Mahfudz itu adalah perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah sendiri. Dan hanya Dia-lah yang berkuasa menetapkan sebab-sebab yang mengarah pada berlakunya momentum tertentu.
Terkait sebab-akibat tersebut, hal ini seperti sudah disabdakan Rasulullah Saw., beliau bersabda:
"Siapa yang ingin rezekinya
dimudahkan dan umurnya
dipanjangkan, maka hendaknya ia
menyambung tali silaturahim." (HR Bukhari dan Muslim).
Seorang muslim hendaknya juga mengingat bahwa ketakwaan kepada Allah SWT memberikannya jalan keluar dan jalan datangnya
rizki yang tidak diduga-duga. Hal ini sebagaimana firman Allah: "Siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari
arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan
ketentuan bagi setiap sesuatu”. (Q.S. At-Thalaq, ayat: 2-3).
Dalil lain yang menunjukkan bahwa
takdir atas kehidupan setiap muslim telah tercatat,
juga terdapat pada Surah Al-Mulk,
ayat: 15. Allah berfirman: "Dialah yang menjadikan bumi untuk
kamu yang mudah dijelajahi,
maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan." (Q.S. Al-Mulk,
ayat: 15).
Berdasar dari seluruh babaran dalil-dalil tersebut, setiap muslim semestinya mencari dengan cara yang benar dan tidak menghalalkan segala cara atau dengan melakukan perbuatan dosa demi menemukan pasangan hidup yang cocok. Sebab, rezeki seseorang akan terhalang jika melakukan perbuatan maksiat.
***
Kisah cinta Imron Rosyadi dengan Nunung Roosmini bukan terjadi secara tiba-tiba. Imron yang terbilang anak gaul, aktivis organisasi dan aktif di banyak kegiatan kampus, tidak kurang kemungkinan didekati wanita-wanita cantik sesama anak kampus.
Bersentuhan dengan orang banyak dan banyak menjalin komunikasi dengan mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan menjadikan dia masuk kategori mahasiswa aktif. Di PMII aktif, di olah raga kerap hadir, di Mahasiswa Pecinta Alam ikut serta, di lembaga bahasa tidak ketinggalan. Imron Rosyadi seperti memiliki semangat dan energi berlimpah.
Dunia kampus adalah pertemuan main-main dan belajar di satu wahana. Dalam keseharian siang hari, Imron dan teman-teman mahasiswa lain disibukan dengan dunia kampus. Ketika malam tiba para mahasiswa merapat bercengkerama bersama para sebaya. Terlebih ketika malam Minggu tiba. Ada yang pergi nonton film, main ke kosan teman, dan tentu saja ada yang menjemput-kunjung ke tempat pacar. Imron seringkali hanya ikut menemani teman pacaran. Lumayan, dengan hanya hadir sebagai ‘obat nyamuk’, ia bisa dapat makan- minum plus jajanan gratis. Tak jarang ia bahkan
sampai membawa jajanan untuk dibawa pulang ke kosan. Cukup dengan membawa kantong plastik kosong, saat pulangnya sudah terisi makanan. Beberapa kali ia juga ikut bersama teman-temannya main catur, dan main gaple.
Seiring dengan berjalannya waktu, saat Imron mengenal banyak teman wanita, ia tertambat pada satu. Sekali pun banyak mahasiswi yang ia kenal, akhirnya Imron melabuhkan hatinya pada mojang keturunan Bandung-Tasikmalaya, Nunung Roosmini, yang kebetulan adik angkatan seperkuliahan.
Saat itu, di kampus IAIN Sunan Gunung Jati hanya memiliki 3 Fakultas saja. Yakni Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ushuludin, dan Fakultas Syariah. Masing-masing fakultas memiliki lembaga bahasa. Di lembaga bahasa inilah, ia berjumpa pertama kali dengan Nunung Roosmini.
Banyak yang meragukan adanya cinta pada pandangan pertama. Padahal pada kenyataannya, cinta pada pandangan pertama memang benar adanya dan bahkan sangat dahsyat. Banyak kisah- kisah istimewa nan inspiratif semuanya dimulai dari cinta pada pandangan pertama. Imron dan Nunung menjadi saksi betapa cinta pada pandangan pertama bukan fiksi rekaan.
Setelah ia tertambat dan terpikat dengan Nunung, Imron mempertaruhkan semuanya menuju jenjang pernikahan. Imron memberanikan diri mengkhitbah mojang Priangan itu dengan ‘Bismillah’ pada orang tua Nunung. Dan setelah acara khitbah atau lamaran selesai, orang tua Nunung memanggil Imron empat mata. Imron menuturkan penggalan pengalamannya itu.
“Ketika
saya meminang seorang perempuan untuk
dijadikan seorang istri, saya dipanggil oleh
calon mertua saya”. Calon mertua saya berkata:
“Silakan bawa anak saya
setelah akad nikah nanti. Mau dikasih
makan sehari tiga kali, sehari dua kali, atau satu hari satu kali, silakan.”
“Kamu mau bawa ke puncak gunung
silakan, kamu mau bawa dia ke pinggir
pesisir silakan, saya tidak
mempermasalahkan itu semua. Tetapi ingat satu hal, saya lahirkan
anak perempuan saya ini sampai usia baligh, sampai dewasa. Saya didik, saya jaga makanannya,
saya jaga shalatnya, tingkah lakunya
sampai pada hari ini saya serahkan kepadamu,
demi Allah, bawa anak
saya sampai selamat ke hadapan Allah. Jika kamu tidak membawanya sampai selamat ke hadapan Allah, saya yang akan menuntut
kamu nanti di yaumil qiyamah”.
Dengan merunduk di hadapan kedua orang tua, dan dengan keteguhan seorang
santri, Imron menjawab, “Insya Allah, Bapak”.
Peristiwa bersejarah pernikahan Imron dan Nunung dilangsungkan pada tahun 1989, di Bandung. Semua tamu undangan, baik itu para kiai, handai taulan, kolega, teman kuliah, keluarga hadir menyaksikan akad nikah keduanya.
"Ini hari pertama aku memandangmu dan memegang
tanganmu dengan halal, dan aku merasa begitu gugup," kata Imron penuh gemetar.
“Hari ini
aku serahkan seluruh hidup dan matiku
untukmu, Kang Imron. Engkaulah nantinya yang
akan menjadi ayah dari anak-anakku. Engkau adalah
pengayom bagiku dan yang akan mendidik anak-anakku.
Sekaligus.., engkaulah surga bagiku. Ya Allah, bimbinglah aku, agar aku bisa melayaninya karena-Mu” Nunung Roosmini
bergetar hebat dalam hatinya seraya berdoa berlinang
air mata.
“Ya Allah,
mulai hari ini aku menata niat yang lurus untuk menikahi
seorang istri, agar
menurunkan keturunan-keturunan yang saleh dan salehah. Bismillahir rahmanir rahiim”, Imron mantap mengucapkan ‘Bismillah’ dalam hati, seraya mengalirkan doa tanpa henti.
Terdengar dari dalam kamar pengantin doa penutup dari seorang kiai, pertanda acara prosesi akad nikah sudah selesai.
“Allâhumma allif bainahumâ kamâ allafta baina Adam wa Hawwa, wa allif bainahumâ
kamâ allafta baina Sayyidinâ Ibrâhîm
wa Sârah, wa allif bainahumâ kamâ
allafta baina Sayyidinâ Yûsuf wa Zulaikha, wa allif bainahumâ kamâ allafta baina Sayyidinâ Muhammadin Shallallâhu ‘alaihi wa Sallama
wa Sayyidatinâ Khadîjatal Kubrâ, wa allif bainahumâ
kamâ allafta baina Sayyidinâ ‘Aly wa Sayyidatinâ
Fâthimah az-Zahrâ”.
Dalam terjemah Indonesia: “Ya Allah, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Adam dan Hawa, rukunkan keduanya
sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Ibrahim dan Sarah, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Yusuf dan Zulaikha, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Baginda Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallama dan Khadijah Al-Kubra, dan rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Ali dan Fathimah Az-Zahra.”
Dengan rampungnya akad nikah, masing- masing suami istri telah menjadi pasangan hidup. Keduanya tidak lagi bebas melakukan apa pun semau keinginannya, seperti ketika mereka masih lajang. Akad nikah menjadikan sepasang suami istri memiliki hak dan menanggung kewajiban yang mesti dilakukan untuk mencapai tujuan bersama dalam berumah tangga. Suka dan duka akan dilalui bersama, walau mereka tahu berbagai permasalahan dan ujian akan menerpa rumah tangga itu.
KARIR
Kita tidak seharusnya melihat orang dari satu sudut pandang saja. Apalagi kalau sudut lihat itu dari posisi ketika seseorang sedang berada di puncak karir. Kita harus melihat bagaimana seseorang meniti langkah demi langkah dalam karirnya. Seperti yang dialami Imron Rosyadi. Orang mungkin tidak menyangka bahwa di titik tertentu dari perjalanan hidupnya, bakal menjadi kepala daerah seperti sekarang. Padahal dulu dia hanya seorang santri kampung. Mempunyai orang tua yang juga santri kampung. Sebagai anak petani, menjadi bupati bahkan tak sedikit pun terlintas dalam benak Imron, walau sebatas bermimpi.
Imron Rosyadi sadar diri. Ia tidak pernah terbersit pikiran untuk menjadi bupati. Ia hanyalah anak kampung yang tinggal di pelosok desa dan lebih lagi anak petani. Imron pun hanya fokus
kepada pendidikannya di pesantren, meluruhkan diri untuk belajar agama.
"Aku sendiri
berpikir kalau lulusan
pesantren tidak akan menjadi apa-apa, sedikit pun tidak terlintas punya cita-cita ingin jadi bupati.
Paling mentok-mentoke jadi anggota
DPR, tapi ternyata nasibku berkata lain, dan saya
sekarang menjadi bupati," kata Imron di suatu
waktu.
Setiap mengisahkan perjalanan hidupnya, ia selalu tanpa bosan menyitir kisah kesantriannya di pondok pesantren. Terlebih PPMM Babakan, Ciwaringin.
“Aku dulu mesantren di Babakan Ciwaringin sekitar kurang lebih 10 tahun,
karena itu jangan minder
mana kala kita adalah seorang santri.” Imron seperti keranjingan ketika menjelaskan kisahnya
dulu, bahwa dia adalah seorang
santri dan akan selalu merasa sebagai
santri.
Melalui keaktifannya di organisasi yang banyak diikutinya, akhirnya Imron mendapat jalan dan menjadi bagian dari keluarga Kementerian Agama. Dimulai pada tahun 1990, ia menjadi Wakil PPN KUA Kecamatan Lembang. Tahun 1991 ia diangkat menjadi Kepala KAU Pacet. Tujuh tahun setelahnya, Imron Rosyadi diangkat menjadi Kepala KUA Kabupaten Bandung hingga tahun 1999. Pada tahun 1999 Imron dimutasikan menjadi kepala KUA Margahayu, dan pada 2003 kembali ia dimutasikan menjadi Kepala KUA Lembang.
Pada tahun 2007, karirnya mulai menanjak. Ia diangkat menjadi Kasi Urais di Kemenag Kabupaten Bandung, hingga tahun 2010. Meski karirnya terus menanjak, ia tetap tidak lupa diri dan selalu terus bertekun ilmu baru. Ia terus belajar. Hingga pada saat terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Bandung menjadi dua bagian, yakni Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, Imron mendapat promosi menjadi Kepala Kemenag
Kabupaten Bandung Barat dari tahun 2010 sampai dengan 2016. Pada tahun 2016, ia dimutasikan ke Cirebon menjadi Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cirebon, dari tahun 2016 sampai 2019.
Di penghujung masa pensiun, Imron sebenarnya ingin mendedikasikan waktunya untuk mengurus Madrasah. Tetapi ulam kesempatan berpolitik menghampirinya. Pada tahun 2019, Imron dipinang oleh PDIP untuk mengikuti kontestasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati kala itu. Imron Rosyadi didapuk sebagai calon Wakil Bupati Cirebon yang berpasangan dengan Sunjaya Purwadisastra, calon Bupati Cirebon. Mereka berhasil berhasil menang.
Imron Rosyadi pun dilantik sebagai Wakil Bupati Cirebon periode 2019-2024 oleh Gubernur Jawa Barat M. Ridwan Kamil, di Aula Barat Gedung Sate, Bandung. Namun dinamika politik
terjadi. Imron pun ditunjuk sebagai Plt. Bupati Cirebon, dan saat ini menjadi Bupati Cirebon definitif.
Imron Rosyadi saat dilantik menjadi bupati merasakan dengan sepenuh hati bahwa ini sudah ditentukan oleh Allah dalam qadla dan qadar-Nya. Imron memastikan setiap peristiwa ada hikmah dan apa yang ia jalani adalah takdir dari Allah SWT yang sejatinya harus ia lewati.
“Bahwa menjadi
pejabat seperti menjadi
bupati itu, sejatinya harus bisa mengurusi dari yang yang kurang baik menjadi baik, yang semua itu butuh kiprah
yang serius”.
Hal ini
sangat penting, jika menilai
posisi bupati sebagai pejabat dan bekerja bukan untuk rakyat.
“Khawatirnya, ketika menjadi pejabat,
mereka merasa cita-citanya sudah tercapai. Mereka miskin inisiatif, malas melayani rakyat,
dan
menolak hak rakyat
yang ingin terlibat
dalam pembuatan kebijakan”. Ucap Imron.
Padahal, sebagai pejabat, seharusnya tidak hanya melihat perikehidupan rakyat dengan mata kasat, tetapi hendaknya juga dengan mata hati. Mata lahir yang terbuka, justru harus ditutup karena semu dan sering menipu. Sebaliknya, mata hati akan terus memberikan dorongan untuk bersedekah kepada fakir miskin, misalnya. Imron percaya, seseorang yang ringan bersedekah tidak akan pernah jatuh miskin karena kehabisan rezeki.
Dalam pandangan Islam, jabatan pemerintahan bukanlah lahan rezeki untuk mengeruk simpanan kekayaan. Jabatan tersebut justru merupakan amanah yang sangat berat yang harus dipertanggung jawaban di akhirat kelak. Kalau tidak dilaksanakan dengan sebenar-benarnya justru akan mendatangkan kehinaan di akhirat
kelak. "Insya Allah dengan berbuat baik, kita bakal dapat
imbal baik," ucap Imron.
Imron mengaku banyak tantangan besar yang ia temui. Namun kesemuanya itu bisa teratasi ketika mampu merangkul dan menggunakan pendekatan dialogis. Semuanya bisa teratasi.
Imron memberikan kesempatan ke semua masyarakat untuk melakukan lompatan, inovasi demi kemajuan dan pencapaian prestasi Kabupaten Cirebon. Cirebon adalah rumah bersama bagi seluruh masyarakat Cirebonan.
KEMENTERIAN AGAMA: RUMAH KEDUA
Kalau dilihat dari latar belakang sejak dari masa kecil hingga berada di puncak karir, perjalanan Imron Rosyadi terbilang khas dan unik. Keluarga Imron Rosyadi merupakan keluarga agamis yang taat. Ketaatan yang terlampau kukuh tersebut, hampir mirip kolot. Sejak dari kecil, di rumah orang tuanya tidak ada televisi, tidak ada radio. Kalau di Cirebon lingkungan seperti ini biasa disebut dengan ‘Bendaan’ atau tradisi Benda Kerep.
Benda Kerep sendiri adalah salah satu pesantren tua di Cirebon, usianya sudah sekitar 194 tahun. Pesantren tersebut secara konsisten berpegang teguh pada nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur. Pesantren itu sangat kental
dengan corak tradisional dalam keseharian para santri.
Begitu kukuhnya Imron dan keluarganya dalam menjaga tradisi, menjadikan barang elektronik seperti televisi, radio, pengeras suara dan jenis lainnya yang biasa dipakai di lingkungan kampung pesantren, tidak ada harganya. Ini semua bukan karena warga di sini tidak mampu membelinya. Tetapi lebih karena arah tekad yang sudah membidik terjaganya tradisi kesalehan pesantren.
"Kami
sengaja tidak menggunakanya demi menjaga
dan melestarikan tradisi dan budaya dari leluhur
kami," ucap salah satu tokoh sesepuh Benda Kerep.
Begitu juga dengan keluarga Imron kecil, orang tuanya, Bapak H. Ropi’i, menerapkan dalam keluarganya pola pendidikan hampir sama seperti di lingkungan Benda Kerep. Anak-anak H. Ropi’i
tidak betah kalau liburan di rumah, betahnya tinggal lama di pondok pesantren.
Dididik dan digembleng di lingkungan agama terutama pondok pesantren, menjadikan sudah tidak asing lagi bagi Imron bekerja di lingkungan Kenterian Agama. Kementerian agama bisa dikatakan bagai rumah kedua setelah rumah keluarganya. Hal ini karena dalam kesehariannya ia disibukan dengan persoalan yang ada di kementerian itu.
Lalu apa tugas Kementerian agama itu? “Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara”. Imron menjelaskan tugas dari Kementerian Agama
di saat kunjungan kerja di berbagai
daerah yang ia kunjungi.
Dalam menjalankan tugasnya di Kementerian Agama, Imron menjelaskan beberapa fungsi kerja Kementerian Agama:
1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan
masyarakat Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha,
dan Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan;
2. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama;
3. Pengelolaan
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab Kementerian Agama;
4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;
5. Pelaksanaan
bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah;
6. Pelaksanaan
kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
7. Pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan;
8. Pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal;
dan
9. Pelaksanaan
dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama.
PENDAPA BUPATI: RUMAH KETIGA
Saat masih menjabat di Kemenag Jawa Barat, di Bandung, Imron bergaul dengan berbagai tokoh, LSM dan Partai. Berkat pembawaanya yang luwes, Imron ditawari oleh banyak partai untuk dicalonkan di legislatif karena menurut hasil survei namanya memiliki elektabilitas yang tinggi, namun Imron selalu menolak dengan halus.
Selanjutnya, Imron dipindahkan sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cirebon (2016–2019). Imron sebenarnya ingin mendedikasikan waktunya untuk mengurus umat dan madrasah ketika sudah tiba di usia senja. Namun, takdir berkata lain. Peluang untuk semakin memberikan manfaat luas bagi masyarakat terbuka. Seperti sudah sedikit disinggung sebelumnya, ia dipinang oleh salah satu partai politik (PDIP) untuk maju mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati. Tak
terlihat ada banyak alasan dan pilihan untuk menolak ia pun mengiyakan saja.
Setelah mengikuti kontestasi pemilihan Bupati, pasangan Imron, Sunjaya Purwadisastra terpilih menjadi bupati Cirebon. Imron pun dilantik sebagai Wakil Bupati Cirebon untuk masa bakti 2019 s.d. 2024. Namun, nasib tak malang tak bisa ditolak, ungtung tak bisa ditampik, terjadi kondisi politik tertentu yang mengharuskan Bapak Bupati terpilih mengundurkan diri. Secara konstitusional, akhirnya Imron Rosyadi menggantikan posisi bupati. Dari wakil bupati, ia naik menjadi Bapak Bupati Cirebon.
Imron Rosyadi akhirnya benar-benar resmi menjadi Bupati Cirebon. Berulang kali ditegaskan, baik terhadap dirinya sendiri maupun kepada khalayak, bahwa jabatan bupati merupakan bagian dari titah ketetapan Allah semata. Berlandaskan pandangan hidup kesantrian yang telah sedemikian
resap dalam diri Imron, ia pun melihat jabatan tersebut tak lebih dari ‘jalan ibadah’ yang lain. Bertugas sebagai pegawai di Kementerian Agama, atau pun menjadi bupati tak banyak berbeda. Hanya porsi tugas dan lingkup tanggung jawab saja yang berganti.
Imron Rosyadi dan keluarga akhirnya menempati Pendapa Kabupaten yang ada di Jalan Kartini, sebelah Selatan alun-alun Kejaksan. Selain bertempat di Pendapa Kabupaten, seorang bupati juga bekerja di Kantor Bupati Cirebon yang beralamat di Jl. H. Sunan Kalijaga No. 7, Kode pos 45611, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Dalam tata ruang tradisional Jawa, pendapa merupakan salah satu rangkaian dari lima bagian yang harus dipenuhi. Lima bagian itu, masing- masing:
1) Pendapa utama,
2) Alun-alun dengan
pohon beringinnya,
3) Masjid pada bagian Barat,
4) Pasar di bagian Selatan, dan
5) Penjara di sebelah Timur.
Kelima bagian itu merupakan satu kesatuan yang mencerminkan simbol pemerintahan (pendapa), alun-alun dan pohon beringin (simbol rakyat dan pengayomannya), simbol keagamaan (masjid), simbol ekonomi rakyat berupa pasar dan simbol hukuman bagi mereka yang bersalah (penjara). Di Cirebon, kelimanya dibangun secara padu sejak zaman awal 1900-an.
Bangunan pendapa dibangun menyerupai ruang terbuka tanpa dinding, bertiang kayu jati, berdenah simetris dengan atap genteng berbentuk joglo berlantai keramik. Bangunan Pendapa merepresentasikan ruang publik dalam kegiatan
pemerintahan, sedangkan rumah bupati atau pedaleman kanjeng bupati dibangun dengan arsitektur berlanggam kolonial yang merupakan bangunan yang sangat menjaga privasi. Bangunan tersebut hanya diperuntukan untuk patih, dan pangreh praja, atau keluarga bupati. Sebagai pemisah dan penghubung antara pendapa dan pedaleman kabupaten, dibangun atap penghubung yang dulu terpasang lampu gantung antik sebagai pelita.31
Di pendapa ini, tidak hanya menjadi tempat tinggal keluarga Imron Rosyadi, tetapi juga menjadi rumah terbuka (open house) bagi masyarakat Kabupaten Cirebon.
![]() |
31 Catatan R. Soemioto dalam memoarnya Buku Tjoretan
Dan Tjatatan Serta Sorotan Kabupaten Tjirebon, Tjirebon 1966.
PIKIRAN DAN GAGASAN IMRON
Dalam konteks kedaerahan atau kenegaraan Imron Rosyadi sangat berharap sekali kepada masyarakat, khususnya dari kalangan santri agar bisa memberikan pemikiran dan pencerahan di dalam membangun Kabupaten Cirebon. Hal ini bisa dijalankan, misalnya melalui serangkaian program kerja sama antara instansi pemerintah dengan pesantren-pesantren di sehampar wilayah Kabupaten Cirebon.
Membangun suatu daerah itu harus dengan landasan keilmuan. Maka, siapa pun yang menjadi bupati sejatinya harus sudah memiliki ide dan gagasan besar dan kuat tentang bagaimana mengelola dan memberdayakan potensi-potensi yang ada di Kabupaten Cirebon. Secara administratif, Kabupaten Cirebon memiliki 40 kecamatan, dengan 420 desa. Jika seluruh lini ini
bisa dioptimalkan secara sungguh-sungguh, tidak mustahil Cirebon akan secara perlahan naik tingkat kemakmurannya.
Dalam pembukaan “Cirebon
Intellectual Conference” yang
diselenggarakan oleh PC ISNU Kabupaten
Cirebon, sebagai bupati, Imron Rosyadi menyampaikan
arah pandangannya: “Suatu daerah akan sukses apabila masyarakat dan
pemerintahnya mampu menggali
potensi yang ada di dalamnya.
Apabila potensi itu tidak tergali dengan baik maka tidak akan bisa mendapatkan penghasilan
apa-apa. Mahasiswa dan para sarjana
harus bisa belajar
dengan baik dan juga harus tahu potensi yang ada, agar bisa membangun daerahnya”.32
Orang-orang dari kalangan santri sebenarnya banyak yang memiliki potensi secara keilmuan, tetapi kadang-kadang tidak mampu
![]() |
32 Acara Cirebon Intellectual Conference yang diselenggarakan oleh PC ISNU Kabupaten Cirebon,
dari tanggal 7
– 8
Agustus 2022.
mengimplementasikan keilmuan itu ke dalam realitas sosial, disebabkan karena ketidak-tahuan mereka akan potensi-potensi yang dimiliki. Orang yang sukses di samping memiliki keilmuan, juga harus mampu mengimplementasikan keilmuan tersebut dalam gerakan-gerakan nyata seperti menggali seluruh potensi yang ada di Cirebon menjadi lahan pembangunan masyarakat Cirebon.
Konsep pemikiran kaum santri sebenarnya adalah konsep pemikiran yang tidak ke kiri dan tidak ke kanan. Artinya tidak ekstrim, dan tidak sekuler, maka nilai kesantrian ini mengedepankan keilmuannya yang dibarengi dengan, tidak tersilap, ucap-ungkap doa.
“Menjadi Kemenag,
atau menjadi bupati sebenarnya nasib saja, karena tidak pernah sebelumnya
saya bercita-cita menjadi bupati. Ada yang menarik
dalam diri saya, mana kala saya bertugas
di luar Kabupaten Cirebon seperti
ketika
menjadi Kepala Kementerian
Agama di Bandung, saya seringnya
pakai peci hitam kadang-kadang juga pakai sarung, Di Kabupaten Cirebon
sendiri seringnya saya pakai ikat kepala batik ciri khas Kabupaten Cirebon.
Di Bandung tidak ada yang tahu bahwa saya dari kalangan santri.
Ketika di Bandung
saya pakai peci hitam sudah otomatis dalam benak mereka saya dianggapnya seorang kiai”. Imron Rosyadi masih tetap berpenampilan santri
meskipun telah menjadi bupati.
Ia berharap kepada kalangan santri agar bisa menjadi percontohan di dunia, karena di era globalisasi saat ini adalah eranya perang pemikiran. Persaingan antar daerah, persaingan antar negara.
“Saya melihat
ada 3 pemikiran di dalam perang pemikiran
tingkat dunia ini. Pertama, apabila
negara ini ingin maju bahkan masyarakatnya
ingin sejahtera karena kerja keras manusianya itu sendiri, bukan karena campur
tangan Tuhan. Bahkan fungsi Tuhan itu sendiri tidak
ada, inilah yang disebut konsep komunis. Seperti
negara Soviet dan negara Cina. Kedua, perang pemikiran bahwa apabila negara ingin maju, rakyat ingin sejahtera dengan
menggunakan konsep sekuler
yaitu konsep yang mengajarkan bahwa Tuhan itu jangan dibawa ke mana-mana, cukup di rumah saja. Di tempat-tempat umum seperti sekolah,
perkantoran, pasar, Tuhannya
jangan di bawa-bawa. Maka, kebahagiaan itu ada apabila sesuai dengan pikiran dan hawa nafsunya seperti
mabuk, LGBT, judi dan lain-lain. Rujukannya negara-negara Eropa dan negara-
negara maju yang lain. Ketiga, perang pemikiran apabila negara ingin maju dan rakyat ingin sejahtera bahwa Tuhan itu harus di mana-mana, konsep ini disebut dengan konsep Islam.
Di dunia belum ada yang menjadi
kiblat percontohan, yang ada isu agama selalu dijadikan polemik,
hal-hal kecil seringnya
digoreng untuk kepentingan-
kepentingan kelompoknya”. Imron berharap banyak kepada generasi intelektual dan kalangan terdidik di Cirebon menyadari betul pentingnya pandangan politik berbasis nilai keislaman.
Di dalam sejarah peradaban Islam sendiri pernah memiliki peradaban yang sangat maju, yaitu pada masa Dinasti Abassiyah. Lebih tepatnya lagi ketika Khalifah Harun Al Rasyid dan anaknya Al Ma'mun memimpin, pada sekitar abad ke-8 Masehi hingga abad ke-13 Masehi.
Harun Al-Rasyid dan anaknya Al-Ma'mun memiliki cita-cita yang besar, yaitu untuk membangun sebuah peradaban Islam yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Namun sayangnya zaman keemasan Islam ini harus berakhir.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab berakhirnya zaman keemasan Islam ini. Namun, yang paling signifigan adalah akibat adanya
serangan dari bangsa Mongol yang menghancurkan Baghdad disertai penjarahan-pengrusakan berbagai perpustakaan dan pusat ilmu pengetahuan yang ada. Salah satu perpustakaan yang terbilang terlengkap pada masa itu, Bayt Al-Hikmah, dikocar-kacirkan dan diporak porandakan.
Serangan dari bangsa Mongol ini juga menyebabkan kekuatan politik Islam menjadi terpecah belah. Di mana wilayah kekuasaan Islam tidak lagi berada dalam satu kesatuan besar, yang dipimpin oleh satu pemimpin yang menjadi khalifah sebagai pusat pemerintahan.
Kondisi politik Islam mulai berkembang kembali dan mulai menunjukan kemajuan setelah munculnya tiga kerajaan besar Islam yang letaknya saling berjauhan. Ketiga kerajaaan besar tersebut adalah, Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Syafawi di Persia.
1. Kerajaan Ustmani
Kerajaan Usmani didirikan oleh bangsa Turki dari Kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara negeri Cina. Ketika abad ke 9/10 Masehi, kerajaan Syafawi memutuskan untuk menetap di Asia Tengah dan memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Pada tahun 923-1342 bisa dibilang merupakan masa kejayaan Usmaniyah. Karena dinasti Utsmaniyah merupakan periode terpanjang dari lembaran sejarah peradaban Islam. Dalam waktu kurang lebih enam (6) abad berkuasa, Utsmaniyah telah mengambil bagian penting sebagai satu-satunya yang menjaga dan melindungi kepentingan kaum muslimin.
Setelah menjalani masa-masa keemasannya, kerajaan Usmani akhirnya mengalami masa kemunduran. Kemunduran kerajaan Usmani ini terjadi setelah wafatnya Sulaiman Al-Qonuni. Lantas tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh putranya,
Sultan Salman. Namun sejak saat itu sering terjadi perebutan kekuasaan antar putra-putranya sendiri.
2. Kerajaan Mughal
Kerajaan Mughal adalah kerajaan yang terletak di India. Pada masa keemasannya kerajaan ini menjadi kerajaan adi kuasa dan menjadi salah satu kerajaan terbesar di dunia.
Pada masa kejayannya kerajaan Mughal menguasai wilayah yang amat luas, hal ini dibuktikan ketika cakupan kerajaan Mughal yang meliputi: Kabul, Lahore, Multan, Delhi, Agra, Oud, Allahabad, Ajmer, Gujarat, melwa, Bihar, Bengal, Khandes, Berar, Kasmir, Bajipur, Galkanda, Tahore, dan Trichinopoli. Kerajaan Mughal sendiri merupakan produsen rempah-rempah, gula, wol, parfum, dan aneka produk lainnya.
3. Kerajaan Syafawi
Kerajaan ini berawal dari gerakan sebuah Tarekat di Ardabil, sebuah kota yang terletak di negara Azerbaijan. Waktu berdirinya kerajaan Syafawi ini hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki.
Nama kerajaan Syafawi sendiri diambil dari nama pendirinya yaitu Safi Al-Din (1252-1334). Kerajaan Syafawi ini menganut aliran Syiah dan aliran Syiah tersebut ditetapkan sebagai madzab resmi negara.
Kerajaan Syafawi mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Pada masa kekusasaan Abbas I ini, ia mampu untuk mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang menggangu stabilitas yang ada di negara tersebut. Pada masa kekuasaan Abbas I juga, telah berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaannya yang lepas.
Di masa sekarang ini, kemajuan Islam sebenarnya banyak berharap pada Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara dengan multi budaya, multi agama, dan keaneka ragaman lainnya. Fakta keberagaman yang ada di Indonesia ini dapat bertahan dan berlangsung selama berabad-abad tanpa mengalami friksi konflik yang berarti.
Di Afganistan yang hanya 7 suku bangsa saja, sering ribut terus. Padahal seratus persen (100%) penduduknya beragama Islam. Maka, hanya Indonesia yang akan menjadi perhatian dunia saat ini. Karena dari Islam di Indonesia ini tumbuh toleransi, dan praktik kerukunan. Syarat negara berkemajuan adalah menghargai sesamanya, menghargai perbedaan.
Setelah melihat latar belakang peradaban yang maju yang pernah kita miliki pada masa lampau, Imron Rosyadi sebagai Bupati Kabupaten Cirebon memikirkan bagaimana Kabupaten Cirebon
dapat berkemajuan untuk bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran cemerlang demi keberagamaan dan kesosialan daerah. Hal itu tentu baru bisa berjalan ketika pola pikir sistem manajemen di pemerintahan Kabupaten Cirebon diubah menjadi lebih produktif dan progresif.
Sebagai Bupati Cirebon, ia tidak akan memberikan suatu kebijakan teknis secara subjektif, tapi mempersilakan terbukanya kebebasan- kebebasan inovasi kepada para kepala dinas. Para kepala dinas inilah yang bisa berinovasi untuk bisa memajukan daerah.
“Maka kami dengan santri atau dengan siapa pun yang mempunya
konsep berkemajuan, silakan
bekerja sama dengan dinas terkait.
Kami akan mendukung
dan mendorong. Silakan
untuk diprogramkan dan dilaksanakan. Karena,
kesuksesan bupati itu akan terlaksana bila mana semua pihak aktif terlibat. Bupati Cuma bisa
menyodorkan konsep secara
umum berbentuk visi dan misi, sedangkan eksekusi
pelaksanaannya ada di dinas-dinas
terkait”.
Dalam bervisi dan misi tugas kedinasan, Bupati Imron Rosyadi mengambil dari konsep doa,
“Robbana atina fid dunya
hasanah, wa fil akhiroti hasanah wa
qina adzaban nar”, yang sudah dialih-
bahasakan menjadi, “Bersama, berbudaya, sejahtera, agamis,
maju dan aman”.
Apabila visi misi ini bisa dilaksanakan mulai dari tingkat Sekda hingga tingkat desanya dan ditunjang oleh kerja bersama masyarakatnya, kesuksesan bukan lagi sebatas mimpi.
Terkait fungsi pendapa, kalau ada kegiatan kemasyarakatan yang membutuhkan tempat dipersilakan untuk menempati pendapa. Kegiatan organisasi mahasiswa, kampus, instansi kesehatan
dan lain-lain, bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan pendapa kabupaten.
Imron mengamati mandulnya peran aktif- produktif dari kalangan para sarjana. Ia melihat sarjana-sarjana tersebut memiliki ilmu dan memiliki agama, tetapi dalam praktiknya tidak banyak membawa perubahan berarti.
“Saya banyak ditanya orang, Pak Bupati,
bagaimana cara merubah
tata manajemen dan praktik
pemerintahan yang ada? Saya justru balik bertanya,
Anda ini kan sarjana? Ilmu dan agama yang dimiliki
kok masih tidak bisa membawa
perubahan?”
“Saya dididik
di keluarga, dididik
di pesantren, harus baik, lemah lembut. Di dalam menjalankan roda pemerintahan kabupaten
tidak sesederhana membalik telapak
tangan. Setelah saya jadi Bupati,
ada perang pemikiran, antara ilmu- ilmu
sekuler dengan ilmu-ilmu
keislaman. Ilmu
politik saya sudah tahu.
Saya di kemenag hampir 25 tahun, yang kami hadapi hanya berkisar
pada persoalan agama dan tidak
ada permasalahan yang begitu berat
dan kompleks. Tetapi, setelah menjadi bupati banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
berat”.
Karena itu kita harus punya prinsip yang kuat dan konsep yang jelas. Karena kalau kita tidak punya itu, kita akan mudah terbawa-bawa kepada hal-hal yang tidak baik. Inilah perbedaan antara sarjana santri dengan lulusan umum yang tidak memiliki pijakan nilai keagamaan. Sebagai bupati, Imron Rosyadi ingin selalu bersama rakyat dalam membangun Kabupaten Cirebon.
DAFTAR PUSTAKA
Acara Cirebon Intellectual Conference yang diselenggarakan oleh PC ISNU Kabupaten Cirebon, dari tanggal 7 – 8 Agustus 2022.
Amin, KH. Zamzami, dkk., Baban Kana: Pondok Pesantren Babakan
Ciwaringin dalam Kancah Sejarah untuk Melacak Perang Nasional Kedongdong 1802-1919.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqhul Islam wa Adillatuhu.
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren.
Jakarta: LP3S. disbudparporakabcirebon.blogspot.com
Hanan, Abdul. 2021. Orang-Orang Babakan,
Depok: Guepedia.
Hanan, Abdul. 2021. Yang Tumbuh Mengada, Yang Gugur Menghilang, Depok: Guepedia.
https://kzlife.info/first/keramatnyamakam/tJ7V3NG pqH2easY
Pikiran-rakyat.com, pada Jum’at 5 Agustus 2022.
Republika.co.id, 16 April 2022.
Soemioto, R. 1966. Dalam memoarnya
Buku Tjoretan dan Tjatatan
serta Sorotan Kabupaten Tjirebon, Tjirebon.
Tim Penyusun Kamus Pembina dan Pengembangan Bahasa ed.2-Cet.9. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986).
umcpress.com, Selasa (18/5/2021).
Wawancara dengan Gus Hisyam Yahya Masduki salah satu cucu KH. Masduki, tanggal 25 April 2022.
ISTILAH-ISTILAH
Setupatok: Danau yang membendung aliran sungai, dimaksudkan sebagai sarana pengairan pertanian wilayah setempat yang sebelumnya mengandalkan sistem tadah hujan. Pembuatan Danau Setupatok juga tidak terlepas dari sejarah, lokasi tersebut yang selalu banjir. Permukiman penduduk di sana akhirnya direlokasi. Namun, ada beberapa situs sejarah dan dua gua yang akhirnya digenangi. Cuma ada satu dataran yang tidak tenggelam, dan lokasinya tepat di tengah-tengah danau. Dataran yang tetap muncul di tengah danau itu, jadi pemandangan yang unik bagi wisatawan.
Tanah Perdikan: Status tanah ini merupakan hadiah dari raja untuk orang-orang tertentu, termasuk ulama. Wilayah ini dipimpin kepala desa yang langsung dibawahi oleh raja.
Kepemimpinan di desa ini diwariskan secara turun temurun dari pemimpin terdahulu.
Kasab: Kasab adalah nama tempat di jalan raya Cirebon-Bandung yang melewati Desa Babakan, biasanya santri dari mana saja kalau mau ke Pesantren Babakan turun di Kasab. Dari Kasab menuju pondok ada yang jalan kaki ada yang naik becak.
MHS: Madrasah Al-Hikamus Salafiyah atau bisa disebut MHS adalah lembaga pendidikan informal pesantren yang didirikan oleh para kiai Babakan. Dengan kata lain sekolah madrasah yang berbasis pesantren tertua, dan juga menjadi pusat sekolah madrasah di Desa Babakan, baik untuk kalangan penduduk maupun santri.
Kang dan Yayu: Panggilan untuk memanggil seorang laki-laki yang status sosialnya lebih tinggi dengan sebutan Kang, memanggil kepada seorang perempuan yang status sosialnya
lebih tinggi dengan sebutan Yayu. Sedangkan memanggil kepada laki-laki yang yang status sosialnya berada di bawah usianya dengan panggilan Cung atau bisa juga dengan Kacung. Untuk memanggil anak perempuan yang status sosialnya berada di bawah memanggilnya dengan sebutan Nok.
Ngeliwet: Ngeliwet adalah kebiasaan para santri jaman dulu dalam memasak nasi, cara masaknya beras dicuci terlebih dahulu terus dimasukan ke dalam panci dan diberi air secukupnya.
Sambal Encung: Sambal Encung atau yang biasa disebut Sambal Terong. Pada zamannya masakan ini paling favorit di pondok pesantren Babakan. Cara membuatnya, buah terong dibakar terlebih dahulu. Setelah itu semua bumbu-bumbu sambal semuanya diulek dengan terong.
Ngebestel: Ngebestel adalah istilah mengirim makanan atau uang sambil sambang atau menjenguk anak di pondok.
Ngaji
Kempekan: Ngaji Kempekan adalah mengaji dengan Lagu Kempekan
tidak berirama seni sebagaimana layaknya
lagu-lagu murattal. Hampir tidak
ada olah vokal. Lagu Kempekan lebih menekankan pada Tajwidul Qur’an.
Dawuh: Kata Dawuh atau bahasa lainnya Ngendika merupakan salah satu Bahasa Jawa Krama Inggil yang dalam Bahasa Indonesia berarti berbicara.
Bola Api: Sepak Bola api merupakan permainan tradisional khas Indonesia terutama di kalangan santri. Tradisi Bola Api Madrasah MHS dimulai pada tahun 1980 atas nama pendiri K.H. Makhtum Hannan.
Pendapa: Pendapa adalah bagian bangunan yang terletak di muka bangunan utama. bangunan yang luas terbuka (tanpa batas atau sekat), terletak di bagian depan rumah, disediakan untuk pertemuan, rapat, peralatan, serta keperluan lain yang ada hubungannya dengan keperluan masyarakat
Sanad: Sanad adalah rantai penyambung pertalian keilmuan antara pengajar dan muridnya. Jika keilmuan tersebut dirunut maka sumbernya akan bermuara pada satu titik yaitu dari Rasulullah Saw.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
![]() |
Gambar 1
Bapak Bupati Imron Rosyadi bersama teman-teman Di kamar A1 Pondok Pesantren Miftahul
Muta’allimin, Babakan Ciwaringin
Gambar 2
Kamar A1, Kamarnya Bapak Bupati Imron Rosyadi waktu mondok di Pesantren Miftahul Muta’allimin (PPMM) Babakan Ciwaringin Cirebon
Gambar 3
Bapak Bupati Imron Rosyadi bersama anak, menantu dan cucu, di Pendapa Bupati
Gambar 4
Bapak Bupati Imron Rosyadi di acara Peringatan Hari Santri Nasional Tingkat Kabupaten cirebon
Tentang Penulis
![]() |
Mustopa lahir di Desa Ciuyah, Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon. Lahir 06 April 1972, dari pasangan Bapak H. Kurdi dan Ibu Hj. Maslikah. Mondok di Pesantren Babakan Ciwaringin tahun 1989 dan lulus MAN Ciwaringin tahun 1991. Melanjutkan S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S2 Manajemen Pendidikan Islam di UMS tahun 2005.
Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Waled Kabupaten Cirebon 2002-2009, Sekretaris LDNU Kabupaten Cirebon 2011-2013, Ketua Panwaslu Kecamatan Arjawinangun tahun 2008,.
Mengajar di MTs/MA Daarul Fathonah tahun 2004-2005, mengajar SMA Plus Yakpi Susukan, Cirebon tahun 2005-2007. Wakil Direktur Yayasan Daarul Hikam Kota Cirebon tahun 2007. Mendirikan STID Al-Biruni tahun 2008 sampai sekarang. Mendirikan Yayasan Bina Cendekia Mertapada Cirebon sekaligus Kepala SMP Bina Cendekia tahun 2009 s.d. 2015. Sekretaris Yayasan Bhakti Miftahul Ilmi Pondok Pesantren Tunas Cendekia Babakan Ciwaringin tahun 2017 s.d. 2021.
Hobi membaca dan menulis. Ia aktif menulis sejak 2007. Beberapa karya buku yang
sudah terbit: Ramadlan Menyapa Penduduk
Bumi Menaiki Tangga Langit, Perjalanan Haji Wong Kampung, Sang Visioner, Sang Ayah, Geliat Perempuan
Milenial dalam Narasi,
Catatan Terindah Antologi Memoar Upgrade
Diri, Aku Anak Sehat, Cerita Berharga Bersama Sahabat, Kampung Halamanku, Aku Cinta Masjid, Kaulah Sosok Inspiratif Di Hatiku, Cerita Inspiratif, Menggerakan Literasi
Mencerdaskan Generasi, Antologi Dongeng
Sayuran, Antologi Cerpen
Digital, Merdeka Belajar Majulah Terus Pendidikan Indonesia, Puisi
Donasi Palestina, Adab Untuk Anak Muslim, Antologi Merdeka
Belajar, Antologi Puisi untuk Buah Hati,
101 Kebiasaan Hebat, Aku Mau Berbuat Baik,
Cerita Rakyat/Dongeng/Asal Usul, Tentang Perasaan Anak, Fakta Tentang Hewan, Bahan
Ajar Ke-NU-an Klas X Pergunu
Cirebon, Ayah Inspirasiku, Cita-Citaku, Energi dan Cahaya, Dongeng
Bijaksana, Tanaman Herbal,
Ruang Angkasa, Dan masih banyak lagi buku-buku lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar